1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tukar Minyak Jelantah dengan Sayur Organik, Uang, atau Emas

Betty Herlina (Bengkulu)
31 Desember 2021

Bila dibuang sembarangan, minyak jelantah akan mencemari tanah, air atau saluran air. Di tangan warga Bengkulu, jelantah dimanfaatkan hingga membawa nilai tambah bagi ibu-ibu rumah tangga.

https://p.dw.com/p/450Mn
Emas dan minyak jelantah
Tiap 10 kg minyak jelantah dihargai setara dengan 0,025 gram baby goldFoto: B. Herlina/DW

Minyak jelantah atau sebutan untuk minyak goreng bekas yang sudah berkali-kali digunakan dalam proses menggoreng makanan, bisa menjadi limbah rumah tangga yang menimbulkan masalah serius. Jika dibuang sembarangan, apalagi langsung ke tanah, kandungan dalam minyak bekas ini dapat merusak tanaman dan tanah. Menghambat pipa saluran pembuangan, termasuk mencemari air.

Khawatir akan dampak negatifnya, perempuan asal Bengkulu bernama Ashri Rahmatia pun berupaya mendaur ulang minyak-minyak goreng bekas pakai ini. Sejak awal Juni 2021, ia memulai kampanye zero waste, menerapkan pola hidup sirkular dengan meminimalisasi sampah lewat kampanye Kujaga Bumi. Di tangan perempuan berusia 31 tahun ini minyak jelantah ternyata bisa kembali memiliki nilai ekonomi dan dimanfaatkan.

Di atas lahan seluas 600 meter persegi tempatnya beraktivitas sehari-hari, Ashri menerima penukaran minyak jelantah. Ia mulai mengumpulkan jelantah dari keluarga serta tetangga di sekitar lahan Kujaga Bumi. Minyak bekas tersebut dikumpulkan dalam jeriken bekas atau wadah penampungan seperti botol.

"Daripada dibuang sembarangan, lebih baik ditukarkan ke sini. Kalau dibuang sembarangan, lama-lama minyak jelantah bisa mengeras, mirip lemak sapi. Itu sulit untuk diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di tanah karena itu minyak," terang Ashri kepada DW Indonesia.

Ditukar uang atau sayuran organik

Di Kujaga Bumi, per liter minyak jelantah dihargai Rp2.000 bila diantarkan langsung ke lokasi. Bila harus dijemput, minyak itu pun dihargai Rp1.500 per liter. Setiap penukaran boleh langsung diuangkan atau ditabung. Kalau sedang tidak mau uang, pemilik minyak jelantah juga bisa menukarkan minyak mereka dengan sayuran organik yang ada di kebun multikultur Kujaga Bumi. 

Daur ulang minyak jelantah di Bengkulu
Ashri Rahmatia, inisiator Kujaga Bumi, dengan olahan minyak jelantahnya. Di tempatnya, minyak limbah rumah tangga ini bisa ditukar uang atau sayuran organik dari kebunnya.Foto: B. Herlina/DW

"Umumnya mereka yang mengantarkan minyak jelantah memilih untuk menabung karena masih sedikit jumlahnya, jadi uangnya dikumpulkan dulu. Kami berikan semacam buku tabungan agar tidak lupa jumlahnya," Ashri bercerita.

Minyak jelantah yang terkumpul, kemudian diolah menjadi biodiesel melalui proses pemurnian sederhana yakni menggunakan saringan. Semakin kecil lubang saringan yang digunakan hasilnya akan semakin bagus.

Setelah disaring, minyak ini lalu diuapkan. Minyak jelantah yang sudah bersih dicampur dengan katalis metanol. Pada suhu panas tertentu, air akan menguap dan tersisa minyak dan endapan berupa gliserin. Endapan inilah yang akan diolah menjadi sabun mandi. Saat ini masih dalam proses perizinan dan persiapan infrastruktur.

"Dari 1 liter minyak jelantah bisa menghasilkan 200 mililiter biodiesel. Ini cukup menjanjikan untuk sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Apalagi saat ini di Eropa sedang gencar-gencarnya menggunakan bahan bakar rendah emisi," tutur Ashri.

Dari jelantah jadi emas

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, minyak jelantah dapat menjadi bahan baku pembuatan bahan bakar biodiesel secara komersial. Potensi jelantah sebesar 3 juta kiloliter per tahun akan dapat memenuhi 32% kebutuhan biodiesel nasional.

Mengingat potensi ini, Febri Pane yang juga tinggal di Bengkulu ikut giat mengumpulkan minyak jelantah dari masyarakat sejak sebulan belakangan ini. Tujuannya juga sama, ingin mengedukasi masyarakat akan bahaya membuang jelantah sembarangan dan penggunaan minyak jelantah berulang. 

Daur ulang jelantah di Bengkulu
Dari kiri ke kanan: biodiesel, gliserin, dan minyak jelantah di inisiatif Kujaga Bumi, Bengkulu.Foto: B. Herlina/DW

Menyasar sisa konsumsi rumah tangga, Febri menawarkan sistem penukaran emas dalam bentuk baby gold. Di tempatnya, setiap 10 kg minyak jelantah dihargai setara dengan 0,025 gram baby gold. "Kalau dirupiahkan senilai Rp40.000, jadi per kilogramnya dihargai Rp4.000," kata Febri, 26, kepada DW Indonesia.

Ketika DW hubungi, Febri mengatakan bahwa dalam minggu terakhir ia baru mengumpulkan 10 kg minyak jelantah. Rata-rata warga yang membawa jelantah mereka ke Febri mengaku tertarik dengan pola yang ia tawarkan, yakni ditukar menjadi emas. Namun Febri tidak mengolah minyak jelantah itu sendiri. Setiap minyak yang terkumpul akan ia oper lagi ke pengumpul minyak jelantah. "Dari situ saya dapat selisih harga," pungkasnya.

Kumpulkan minyak jelantah limbah rumah tangga

Setiap satu bulan, biodiesel yang dihasilkan Kujaga Bumi bervariasi tergantung dengan pasokan minyak jelantah yang masuk. "Untuk bulan ini masih sedikit, baru ini ada masuk lagi 15 liter, tapi belum diproses menjadi biodiesel,” timpalnya.

Saat ini biodiesel yang dihasilkan di Kujaga Bumi masih sebatas disimpan, belum dijual atau digunakan untuk kebutuhan lain. "Kami masih mempelajari prosesnya untuk dibuat sebuah unit usaha," lanjutnya. 

Meskipun harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan minyak jelantah, Ashri mengaku tidak mudah untuk mendapatkan minyak jelantah itu dalam jumlah banyak. Pasalnya, Kujaga Bumi, menyasar limbah minyak jelantah dari rumah tangga.

Dalam satu minggu setiap rumah tangga paling hanya menghasilkan 500 mililiter minyak jelantah. Karena jumlahnya sedikit dan tidak setiap rumah tangga sadar akan bahaya membuang minyak jelantah sembarangan, sehingga masih banyak yang terbuang begitu saja.

"Kami memang tidak mengambil dari restoran yang jumlah minyak jelantahnya pasti banyak dan sudah ada pengumpulnya. Tujuan kami ingin mengedukasi masyarakat, makanya sasarannya ya rumah tangga," ungkap Ashri. (ae)