1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Antara Realita Sekularisme dan Godaan Negara Islam

4 Mei 2016

Partai AKP Turki menggodok konstitusi baru yang diyakini akan menanggalkan asas sekularisme dan mempromosikan Islam. Bagaimana masa depan Turki? Negara Sekuler atau Negara Islam? Berikut ulasan Mohamad Guntur Romli.

https://p.dw.com/p/1IhRf
Türkei Ankara Demonstration für Säkularisierung aufgelöst
Foto: Getty Images/AFP/A. Altan

Dalam kunjungan ke ibukota Kroasia, Zagreb beberapa waktu lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan menolak bila Turki menjadi negara Islam. Pernyataan tersebut disampaikan Erdogan menyusul perdebatan di dalam parlemen Turki, di mana ketua parlemen, Ismail Kahraman mengusulkan agar konstitusi baru Turki dibuat dengan tidak berdasarkan referensi sekularisme lagi.

Namun menurut Erdogan, pernyataan Kahraman hanya merepresentasikan pendapat pribadi, meskipun Kahraman adalah politisi senior dalam AKP—partai Erdogan dan Ketua Parlemen Turki. Bagi Erdogan sekularisme adalah dasar yang harus dipertahankan dan perdebatan tentangnya hanya mengganggu agenda Negara (Daily Sabah).

Benarkah Erdogan lebih memilih “dasar sekuralisme” dibanding dengan “dasar Islam” yang menjadi cita-cita sebagian besar politisi AKP yang kini sedang berusaha mengamandemen Konstitusi Turki? Ataukah Erdogan sedang melakukan langkah terselubung agar terhindar dari kemarahan militer yang akan bertindak bila AKP mengubah Turki menjadi Negara Islam?

Setiap menang pemilu, Erdogan memang selalu ziarah ke Makam Mustafa Kemal Ataturk untuk menunjukkan loyalitasnya pada azas sekularisme Turki. Selama 10 tahun berkuasa sebagai perdana menteri, Erdogan tidak pernah mengotak-atik konsititusi Turki yang sekuler, tidak menutup hubungan diplomatik dengan Israel, tidak berkutik dengan pangkalan militer NATO— dan meski akan menjadi Presiden Turki selama mungkin 10 tahun lagi (dua periode) serta dengan kewenangan yang lebih besar, Erdogan tidak akan mengubah Turki dari Negara Sekuler menjadi Negara Islam, karena opsi tersebut akan berakibat fatal:

(1) akan ada kudeta dr militer Turki (seperti yang pernah dilakukan terhadap Parpol Refah tahun 1997, di mana Ismail Kahraman adalah anggota Parpol Refah dan menjabat Menteri Kebudayaan dalam Kabinet Erbakan.

(2) proposal Turki yang sangat ingin masuk Uni Eropa akan ditolak mentah-mentah.

Dengan pertimbangan rasional ini Erdogan benar-benar sudah melupakan mimpi Negara Islam dan telah yakin bahwa prinsip-prinsip sekuler bisa mengayomi semua pemeluk agama, namun beberapa aturan di Turki yang diskriminatif terhadap simbol-simbol agama—khususnya Islam, di ruang publik (misal jilbab) harus terus dilawan, karena pelarangan ini melanggar kebebasan individu dan bertentangan dengan prinsip anti diskriminasi.

Erdogan juga telah menjadi “promotor sekularisme” di mana-mana, terutama di Timur Tengah. Misalnya di Mesir, September 2011 saat negara Firaun ini masih dikuasai Kelompok Ikhwanul Muslimin. "Sekualarisme tidak anti-agama. Negara Sekuler menerima semua agama, jangan takut dengan sekularisme, saya berharap Negara Sekular akan tegak di Mesir" katanya waktu itu. Promosi Erdogan ini direspon dengan kemarahan dari para elit Kelompok Ikhwanul Muslimin (alarabiya.net, 14 September 2011).

Kemungkinan lain “promosi”dan “penerimaan”Erdogan terhadap prinsip “Negara Sekuler”sebagai strategi politik agar kekuasaannya selamat dari ancaman kudeta militer Turki. Saat ini kekuatan legislatif, Parlemen Turki”, yang dikuasai oleh AKP sedang melakukan amandemen konstitusi.

Dalam konteks demokrasi, amandemen Konstitusi bisa dibenarkan, maka, kalau pun ada perubahan dari Negara Sekuler ke Negara Islam, secara prosedural, Erdogan dan AKP akan berlindung dibalik legalitas ini. Demokrasi hanya dijadikan sebagai prosedur pengambilalih kekuasaan oleh suatu rejim untuk menerapkan rezim dalam bentuk yang lain (Dari rezim militer yang sekuler ke rezim agama yang otoriter).

Cara ini memang banyak dituduhkan pada kekuatan-kekuatan Islam Politik yang tiba-tiba bersemangat ikut pemilu setelah sebelumnya mereka menolak Pemilu dan mengharamkan demokrasi, seperti Kelompok Salafi di Mesir, Hamas di Palestina, Ikhwanul Muslimin di Mesir, Nahdhah di Tunisia, PKS di Indonesia. Demokrasi bagi kelompok ini tidak lebih sebagai “alat kudeta” dengan menggunakan kotak suara setelah sebelumnya mereka melancarkan kudeta dengan senjata.

Mungkin perubahan konstitusi di Turki tidak secara radikal dan frontal, misalnya tidak langsung dari negara sekuler ke Negara Islam, bisa jadi akan dilakukan secara bertahap, dihapuskan dulu prinsip-prinsip sekular, seperti keinginan Ismail Kahraman, yang nantinya akan dilanjutkan dengan ‘'islamisasi secara bertahap''.

Kemungkinan manakah yang akan terjadi pada masa depan kepemimpinan Erdogan dan Turki masa datang? Hanya waktu yang akan memberitahukan kita. Yang pasti, Erdogan akan terus hidup dalam dua tarik menarik: kenyataan Negara Sekuler dan godaan Negara Islam.

Penulis:

Mohamad Guntur Romli merupakan alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura dan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ia menulis beberapa buku: Dari Jihad Menuju Ijtihad, Ustadz Saya Sudah di Surga, Muslim Feminis, Syahadat Cinta Rabiah al-Adawiyah dan Islam Tanpa Diskriminasi. Kini ia menjadi Kurator Diskusi di Komunitas Salihara.

@GunRomli

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.