1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tuntaskah Pembangunan Kembali di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam?

24 Desember 2009

Kini, lima tahun setelah bencana tsunami, sebagian besar organisasi bantuan sudah menyelesaikan proyeknya dan menarik diri dari provinsi paling barat Indonesia.

https://p.dw.com/p/LCzj
Masih banyak korban yang selamat dari tsunami yang masih harus tinggal di bedeng sementaraFoto: DW/Robina

Tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat terjadi di Samudra Hindia, lepas pantai barat Aceh. Gempa berkekuatan 9,3 skala Richter memicu gelombang tsunami yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Langka dan bahkan mencapai sampai Pantai Timur Afrika. Lebih dari 230.000 orang tewas dan satu juta lebih kehilangan tempat tinggalnya akibat bencana alam ini.

Respon dunia terhadap bencana ini luar biasa. Bantuan darurat mengalir ke Aceh, Thailand dan Sri Lanka, organisasi bantuan asing dan lokal bekerja sama untuk membangun kembali kawasan yang hancur. Di Aceh, sejumlah lembaga turun tangan untuk membantu rekonstruksi dan rehabilitasi.

Banda Aceh, hari Minggu siang. Seorang pegawai organisasi bantuan Jerman mengajak saya berkeliling dengan mobil, menyusuri jalan raya sampai ke pinggir pantai. Di sana sini masih terlihat puing-puing rumah yang belum dibongkar. Tiba-tiba kami berhenti. Kami menemukan dua bedeng kayu yang masih dihuni, salah satunya oleh Hendra Setiawan.

Hendra Setiawan berada di Medan saat tsunami melanda Aceh. Rumahnya hancur, mertua dan keluarga istrinya menjadi korban tsunami. Saat ia kembali ke Aceh ia menemukan bahwa rumah yang seharusnya menjadi milik keluarganya sudah ditempati orang lain. Ia terpaksa tinggal di bedeng kayu bersama 15 orang lainnya.

Penghuni bedeng kayu ini harus membeli air bersih. Listrik mereka dapatkan dengan menyadap saluran di depan rumahnya. Hendra Setiawan sudah putus asa, karena tidak tahu, ke mana harus mengadukan hal ini.

Kasus Hendra Setiawan bukan kasus satu-satunya. Akhir tahun 2008 lalu, saat mengunjungi perumahan yang dibangun Palang Merah Jerman di Pulau We, kami bertemu beberapa warga yang mengeluhkan hal sama.

Sebenarnya ada beberapa organisasi yang menawarkan untuk membangun rumah bagi mereka. Syaratnya, lokasi rumah yang baru tidak lagi di pinggir pantai untuk mengurangi risiko tsunami. Tapi, karena takut akan kehilangan tanahnya, sepuluh keluarga memilih untuk tetap tinggal dan menunggu bantuan yang dijanjikan Badan rehabilitasi dan Rekonstruksi BRR. Hanya saja, bantuan itu tak kunjung tiba.

Di atas bukit, sekitar 300 meter dari pantai, tampak perumahan baru yang dibangun oleh Palang Merah Jerman, 75 rumah seharga 10.000 Dollar per unitnya. Furmansyah, salah satu warga desa yang memilih untuk pindah ke lokasi baru mengaku senang. Lokasi rumah barunya cukup aman, kata Furmansya. Yang ia kuatirkan justru aliran air dari gunung yang tak terbendung saat musim hujan.

Meski ada masalah di sana sini, Palang Merah Jerman menarik neraca positif di akhir proyek pembangunan kembali di Aceh. Hanya saja, mereka berpesan untuk mengevaluasi dan menarik pelajaran dari upaya rekonstruksi dan rehabilitasi ini.

Ziphora Robina

Editor: Yuniman Farid