1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

111110 Zwangsarbeit Konferenz Berlin

15 November 2010

Sekitar 20 juta orang, menurut data historis terbaru, menjadi korban kerja paksa masa NAZI. Baik di kawasan yang disebut Jerman Reich (1871-1943) maupun di negara asalnya. Perbedaan ingatan masa lalu masih hambat Eropa.

https://p.dw.com/p/Q9ku
Tahanan kamp konsentrasi di sebuah proyek bangunan pabrik di Ausschwitz (1943)Foto: Bundesarchiv, Koblenz

Untuk mengantisipasi kesulitan dan tantangan, menciptakan budaya mengingat secara bersama di Eropa digelar sebuah konferensi di Berlin. Eropa harus mengakui sejarah, perang dan konflik serta dua tema masa lalu Nasionalsosialistis NAZI maupun Stalinisme. Demikian permintaaan pakar politik Claus Leggewie.

"Eropa hanya dapat mencapai identitas politik yang kokoh, jika penjelasan secara terbuka untuk saling mengakui ingatan-ingatan yang kontroversial juga dinilai tinggi seperti halnya kesepakatan perjanjian, perdagangan dalam Uni Eropa dan pembukaan perbatasan," lebih jauh Claus leggewie.

Tapi terpenuhinya norma-norma politis dan ekonomis bukan segalanya. Baru jika ingatan yang berbeda-beda terhadap kejadian di masa lalu dapat benar-benar ditengahi, dapat membuat Eropa bertindak. Namun selama ini negara-negara di Eropa memiliki ingatan budaya masa lalu yang sangat berbeda. Seperti yang jelas ditunjukkan dalam fenomena kerja paksa di masa pemerintahan NAZI Jerman. Sekelompok pakar sejarah internasional kini meneliti tema tersebut, yang disponsori oleh Yayasan EVZ (Ingatan, Tanggungjawab, Masa Depan).

Ketua Yayasan EVZ Günter Saathof mengatakan, terdapat kesenjangan pengetahuan dan ruang interpretasi yang berbeda. Dan EVZ berusaha untuk memberikan impuls melalui proyek-proyek penelitian untuk meriset hal itu secara rinci.

Tapi itu belum berarti nasib para korban juga menjadi bagian ingatan secara kolektif. Korban-korban dari Eropa Timur dan Eropa Tenggara, jika mereka masih selamat dari masa NAZI, kembali ke negara-negara sosialis. Namun di sana sudah berlaku ingatan sejarah secara politis menurut penuturan sejarah Sovyet. Tokoh-tokoh yang dipandang pahlawan adalah para partisan, pejuang pemberontak dan anggota Tentara Merah. Para pekerja paksa, tahanan perang atau tahanan Kamp Konsentrasi dipandang sebagai unsur-unsur yang mencurigakan. Demikian papapr pakar sejarah dari Hamburg, Imke Hansen.

Para korban kerja paksa kembali ke Rusia, Ukraina atau Belarusia harus melalui prosedur birokrasi yang merendahkan mereka dan hidup dalam situasi sosial yang paling sulit. Beberapa diantaranya dapat menyesuaikan diri dengan hal itu, yang lainnya menderita sepanjang hidup dengan kebisuan secara terpaksa.

Pakar sejarah Dariusz Galasinski meneliti nasib mantan anak-anak pekerja paksa Polandia dan menyimpulkan, "Kami memiliki gambaran yang sangat kompleks mengenai orang-orang ini. Di satu sisi ada yang menceritakan tentang hilangnya masa kanak-kanak. Di sisi lain penderitaan setelah perang. Karena masyarakat menolak untuk dihadapkan pada penderitaan mereka."

Juga di Bulgaria selama berpuluh-puluh tahun terbina budaya kepahlawanan, dimana para pemberontak dan penderitaan masa komunisme diagung-agungkan. Ini memicu terjadinya kerancuan. Setelah ambruknya Blok Timur masalah korban kerja paksa tetap ada. Selama beberapa waktu para korban yang sebelumnya terlupakan kembali didengar, tapi kemudian masyarakat kembali melupakan hal itu.

Pakar sejarah Claus Leggewie menekankan secara eksplisit untuk diadakan penelitian yang intensif dan diskusi terbuka masalah korban kerja paksa. Ingatan Eropa bukanlah budaya dan norma yang diatur, melainkan lebih merupakan ingatan yang heterogen dan sangat berbeda

Cornelia Rabitz/Dyan Kostermans

Editor: Asril Ridwan