1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Tren 2022, Tren Era Pandemi

2 Januari 2022

Tren pada dasarnya adalah evolusi pola pikir, bagaimana perubahan-perubahan sosial, budaya, politik, dinamika global, dan isu-isu lokal mempengaruhi jalan pikiran serta gaya hidup. Bagaimana tren 2022 di era pandemi?

https://p.dw.com/p/44qG3
Pereka tren masa depan, Isti Dhaniswari
Pereka tren masa depan, Isti DhaniswariFoto: Isti Dhaniswari

Kring, kring…alarm  telepon genggam pada pukul 06.00 pagi berbunyi. Maya berusaha membuka matanya dengan susah payah, tapi nampaknya matanya sulit sekali kompromi. Maya mematikan alarm dan karena masih mengantuk tertidur kembali. Satu setengah jam kemudian akhirnya pemudi asal Cirebon yang tinggal di Kota Augsburg, Jerman itu bangun, dan kaget setengah mati dan menyumpahi dirinya yang kesiangan bangun. Ia tinggal punya waktu setengah jam untuk rapat online. Bergegas ia lari ke kamar mandi, buang air, menggosok gigi sebentar dan mengganti baju piyama dengan blus dan pullover. Komputer dinyalalana, memasak air dan membuat kopi. Lima belas menit kemudian dia siap rapat online.

"Begitu deh, kalau kesiangan bangun haha, aku langsung ngibrit siap-siap tapi celana piyama biarkan saja, toh baju atasan rapi. Sudah dua tahun sejak pandemi begini, kerja dari rumah. Bosan sekali dan lama-lama stres sendiri. Kadang aku dandan dan pakai baju bagus, meski seharian di rumah saja. Supaya suasana hati jadi baik," ungkap perempuan berusia 37 tahun yang bekerja sebagai konsultan pemasaran di sebuah perusahaan Jerman. "Tapi sekarang sudah tahun 2022, jadi sepertinya kita butuh perubahan ya. Situasi pandemi ini tidak normal,” tambahnya lagi.

Menurut pereka tren masa depan Isti Dhaniswari, hal yang dirasakan oleh Maya, mungkin juga dirasakan jutaan orang lainnya di masa pandemi ini. Wabah corona yang akhir-akhir ini menimpa seluruh dunia juga berpengaruh pada jalan pikiran manusia yang juga berdampak pada tren masa depan, tandas desainer industrial yang tinggal di Kota Nürnberg, Jerman ini. "Kita mengalami pandemiyang sangat besar ya, sehingga orang mungkin lebih berpikir mengenai kesehatan dan kebugaran ya. Jadi rumah itu tidak hanya sebagai tempat rehat, tapi juga menjadi pusat dari segalanya. Jadi mungkin kita di situ bisa bekerja, kita di situ juga bisa melakukan kegiatan kebugaran. Jadi mungkin kalau dari perabotannya ya, mungkin desainnya itu yang mudah dibersihkan, yang mudahdipindahkan dan lebih praktis," kata Isti.

Busana yang berubah

Untuk pakaian, menurut Isti, juga mungkin ada beberapa perubahan tren di antaranya adalah pemakaian material-material yang antivirus, misalnya. Tetapi dalam segi tampilan mungkin tren di tahun 2022 lebih glamor, "Karena kita semua bosan duduk di rumah menggunakan pakaian tidur. Semuanya mungkin ada faktor kesehatan dan meningkatkan kepercayaan diri, tetapi tetap lebih glamor…" tandas Isti.

Perubahan lainnya di tahun 2022 nanti menurut Isti adalah semakin meningkatnya keseharian dalam dunia digital. "Kalau di Indonesia itu perubahan trennya adalah ya mungkin yang sama ya, jadi kalau kita dalam konteks ramalan tren, kita meramalkan bahwa suatu hari kita itu hidupnya akan sangat tidak bisa dilepaskan dari dunia digital. Jadi dunia kita, batasannya akan menjadi sangat blur antara digital dan realitas virtual ya. Nah di Indonesia sendiri kan kita sekarang karena pandemi ini jadi anak-anak terpaksa untuk sekolah dari rumah, jadi orang-orang bekerja juga dari rumah dan misalnya industri fesyen yang biasanya mereka bisa melaksanakan pertunjukkan fesyen di mana-mana, sekarang jadinya juga harus pertunjukan fesyen online. Jadi memang kehidupannya akan banyak didisrupsi oleh digital ya dengan dunia virtual. Saya pikir dengan banyaknya perusahaan startup di Indonesia itu nantinya setelah pandemi ini justru akan lebih marak. Jadi memang kecerdasan buatan, presentasi virtual, itu akan menjadi bagian dari keseharian. Jadi kuliah-kuliah pun juga sekarang virtual," tandasnya.

Kekeluargaan sulit berubah

Tantangannya menurut Isti adalah pada masyarakat yang nilai sosialnya tinggi seperti Indonesia, kebiasaan bersosialisasi yang terpaksa mengalami perubahan akibat pandemi. Ada hal-hal yang masih belum dapat berubah secara drastis. "Seperti arisan. Nah itu mereka masih membutuhkan untuk kumpul-kumpul itu. Jadi ada beberapa kelompok masyarakat yang mungkin tidak terlalu banyak terdisrupsi,” ujarnya.

"Misalnya seperti pernikahan di Indonesia, ya,” tambah Isti, "Perkawinan itu sangat penting ya, tapi mungkin sekarang yang diundang lebih sedikit. Kalau dulu kita mungkin sekali perayaan pernikahan bisa mengundang sampai 1000 orang begitu ya. Itu saja sepertinya hanya sedikit mengundang orang, Nah sekarang itu yang berubah adalah harus ‘social distancing', jadi duduknya pun harus berjauhan. Kemudian biasanya kita kalau makan kan prasmanan begitu ya, kalau sekarang orang jadi cenderung untuk makan dibawa pulang kotaknya, jadi tidak dimakan bersama."

Bagaimana dengan keviasaan salaman? "Salam-salaman itu masih tetap penting ya. Jadi memang untuk kita itu kan yang penting ada salam-salaman,” kata Isti. "Nah mungkin salam-salamannya berubah, tak lagi berjabat tangan. Ada yang perkawinannya juga total virtual, sehingga yang diundang itu di Zoom saja, ada juga. Jadi memang kebutuhan sosialnya diakomodir dengan cara yang bermacam-macam, tapi ya semuanya masih berhubungan dengan dunia virtual, tentu saja,” pungkasnya.