1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Universitas Bonn

23 September 2006

Tradisi Indonesia yang berusia lebih dari 100 tahun dan hasil penelitian paling mutakhir tentang Indonesia berpadu di Universitas Bonn.

https://p.dw.com/p/CPUo
Gedung Utama Universitas Bonn
Gedung Utama Universitas BonnFoto: DW/Max Marenbach

Telah puluhan tahun para penerjemah Jerman-Indonesia untuk Departemen Luar Negeri dididik di universitas ini. Bahkan penerjemah mantan Presiden Suharto juga bekerja di Universitas Bonn sebagai dosen. Selain itu Indonesia merupakan salah satu fokus perhatian para ilmuwan Pusat Penelitian Pembangunan Bonn atau Bonner Zentrum fuer Entwicklungsforschung, ZEF.

Bonn yang hanya berpenduduk 300 ribu jiwa ini merupakan ibukota Jerman Barat hingga runtuhnya tembok Berlin. Wajar saja kota ini menjadi kawah candra-dimuka bagi calon penerjemah dan diplomat yang akan di tempatkan di negeri timur, sebelum wadah pendidikan itu akhirnya turut pindah ke Berlin. Bahasa Indonesia menjadi salah satu obyek pengajaran dalam Jurusan Bahasa Oriental sejak tahun 1950an. Seminar itu juga memiliki sejarah sendiri. Tahun 1887 masih di aman pemerintahan Kanselir Otto von Bismarck, Universitas Berlin mendirikan Seminar Bahasa Oriental untuk mendidik para calon penerjemah Departemen Luar Negeri Jerman. Setelah Perang Dunia kedua, Jerman terbagi dua dan jurusan itu pindah ke Bonn.

Pada tahun 1980an, pendidikan calon penerjemah dijadikan salah satu bidang studi di universitas Bonn. Di jurusan itu bahasa Indonesia menjadi satu dari dua mata kuliah bahasa Oriental yang wajib diikuti. Di pertengahan tahun 1990an, didirikan bidang studi wilayah Asia Tenggara bermodal tenaga pengajar Jerman yang sudah fasih berbahasa Indonesia. Studi bahasa Indonesia sangatlah digemari, ujar Berthold Damshäuser, seorang dosen penerjemah Bahasa Indonesia yang telah bekerja selama 20 tahun:

Damshäuser

“Di tahun 80an itu jumlahnya sampai mencapai seratus orang untuk semester pertama dan saya kira sebagian dari mereka memilih bahasa Indonesia karena bahasa itulah yang dianggap bahasa yang tidak terlalu sulit atau katakanlah gampang."

Damshäuser merupakan penerjemah Jerman-Indonesia yang sangat terkenal. Ia bahkan pernah menjadi penerjemah mantan presiden Indonesia, Soeharto, ketika berkunjung ke Jerman pada tahun 90an. Kecintaannya pada literatur membuat pria berumur 49 tahun ini menerjemahkan karya sastra klasik Jerman kedalam bahasa Indonesia. Antara lain puisi Bertold Brecht atau Johann Wolfgang von Goethe. Damshäuser juga mengalih bahasa karya sastra Indonesia kedalam bahasa Jerman. Bersama penyair Indonesia Agus Sarjono, Damshäuser menerbitkan serial „Puisi Jerman“. Ia berpendapat hanya bahasa Indonesia tingkat pemula yang bisa dianggap mudah.

Damshäuser : Oleh mereka yang bisa membandingkan bahasa Indonesia dengan bahasa Cina atau bahasa Jepang akhirnya dikatakan kalau mereka sudah agak maju dalam pelajarannya bahwa bahasa Indonesia lebih sulit daripada bahasa Jepang atau Cina.“

Menurut Damshäuser, menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Jerman merupakan tantangan besar. Perbedaan antara kedua bahasa sangat jauh. Dalam bahasa Jerman kejelasan arti kata sangat diutamakan, sementara bahasa Indonesia memiliki banyak kerancuan. Hal yang memusingkan banyak penerjemah profesional.

Damshäuser: „Betul-betul bahasa Indonesia agak rumit karena pemahaman kalimat Indonesia cukup sulit. Saya kasih contoh yang sederhana misalnya kalimat pintu rumah yang baik. Di situ misalnya kita tidak tahu, mana yang baik, pintu atau rumah.“

Kendati menghadapi banyak tantangan penerjemah berdedikasi ini tidak ingin bekerja di bidang lain. Ia sangat menyayangkan jika jurusan pendidikan penerjemah harus dihapuskan karena reformasi pendidikan. Hal ini juga berlaku bagi jurusan ilmu wilayah Asia Tenggara. Walaupun begitu Damshäuser akan tetap mengajar Bahasa Indonesia. Sejak dua tahun jurusan ilmu wilayah Asia membuka jenjang pendidikan bachelor atau S-1. Dalam bidang studi ini mahasiswa dapat memilih studi wilayah asia tenggara. Rencananya mulai tahun depan akan dibuka pula jenjang pendidikan master atau S-2 untuk studi wilayah asia tenggara. Disamping bahasa Cina dan Vietnam, juga ditawarkan jurusan Bahasa Indonesia. Selain mempelajari bahasa, jurusan ini juga menitikberatkan pada tema-tema politik dan kemasyarakatan. Antara lain mencakup mata kuliah politik dan agama di Asia Tenggara, masalah sosial di Asia dan politik kaum minoritas di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kerjasama pembangunan di Asia Tenggara juga menjadi mata kuliah dalam studi ini. Banyak mahasiswa yang tertarik untuk bekerja di bidang kerjasama pengembangan, apalagi sejumlah institusi kerjasama pengembangan berkantor di Bonn. Kantor Kementerian untuk Kerjasama Ekonomi, juga Lembaga Dinas Bantuan Pengembangan Jerman dan Welthungerhilfe, organisasi German Agro Action, Deutsche Welle atau cabang badan organisasi PBB di Jerman berkantor di Bonn.

Bagi sarjana yang tertarik menerapkan ilmunya untuk negara berkembang, dapat bekerja di Pusat Riset Pengembangan atau Zentrum fuer Entwicklungsforschung ZEF di Universitas Bonn. Peneliti ZEF berminat meneliti perubahan politik, budaya, ekonomi, teknologi dan ekologi dalam era globalisasi. Siapa pun yang ingin memahami dunia global, harus merintis dari tingkat lokal. Itulah yang dilakukan Kathrin Situmorang mahasiswa doktoral yang tengah menulis disertasinya di ZEF. Kathrin membuat penelitian tentang jalur perdagangan antar masyarakat Batak di Sumatera Utara.

Kathrin: Proyek itu saya ada ide karena sampai sekarang studi dengan daerah itu hanya menerangkan masalah-masalah internasional yang juga ada perhubungan dengan masalah pajak laut dan masalah fiskal, keuntungan perusahaan besar dll. Tapi perdagangan lokal seperti perdagangan Batak pada umumnya diabaikan. Proyek saya ingin meneliti bagaimana jaringan perdagangan lokal berfungsi dan siapa atau apa mempengaruhi proses perdagangan lokal itu.“

Guna mengamati lebih dalam jalur dan hubungan perdagangan di sana, tahun depan Kathrin akan mengunjungi Sumatera Utara dan mengumpulkan data secara langsung. Kathrin cukup beruntung, karena suaminya berasal dari Sumatra Utara. Ia sudah mengenal baik daerah dan adat batak melalui keluarga suaminya. Tapi untuk keperluan disertasi, ia masih harus mempelajari sisi ekonomi daerah itu. Keuntungan lain bagi ilmuwan berusia 27 tahun tersebut adalah penelitiannya merupakan bagian dari proyek kerjasama berbagai disiplin ilmu. Sekelompok peneliti dari latar belakang berbagai ilmu tengah mengadakan penelitian potensi pengembangan dan risiko Selat Malaka. Yang sejak ratusan tahun dikenal sebagai salah satu jalur perdagangan laut penting bagi dunia internasional. Kelompok peneliti ini terdiri dari ahli ilmu alam yang memberi perhatian pada eksplorasi bahan mentah yang dikapalkan melalui selat Malaka. Para Ahli budaya yangmempelajari konflik antar etnis dan agama di wilayah tersebut. Serta ahli ekonomi yang meneliti potensi kota-kota pelabuhan penting. Latar belakang pendidikan para ilmuwan yang beragam dan tingginya kualitas penelitian di ZEF merupakan alasan Kathrin Situmorang memilih mengerjakan disertasi doktoralnya di lembaga itu:

Kathrin: “Ada program doktor di ZEF, sebagai anggota program itu saya bisa mengikuti beberapa kursus tentang cara menjalankan penelitian dan disitu juga belajar bagaimana menulis disertasi. Dan akhirnya proyek saya ada satu bagian dari satu proyek yang lebih besar. Dan guna untuk saya adalah, bahwa ada ilmuwan yang kerja dalam proyek yang lebih besar dan yang bisa bantu saya."

Kelompok ilmuwan tempat Katrin bergabung bukan satu-satunya kelompok di ZEF yang meneliti Indonesia.. Profesor Solvay Gerke dan Profesor Hans-Dieter Evers termasuk dua pakar Indonesia yang saat ini yang bekerja di ZEF. Selain itu sekelompok peneliti yang kompeten dan memiliki strategi perombakan di bidang pendidikan, mengadakan riset di negara ASEAN termasuk Indonesia.

ZEF juga membuat penelitian tentang pengaruh hukum daerah dalam eksplorasi sumber daya alam. Misalnya, sekelompok pakar tengah mengadakan penelitian di Kalimantan Timur tentang negosiasi penebangan hutan antara penduduk setempat dengan pihak industri. Kesuksesan ZEF juga dapat dilihat dari program doktoral yang dibuka tujuh tahun lalu, yang telah menghasilkan 89 doktor dari negara berkembang dan 41 kandidat dari Jerman. Lebih dari setengah jumlah doktor alumni ZEF bekerja di negara asalnya sebagai pegawai negeri atau ilmuwan. 15 persen lainnya bekerja di institusi internasional seperti Bank Dunia atau PBB. Sementara sepuluh persen sisanya bekerja di Jerman. Hingga kini ada tujuh orang Indonesia yang telah menulis disertasi doktoralnya di ZEF.