1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Turki di Bawah Syariah

Daniel Heinrich (ml/as)27 April 2016

Ketua Parlemen Turki Ismail Kahraman tuntut adanya konstitusi Islam bagi negaranya. Eropa yang sekuler terkejut mendengarnya. Tapi masalah sebenarnya bukan di situ. Perspektif Daniel Heinrich.

https://p.dw.com/p/1IdMl
Türkei: Politikerinnen wollen im Parlament ein Kopftuch tragen
Foto: picture-alliance/dpa

Sebenarnya tuntutan partai konservatif AKP mudah. Partai itu ingin mengubah Turki menjadi negara Islam. Bagi warga Barat yang berpendidikan yang muncul di ingatan adalah Presiden Turki Erdogan, yang ibaratnya seorang sultan, ingin menghidupkan kembali Syariah. Dan itu di sebuah negara yang ibaratnya tepat berada di perbatasan halaman Jerman.

Tapi satu hal tidak diperhatikan banyak orang. Yaitu: impian itu tidak akan pernah terjadi. Karena jika AKP benar-benar berusaha menggoyahkan mitos pendirian negara oleh Kemal Atarük, yang berhaluan sekular, massa di Turki akan protes! Jika berusaha menggoyahkan Kemal Atatürk, orang Turki tidak bisa guyon. Demikian juga halnya dengan pendukung AKP.

Sebuah tugu peringatan ulang tahun republik ke-100

Yang benar: AKP berusaha membuat rancangan konstitusi bagi sistem presidial dengan pengaruh Islam. Erdogan ibaratnya ingin mendirikan monumen pada hari ulang tahun republik yang ke-100 tahun 2023. Para pendukung Kemal Atatürk tentu tidak senang mendengar pamer kekuasaan yang dilakukan Erdogan. Dan dengan usulan untuk menerima dasar-dasar agama dalam konstitusi, AKP akan kehilangan penyokong liberalnya yang terakhir.

Apa yang akan terjadi, jika kaum konservatif sudah keterlaluan melewati batasan, bisa dilihat dalam aksi protes di Taman Gezi tahun 2013. Ratusan ribu orang, terutama warga Turki berusia muda, tidak peduli partai dan kelas dalam masyarakat, membanjiri jalanan serta menyatakan solider untuk menentang tuntutan kekuasaan yang terlalu besar dari Erdogan dan konco-konconya.

Sangat cepat, sangat banyak dan sangat marah. Gelombang protes ini kemungkinan besar belum dilupakan AKP. Dan protes ini, berkaitan dengan pemilu terakhir, membuktikan satu hal: untuk mengubah konstitusi AKP tidak akan mungkin mendapat dua pertiga suara, yang jadi syarat untuk menang. Terserah sebesar apa upaya Kahraman dan Erdogan, itu tidak akan tercapai.

Kebebasan beragama di Turki?

Bebicara soal "negara Islam Turki", ada satu petunjuk lagi bagi semua politisi oposisi, yang anti Erdogan dan berada di pihak demokrat: sekularisme seratus persen belum pernah ada di Turki. Sebaliknya, sejak dulu negara sudah berniat memberi stempelnya atas interpretasi agama di negara itu.

Jadi setelah pendirian Republik Turki, diciptakanlah "Badan untuk Masalah Agama." Dengan anggaran sebesar satu milyar Euro per tahun, kementrian itu secara teknis berada di posisi ke dua setelah kementrian pertahanan. Para imam adalah pegawai pemerintah dan hanya pandangan Islam Sunni yang secara konsekuen didukung.

Sebagian besar warga yang jadi "korban" adalah warga Muslim. Di Turki hidup 20 juta warga Alawiyah. Pengadilan Eropa untuk HAM di Straßburg baru saja menegaskan, bahwa mereka mengalami represi luar biasa dalam melaksanakan ibadahnya.

Jadi masalah utama soal kebebasan beragama di Turki di masa mendatang tidak terletak pada, apakah "Allah" tercantum di konstitusi atau tidak. Itu tidak akan pernah terjadi. Masalah utama sebenarnya: di negara itu belum pernah ada kebebasan beragama.