1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Turki Cabut Larangan Jilbab

30 September 2013

Turki akan mencabut larangan penggunaan jilbab di instansi pemerintahan. Langkah itu adalah bagian dari paket reformasi yang diajukan Perdana Menteri Tayyip Erdogan yang belakangan dikritik semakin otoriter.

https://p.dw.com/p/19r1N
Foto: Imago

Aturan baru itu tak hanya akan diberlakukan kepada pengadilan atau militer. Turki berpenduduk mayoritas Muslim tapi dikenal menjalankan prinsip sekularisme yang keras dan sejak lama melarang penggunaan pakaian muslim bagi perempuan di kantor pemerintahan.

“Kami mencabut larangan di instansi pemerintah,” kata Perdana Menteri Erdogan.

Beberapa waktu terakhir, pemerintah Erdogan menghadapi tekanan keras dari kelompok oposisi yang melihat rezim partai Islam yang berkuasa itu, cenderung semakin otoriter dan mengabaikan suara-suara dari luar.

Dalam paket reformasi itu, PM Erdogan juga memasukkan satu pasal yang dilihat berbagai kalangan sebagai upaya untuk menyelesaikan proses perdamaian yang macet dengan kelompok minoritas Kurdi yang ingin melepaskan diri.

Erdogan mengatakan aturan itu yang selama ini mencegah kelompok pro Kurdi dan kelompok-kelompok minoritas lainnya untuk memasuki parlemen akan diubah, sementara pengajaran bahasa Kurdi akan diperbolehkan di sekolah-sekolah swasta.

“Ini adalah momentum bersejarah, sebuah tahapan penting,“ kata Erdogan dalam konferensi pers di hadapan para wartawan.

Nama-nama Kurdi bisa kembali dipakai di berbagai kota di Turki, sementara larangan penggunaan huruf Kurdi juga akan dicabut.

Türkei Frau Wahlen
Selama puluhan tahun sejak era Kemal Attaturk, pakaian muslim dilarang.Foto: Getty Images

Berdamai dengan Kurdi

Reformasi itu didesain untuk menjawab berbagai keluhan kelompok minoritas di Turki, khususnya suku Kurdi, setelah proses perdamaian dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) mengalami kemandekan.

Bulan Maret lalu, pimpinan PKK yang berada di penjara yakni Abdullah Ocalan mendeklarasikan sebuah gencatan bersenjata bersejarah setelah berbulan-bulan melakukan negosiasi bawah tanah dengan pasukan dinas rahasia Turki.

Sebagai imbalan untuk menarik para pejuang Kurdi, PKK menuntut perubahan dalam undang-undang pidana dan undang-undang pemilihan umum serta pemberian hak pendidikan dalam bahasa Kurdi serta otonomi wilayah.

Langkah pemerintahan Erdogan itu telah menaikkan harapan berakhirnya pemberontakan suku Kurdi yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade di wilayah tenggara, yang diperkirakan telah merenggut nyama lebih dari 40.000 jiwa.

Namun awal bulan ini, para pemberontak mengumumkan bahwa mereka mereka menunda penarikan para pejuang mereka, dan menuduh Ankara gagal melakukan reformasi sebagaimana yang dijanjikan.

Erdogan mengindikasikan bahwa ambang batas 10 persen yang disyaratkan bagi partai untuk duduk di parlemen akan dihapus, sambil mengatakan bahwa pasal itu dulu bukan diajukan oleh partainya yaitu Justice and Development Party (AKP) yang kini berkuasa.

Sekolah-sekolah swasta akan menawarkan pendidikan dalam bahasa Kurdi, yang sejak lama merupakan hal terlarang, kata Erdogan.

Pemerintah Turki dan banyak negara-negara lainnya, memasukkan partai Kurdi PKK dalam daftar organisasi teroris.

Dalam paket reformasi tersebut, pemerintah Erdogan juga mengumumkan rencana mengembalikan properti milik Kristen Suriah yang disita oleh pemerintah.

ab/hp (afp,rtr,ap)