1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kurangi Emisi, Uni Eropa Setuju Ulat dan Jangkrik Dikonsumsi

Ajit Niranjan
25 Januari 2023

Eropa ingin menukar steak dengan jangkrik agar dapat mengurangi polusi gas rumah kaca dan memperlambat kepunahan spesies. Namun, membujuk orang untuk memakannya akan sulit.

https://p.dw.com/p/4Mf1v
Insekten als Nahrung | Mehlwürmer
Foto: Vit Simanek/CTK/dpa/picture alliance

Larva ulat bambu yang mirip belatung, sejenis kumbang hitam mengkilap dan jangkrik rumah akan ditetapkan menjadi serangga ketiga dan keempat yang dapat dijual sebagai makanan bagi orang-orang di Uni Eropa (Uni Eropa). Delapan pengajuan sedang menunggu persetujuan.

Pada Selasa (24/01), UE memberikan lampu hijau untuk penjualan larva dalam bentuk bubuk, beku, pasta, dan kering. Jangkrik dapat dijual sebagai bubuk yang dihilangkan sebagian lemaknya.

Bagi banyak orang Eropa, gagasan memakan makhluk yang menggeliat atau merangkak dalam bentuk apa pun tidak terlalu menarik. Tetapi serangga, yang dianggap lezat di restoran kelas atas di seluruh dunia, adalah bagian makanan yang normal dan sehat di negara-negara mulai dari Meksiko hingga Thailand. 

Orang memakan serangga
Serangga lebih sering jadi makanan orang Asia, Afrika, dan Amerika Selatan daripada di Eropa dan Amerika UtaraFoto: AFLO/imago images

Memotong emisi daging jadi "tantangan besar”

Produksi daging dan produk susu menyumbang sekitar seperempat dari pemanasan global. Sapi dan domba menyemburkan metana, gas rumah kaca yang kuat tetapi berumur pendek. Petani membabat hutan untuk membuat padang rumput dan menanam kedelai, yang tiga perempatnya digunakan untuk pakan ternak.

Jika jangkrik goreng dan salad ulat bambu akan menjadi pengganti steak dan hamburger, maka aka nada peranan kecil dalam menghentikan kepunahan spesies dan membatasi perubahan iklim.

"Ini tantangan yang sangat besar untuk mengatasi meningkatnya permintaan produk peternakan,” kata Tim Searchinger, direktur teknis program pangan di World Resources Institute, sebuah organisasi penelitian lingkungan AS. "Kami harus mencari solusi,” tambahnya.  

Peternakan menyumbang polusi gas rumah kaca
Industri daging dan susu bertanggung jawab atas sebagian besar polusi gas rumah kaca yang berasal dari makananFoto: Mark Baker/AP/picture alliance

"Tidak ada yang akan dipaksa makan serangga”

Keputusan Komisi Eropa untuk menyetujui dua serangga baru sebagai makanan, tampaknya bukan bagian dari dorongan untuk mengubah pola makan. Meskipun dikatakan bahwa konsumsi serangga "berkontribusi positif terhadap lingkungan dan kesehatan serta mata pencaharian." 

Sebaliknya, aturan baru mengklarifikasi bahwa larva ulat bambu dan jangkrik rumahan aman dikonsumsi bagi mereka yang tidak alergi. Mereka juga memutuskan bahwa makanan yang mengandung serangga harus diberi label.

"Tidak ada yang akan dipaksa makan serangga," kata Komisi Eropa dalam sebuah tweet pekan lalu.

Namun, langkah tersebut dapat mempercepat peralihan ke pola makan yang tidak terlalu merusak lingkungan.

Di Jerman, misalnya, sekitar separuh populasi berencana untuk makan lebih sedikit daging, sementara di Amerika Serikat, orang makan lebih banyak daging tetapi mengganti daging sapi dengan daging yang tidak terlalu mencemari seperti ayam. Protein serangga dapat memberikan alternatif yang murah, terutama dalam makanan olahan.

Antara 35% dan 60% dari berat kering serangga terdiri dari protein. Bagian ujung bawah lebih besar dari kebanyakan sumber protein nabati dan ujung atas lebih tinggi dari daging dan telur. Serangga lebih baik daripada hewan ternak dalam mengubah kalori. Mereka juga berkembang biak dengan cepat dan menambah berat badan dengan cepat.

Hanya segelintir penelitian yang mencoba mengatasi kerusakan lingkungan akibat memakan serangga. Penilaian siklus hidup yang diterbitkan pada tahun 2021 menemukan bahwa protein dari ulat bambu menggunakan 70% lebih sedikit lahan dan memompa 23% lebih sedikit gas rumah kaca ke atmosfer daripada mendapatkan jumlah protein yang sama dari ayam broiler.

Studi sebelumnya juga menemukan serangga lebih baik untuk lingkungan daripada daging tetapi lebih buruk daripada tumbuhan.

Rasa jijik menjadi keraguan terbesar

Namun, meyakinkan orang di UE dan AS untuk makan lebih banyak serangga bisa jadi rumit.

Tiga perempat konsumen Eropa tidak mau menukar daging dengan serangga dan 13% lainnya tidak yakin, menurut laporan tahun 2020 dari Organisasi Konsumen Eropa. Di Jerman, 80% orang mengatakan bahwa mereka muak dengan gagasan memakan serangga, menurut laporan tahun 2022 dari badan lingkungan Jerman, UBA.

"Rasa jijik dinilai sebagai rintangan terbesar untuk masuknya serangga ke pasar makanan Barat," tulis para penulis.

Sebuah studi yang diterbitkan pada bulan Desember menemukan orang lebih mau makan serangga setelah diberitahu tentang manfaat lingkungan.

Sebuah studi terpisah pada tahun 2020 menunjukkan norma sosial mengubah cara orang terbuka untuk memakan belalang.

"Karena manusia adalah spesies yang sangat sosial, memanfaatkan sifat sosial mungkin terbukti sangat berguna," tulis para penulis. (pkp/hp)