1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa Janjikan Ganti Rugi Akibat EHEC Bagi Petani

Edith Koesoemawiria8 Juni 2011

Sumber bakteri e-Coli (EHEC) belum ditemukan. Namun ketimun, tomat, daun selada dan tauge sudah boleh dimakan. Ribuan petani pun kepalang merugi. Meski Uni Eropa menjanjikan ganti rugi, belum tentu akan memadai.

https://p.dw.com/p/11WcO
Foto: dapd

Krisis akibat bakteri EHEC merupakan tema utama pada Pertemuan Khusus Para Menteri Pertanian Uni Eropa di Luxembourg hari Selasa (07/06). Komisaris Pertanian Uni Eropa Dacian Ciolos mengumumkan, para petani yang menyandang kerugian akibat ancaman bakteri e-Coli itu akan diberi kompensasi.

Komisaris Pertanian Uni Eropa, Dacian Cioloş
Foto: DW/C.Stefanescu

Sebelum pertemuan Ciolos sudah mengusulkan dana kompensasi sejumlah 150 juta Euro. Dikatakannya, jumlah persisnya masih harus dibahas bersama dan akan tergantung pada kebutuhan. Dana 150 juta Euro itu akan memberikan para petani kompensasi yang menutupi 30% dari kerugian yang dialami.

Spanyol dan Perancis menolak. Menteri Pertanian Spanyol Rosa Aguilar mengatakan, jumlah itu tidak cukup untuk petani Spanyol. Jerman sempat menyebut ketimun Spanyol sebagai penyebab meluasnya bakteri e-Coli dan Serikat Tani Spanyol mencatat kerugian yang mencapai 200 juta Euro setiap minggunya. Rosa Aguillar menuntut agar petani Spanyol diganti 100% nilai kerugiannya, berdasarkan harga pasar untuk ekspor, karena sejumlah negara lain turut melarang impor ketimun Spanyol.

Dalam pembahasan mengenai masalah ini, Komisaris Kesehatan Uni Eropa, John Dalli mengatakan, "Saya ingin menekankan lagi bahwa wabah itu secara geografis terbatas pada wilayah kota Hamburg. Jadi tidak ada alasan kini untuk mengambil langkah-langkah ditingkat Eropa dan menetapkan larangan ekspor/impor hasil tani. Kami menganggap larangan seperti itu tidak seimbang dengan situasi yang dihadapi. Kamipun masih berhubungan dengan negara-negara terutama Rusia, untuk mencabut larangan ekspor/impor sayur mayur".

Tes pada ketimun
Foto: dapd

Sementara Komisaris Pertanian Uni Eropa Dacian Ciolos mengatakan, ia akan mengusulkan jumlah dana yang lebih besar hari Rabu (08/06) . Ia berharap agar usulan itu akan sudah bisa disepakati pekan depan. Dana kompensasi itu akan seluruhnya ditanggung oleh Uni Eropa. Begitu ungkapnya, sambil mengingatkan bahwa ganti rugi tidak boleh terlalu tinggi. Dikatakannya, bantuan Uni Eropa itu akan menutupi seluruh kerugian untuk produk-produk tertentu yang dialami pada bulan Juni.

Sementara Menteri Pertanian Jerman Ilse Aigner menegaskan, bahwa yang paling penting adalah agar dana ganti rugi itu bisa dibagikan dengan cepat, tanpa banyak birokrasi. Juga petani Jerman mengalami kerugian besar-besaran, sampai kini tercatat sudah 50 juta Euro.

Dalam pertemuan di Luxembourg, pemerintah Jerman, khususnya Aigner kembali menghadapi hujan kritik dari sejumlah negara. Manajemen krisis Jerman dinilai merugikan banyak pihak, tanpa membawa hasil. Sejumlah peringatan yang diumumkan Aigner telah berdampak dramatis. "Setiap hari ada sektor pertanian baru yang diduga sebagai penyebab wabah dan akhirnya seluruh sektor pertanian mengalami kerugian", demikian kritik Menteri Pertanian Austria, Niki Berlakovich. Juga Belgia menuding Jerman sebagai penyebab kesulitan di sektor pertanian ini.

Menteri Pertanian Jerman, Ilse Aigner
Foto: dapd

Membela diri, Menteri Pertanian Jerman, Ilse Aigner menegaskan, laporannya kepada Uni Eropa merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap negara Eropa guna melindungi masyarakat dari ancaman wabah. Ia sendiri juga melihatnya sebagai masalah Eropa dan menyambut adanya langkah penyelesaian di tingkat Uni Eropa. Uni Eropa juga memutuskan untuk mengirim para pakarnya untuk membantu Jerman dalam pencarian sumber bakteri e-Coli atau EHEC tersebut.

Sampai kini serangan bakteri e-Coli terhadap saluran pencernaan sudah menyebabkan 25 orang tewas dan 2300 orang sakit di 14 negara. Menurut Pusat prevensi dan pengontrolan wabah di Eropa, infeksi e-Coli teridentifikasi di Austria, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Belanda, Norwegia, Polandia, Swiss dan Inggris.

afp/dpa/Koesoemawiria
Editor Agus setiawan