1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Twitter Larang Iklan Politik, Dampaknya Tidak Signifikan

31 Oktober 2019

CEO Twitter, Jack Dorsey, segera melarang segala bentuk iklan politik masuk ke platformnya, menyusul maraknya penyebaran berita bohong di media sosial. Kebijakan ini akan berlaku secara global.

https://p.dw.com/p/3SG17
Twitter
Foto: picture-alliance/dpa/ZB/M. Skolimowska

Jagat media sosial dibuat ramai, usai CEO Twitter, Jack Dorsey, mengumumkan akan melarang semua iklan politik muncul di platformnya mulai 22 November 2019. Langkah ini ditempuh, setelah banyak kritikan dialamatkan kepada media sosial pesaingnya, yakni Facebook, karena dianggap terlalu santai menangani iklan berbau kebohongan politik.

Dalam serangkaian cuitannya di Twitter, Dorsey menyatakan bahwa para politisi tidak seharusnya menarik dukungan lewat iklan berbayar.

"Ini bukan tentang kebebasan berekspresi. Ini tentang membayar jangkauan," ujar Dorsey, seperti dikutip dari kantor berita AP.

Banyak pihak mendukung langkah ini, namun sebagian lainnya tidak sepakat. CEO Facebook, Mark Zuckerberg misalnya, mengatakan bahwa iklan politik bukanlah sumber pendapatan yang besar dan perusahaannya tidak ingin menghalangi kebebasan berpendapat orang lain.

Jejaring sosial raksasa itu menolak bila harus menghentikan iklan berbayarnya.

Kebijakan Twitter ini akan berlaku secara global, artinya, ini juga akan berlaku di Indonesia.

Buzzer lebih berpengaruh

Lantas apa pengaruhnya signifikan? Menurut analis media sosial, Ismail Fahmi, pelarangan iklan politik di Twitter sesungguhnya tidak terlalu berdampak banyak bagi Indonesia. Ia mengambil contoh saat pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu, tidak banyak politisi yang memasang iklan di Twitter dan Facebook. 

Indonesia lebih memanfaatkan keberadaan buzzerDalam berbagai hal, buzzer sangatlah dibutuhkan oleh suatu tim pemasaran, baik di sektor bisnis, hiburan, bahkan dunia politik sekalipun. Fungsi utama buzzer yaitu mendukung data fakta yang ada agar masif diterima oleh masyarakat dalam era digital melalui akun media sosial antara lain Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube.

"Jadi iklannya diatur supaya bisa menarget sampai ke mikro-targeting, orang-orang tertentu. Jadi cost mereka di Facebook memang sangat tinggi. Kalau di Indonesia pendekatannya berbeda, medsos itu mereka gunakan dalam bentuk buzzer," ujarnya.

Selain itu, lebih spesifik lagi penyebaran informasi di media sosial Twitter digunakan lewat tagar atau hashtag.

“Di Indonesia itu, Twitter lebih dipakai membangun opini sehingga harapannya menjadi trending topic,ujar Fahmi.

Menurut analisis data yang ia punya dari sistem analisis media sosial dan platform online, Drone Emprit, strategi pemanfaatan lainnya seperti penggunaan tagar bisa berpengaruh ketika sebuah pembahasan menjadi trending topic.

“Muncul di trending topic sebentar, baru kemudian (diangkat) oleh media. Jadi mereka mengejar itu. Mereka kejar supaya ada hashtag, 'kan berisi pesan jadi pesan, mereka bisa menjangkau orang dengan mudah melalui media virality dan hashtag ini,” tambahnya.

Menurutnya, memasang iklan di Twitter agar pengguna media sosial mau mengetuk iklan tersebut tidak terlalu signifikan di Indonesia.

Langkah preventif Twitter

Sementara menurut ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, Twitter pada dasarnya tidak melarang orang untuk memposting konten politik, namun bila konten tersebut diiklankan dengan fitur ads Twitter, pasti akan ditolak.

Ia juga mencontohkan kasus terkait pengiklan di media sosial yang sebelumnya pernah terjadi, seperti di Youtube. Para pengiklan di Youtube protes lantaran iklan mereka tampil di konten milik kelompok militan ISIS dan simpatisannya. Secara tidak langsung para pengiklan dianggap seperti memberikan dukungan ke ISIS. Akhirnya Google lebih selektif dalam memproses sebuah iklan.

“Penolakan Twitter bisa dianggap sebagai upaya preventif untuk menghindari platformnya diganakan sebagai alat menyebar kebohongan dengan massif. Namun yang patut dicatat adalah Twitter tidak semassif Facebook penyebaran kontennya,” ujarnya kepada DW Indonesia lewat pesan singkat.

Pakar keamanan siber ini juga menambahkan, di Indonesia Twitter sangat ekslusif. Meskipun lebih ramai di kota-kota besar, khususnya Jakarta, Twitter cenderung dipakai sebagai alat menyampaikan isu di awal, yang selanjutnya menjadi trending di Facebook, Whatsapp dan Instagram.

“Terkait iklan, sangat jarang ditemui iklan politik lewat Twitter di tanah air. Melihat pilpres kemarin pertempuran di FB dengan konten dan iklan sangat massif,” imbuhnya.

Ia menegaskan pelarangan iklan pada konten politik di Twitter tidak berpengaruh banyak pada masyarakat tanah air. Yang perlu dilakukan Twitter adalah membasmi akun anonim penyebar hoaks dan juga akun robot yang melakukan kegiatan spamming maupun Re-Tweet massal, sehingga mengganggu trending topics.

Ed: ae