1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

UNDP: Inflasi Cuatkan Angka Kemiskinan Ekstrem

8 Juli 2022

Sebanyak 71 juta manusia di seluruh dunia jatuh ke jurang kemiskinan akibat naiknya harga pangan dan bahan bakar. Laporan UNDP mencatat negara berkembang sebagai pecundang terbesar perang di Ukraina.

https://p.dw.com/p/4DoEV
Korban gempa bumi di Gayan, Afganistan
Anak-anak korban gempa bumi di Gayan, AfganistanFoto: Ali Khara/REUTERS

Program Pembangunan PBB, UNDP, melaporkan sebanyak 51,6 juta manusia jatuh ke bawah garis kemiskinan ekstrem atau berpenghasilan kurang dari USD1,9 atau Rp28.400 per hari. Adapun 20 juta manusia lain harus hidup dengan kurang dari USD3,2 atau sekitar Rp50.000 per hari.

Lonjakan angka kemiskinan dicatat terjadi hanya di tiga bulan pertama pascainvasi Rusia di Ukraina.

Studi UNDP mengukur kenaikan harga bahan kebutuhan pokok di seluruh dunia dan dampaknya terhadap komunitas miskin. 

Tanpa mengukur dampak perang di Ukraina pun, penduduk di negara-negara berpenghasilan rendah rata-rata mengalokasikan 42 persen dari pemasukannya untuk membeli bahan pangan. Dengan naiknya harga gandum, gula, dan minyak nabati, himpitan ekonomi bagi penduduk miskin semakin berlipat ganda. 

"Dampak invasi terhadap lonjakan biaya hidup di seluruh dunia hampir tidak ada bandingannya, sebab itu kenapa hal ini sangat serius,” kata Administrator UNDP, Achim Steiner, Kamis (07/07).

Eskalasi laju kemiskinan 

Pertambahan angka penduduk miskin akibat perang di Ukraina tercatat melaju lebih cepat ketimbang akibat pandemi. UNDP mencatat, sebanyak 125 juta manusia jatuh ke jurang kemiskinan selama 18 bulan pandemi COVID-19, dibandingkan 71 juta yang jatuh miskin selama tiga bulan pertama invasi Rusia.

"Laju pertambahan berjalan sangat cepat,” kata George Molina, Kepala Ekonom UNDP dan salah seorang penulis studi. 

Sebanyak 20 negara tercatat terkena dampak paling parah, yakni Haiti, Filipina, Argentina, Mesir, Irak, Turki, Rwanda, Sudan, Kenya, Sri Lanka, dan Uzbekistan.

Sebagian negara tidak hanya mengalami kelangkaan pangan akibat terhentinya suplai gandum di Laut Hitam, melainkan juga perang. Hal ini terutama berlaku untuk wilayah Afrika Sub-Sahara, terlebih kawasan Sahel.

Adapun Indonesia juga mendapat rapor merah, dengan kenaikan sebesar 2,94 persen untuk kelompok berpenghasilan di bawah USD1,90 per hari, kenaikan rata-rata 3,09 persen untuk kelompok USD3,20 dan 3,72 persen untuk kelompok di bawah USD5,50 per hari.

Bantuan langsung ketimbang subsidi

Rabu (06/07), PBB juga merilis laporan yang mewanti-wanti terhadap ancaman bencana kelaparan, dengan 2,3 miliar manusia mengalami kelangkaan pangan moderat dan akut di seluruh dunia.

Tantangan ini membutuhkan langkah global, kata Steiner dari UNDP, yang meski meyakini dunia internasional mampu membiayai program pemulihan, "tapi kemampuan kita untuk bertindak serempak dan cepat sangat terbatas.”

UNDP mengusulkan agar pemerintah tidak lagi membiayai subsidi energi, tetapi memberikan bantuan langsung tunai untuk menyelamatkan penduduk yang paling rentan. 

Adapun untuk negara yang terlilit utang, UNDP mengimbau kreditur internasional untuk memperpanjang moratorium pembayaran utang yang ditetapkan sejak pandemi. 

Menurut Steiner, langkah tersebut bukan semata bantuan sosial, melainkan "tindakan rasional untuk kepentingan sendiri,” demi mencegah munculnya tren negatif yang semakin membebani pemulihan ekonomi.

rzn/ha (AP, Reuters)