1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Usaha Rekonsiliasi di Kamboja

16 April 2010

Sebuah lembaga swadaya masyarakat di Kamboja yang disponsori oleh pemerintah Jerman, baru-baru ini telah menyelesaikan perundingan rekonsiliasi pertama dengan bekas kader-kader Khmer Merah di Anlong Veng.

https://p.dw.com/p/MyOk
Bekas pimpinan Khmer Merah Pol Pot meninggal 1998 dan tidak pernah diadiliFoto: AP

150 orang mantan anggota Khmer Merah dan keluarga mereka, sekelompok biksu Budha bersama sejumlah polisi pengaman serta beberapa wakil mahkamah Kejahatan Perang PBB, bertemu di pinggiran Anlong Veng di barat laut Kamboja, minggu lalu. Anlong Veng adalah kota kecil tempat markas pertahanan terakhir Khmer Merah dan baru jatuh ke tangan pemerintah Kamboja tahun 1998 lalu. Beberapa dari pemimpin Khmer Merah yang terkenal, masih sangat disegani di wilayah tersebut.

Dalam pertukaran pendapat tentang apa arti usaha-usaha perdamaian dan keadilan itu, juga dibicarakan mengenai trauma psikologis dari puluhan tahun perang di Kamboja. Pertemuan tersebut dibidani oleh Lembaga Keadilan dan Rekonsiliasi yang dipimpin oleh Daravuth Seng dan dibiayai oleh pemerintah Jerman. Tujuannya untuk memberikan wadah bagi bekas kader Khmer Merah dan para korbannya untuk bertemu dan berbicara sehingga tercapai saling pengertian di antara mereka. Menurut Daravuth Seng, ini adalah usaha rekonsiliasi nasional untuk Kamboja. "Manusia umumnya adalah mahluk sosial dan mereka ingin kembali pada karakter tersebut. Jadi kita harus sangat hati-hati untuk tidak mengarahkan mereka ke dalam situasi di mana mereka dapat mengatakan hal-hal yang tidak selalu datang dari hati mereka. Namun tetap memberikan kebebasan berbicara sehingga proses rekonsiliasi yang berarti dapat terjadi.“

Kambodscha Roter Khmer in Phnom Penh 1975
Khmer merah menguasai Phnom Penh tahun 1975Foto: AP

Seng, warga Amerika Serikat keturunan Kamboja, yang berprofesi sebagai pengacara di Amerika menambahkan, alasan lain diadakannya pertemuan tersebut adalah untuk mencoba mengerti mengapa Khmer Merah melakukan apa yang telah mereka lakukan. Dengan demikian, hal tersebut dapat membantu mencegah terjadinya tindakan-tindakan kekejaman serupa terhadap rakyat di masa yang akan datang. "Bila kita tidak ingin sejarah terulang kembali, kita harus benar-benar mengerti maksud kedua belah pihak, untuk bisa memahami cara bangsa ini memandang dunia.“

Seorang peserta pertemuan mengatakan, jika bicara tentang keadilan, maka seharusnya Mahkamah Kejahatan Perang PBB yang saat ini tengah mengadili penjahat perang di Pnom Penh, Vietnam, hanya mengadili lima orang pemimpin Khmer Merah yang sedang ditahan sekarang. "Kita seharusnya hanya mengadili pimpinan-pimpinan puncak revolusi saja. Kita tidak seharusnya membawa anggota-anggota kelas menengah atau kelas bawah, karena mereka hanya mengikuti pemimpinnya saja.“

Pernyataan ini mengacu kepada pemberitaan media mengenai rencana Mahkamah Kejahatan Perang PBB untuk mendakwa lima orang tertuduh baru. Orang-orang di Anlong Veng khawatir bahwa mereka bisa menjadi salah satu terdakwa dan mereka telah memberi peringatan bahwa tindakan mahkamah dapat merusak kestabilan proses rekonsiliasi. Peserta pertemuan juga menolak untuk disebut sebagai „bekas anggota Khmer Merah“. Istilah yang langsung diasosiasikan sebagai pembunuh dan penganiaya,. Menurut mereka, sebutan itu juga dapat mencoreng masa depan anak-anak mereka. Mereka memilih untuk disebut sebagai warga Kamboja saja.

Daravuth Seng sendiri menilai bahwa pertemuan yang diselenggarakannya telah berjalan lebih baik dari yang ia harapkan. Banyak orang yang datang dan berbicara mengenai harapan dan ketakutan mereka. Seorang perempuan bahkan telah menangis dan mengungkapkan penyesalannya akan apa yang telah ia lakukan di masa lalu. Menurut Seng, penyesalan yang tampak tulus itu menyiratkan secercah harapan bagi rekonsiliasi di Kamboja.

Robert Carmichael / Munge Setiana-Heitland
Editor: Vidi Legowo-Zipperer