1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Toleransi Demi Intoleransi Agama?

24 November 2015

Bima Arya disomasi lantaran melarang kaum Syiah memperingati hari Asyura. Padahal walikota Bogor itu gemar membanggakan toleransi di kotanya. Lantas bagaimana ia ingin membangun kerukunan dengan membungkam minoritas?

https://p.dw.com/p/1HBph
Symbolbild Toleranz
Foto: Fotolia/Sebastian Krüger

Bima Arya punya cara unik memaknai toleransi. Saat berbicara di depan 100 walikota dunia di Fiorentina, Italia beberapa waktu lalu, orang nomer satu di Bogor itu banyak berceloteh betapa kotanya menjaga betul kerukunan beragama. "Setetes darah akibat konflik agama," katanya, "bakal menjadi mimpi buruk bagi benak warga seumur hidup."

Maka demi menjaga kerukunan, akhir Oktober lalu ia melayangkan Surat Edaran Nomor: 300/1321- Kesbanggpol, yang melarang warga Syiah memperingati hari Asyura. Logika serupa muncul dalam konflik tanah dengan Gereja Kristen Indonesia di taman Yasmin.

Lantas bagaimana mungkin sosok yang diundang ke Italia karena dianggap berhasil merawat toleransi di kotanya itu membabat minoritas untuk meredam amarah mayoritas? "Adalah tugas saya untuk mengantisipasi konflik terjadi, baik melalui proses dialog maupun pendekatan keamanan," dalihnya seperti dilansir Tempo.

Sang Walikota bahkan pernah memimpin sendiri penggerebekan perayaan Asyura di wilayahnya. "Sudah kita awasi terus agar tidak ada kegiatan apapun, sesuai kesepakatan kita dengan MUI. Saya juga berdialog dengan warga, warga tidak mau ada kegiatan, oke stop!" tegasnya ketus.

Bima memilih memperkarakan Asyura dengan alasan menjaga kerukunan kendati minoritas Syiah di wilayah itu mengaku telah "memperingati Asyura sejak puluhan tahun tanpa pernah mendapat masalah dari masyarakat."

Pendekatan serupa sering digunakan aparat keamanan di Indonesia. Demi meredam konflik agama, penguasa merasa harus membiarkan intoleransi dan tirani mayoritas. Pendekatan serupa gagal diterapkan ketika pecah perang di Poso dan Ambon, dimana dua kelompok yang berseteru adalah sama kuat.

Alhasil Bogor mendapat predikat kota paling tidak toleran dalam daftar yang disusun Setara Institute. "Orang Bogor tentunya punya pandangan lain tentang hal itu," tanggap Bima ketika ditanya soal rapor merah kotanya itu.
Jawaban tersebut sekaligus mengungkap arah kebijakan politik tokoh Partai Amanat Nasional tersebut. "Karena secara kalkulasi politik tidak menguntungkan dibela, maka kepala daerah mengamini tindakan represif," terhadap kaum minoritas, tulis Indonesian Conference on Religion and Peace dalam tajuknya.

Bima Arya kini menghadapi gugatan Yayasan Satu Keadilan ke Pengadilan Negeri Bogor. Alasannya tidak lain adalah surat edaran yang melarang kaum muslim merayakan Asyura - sebuah produk toleransi ala sang walikota.

rzn/yf (dari berbagai sumber)