1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan BerpendapatEropa

Usai Blokir Trump, Twitter Dibidik Penguasa Populis

16 Januari 2021

Pemblokiran akun Twitter Presiden AS Donald Trump memicu kekhawatiran di kalangan populis kanan di seluruh dunia. Sejumlah negara kini menyiapkan legislasi baru untuk membatasi kekuasaan raksasa media sosial.

https://p.dw.com/p/3nyLi
Twitter dan Donald Trump
Twitter dan Donald TrumpFoto: Jens Krick/Flashpic/picture alliance

Keputusan Twitter memblokir akun pribadi Donald Trump atas dugaan hasutan tindak kekerasan berbuntut panjang. Menyusul kekhawatiran terhadap kebebasan berpendapat, sejumlah negara kini berniat memerangi sensor di media sosial.

Presiden Meksiko, Andres Manuel Lopez Obrador, pada Kamis (14/1) mengumumkan bakal melobi negara-negara lain untuk menyepakati sikap bersama. "Saya bisa katakan, pada KTT G20 nanti saya akan mengajukan proposal terkait isu ini,” kata dia.

"Ya, media sosial tidak seharusnya digunakan untuk menghasut tindak kekerasan, tapi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi,” kata presiden yang sering disebut memiliki gaya pemerintahan serupa Trump itu.

"Bagaimana sebuah perusahaan bertindak seakan-akan paling berkuasa, mahakuasa, seperti Inkuisisi Spanyol terhadap kebebasan berpendapat?,” tanyanya.

Kata-kata yang paling sering digunakan Donald Trump di akun twitternya.
Kata-kata yang paling sering digunakan Donald Trump di akun twitternya.

Menteri Luar Negeri Meksiko, Marcelo Ebrard, mengklaim pihaknya sudah menindaklanjuti arahan presiden dan "sesegera mungkin menghubungi negara-negara lain yang berpikiran sama,” kata dia, sembari menambahkan pihaknya sudah berhubungan dengan pemerintah Prancis, Jerman, Uni Eropa, Afrika hingga Asia Tenggara.

"Perintah presiden adalah menghubungi mereka, membagi kekhawatiran dan bekerja sama untuk menyusun proposal gabungan,” kata Erbrad. "Kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti.”

Kekhawatiran populis kanan

Kritik terhadap langkah Twitter pertamakali diutarakan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Melalui juru bicaranya, dia menilai pemblokiran akun Trump bersifat "problematis.” Tidak seharusnya sebuah korporasi bisa melucuti kebebasan berpendapat dengan aturan pribadi, tanpa mengindahkan konstitusi.

"Hak fundamental ini,” kata juru bicara pemerintah Steffen Seibert, "hanya bisa dicabut menurut hukum yang berlaku dan melalui kerangka yang disepakati parlemen, tidak melalui keputusan managemen sebuah perusahaan.”

Di Polandia, pemerintah malah berniat menyusun legislasi baru untuk mengatur Facebook, Twitter dan Instagram. Perdana Menteri Mateusz Morawiecki menilai pemblokiran akun media sosial merupakan "ranahnya rejim totaliter dan otoriter,” tulisnya di Facebook, Selasa (12/1).

Presiden Meksiko, Lopez Obrador, sering bertukar kata manis dengan Presiden AS, Donald Trump, meski dia berasal dari spektrum kiri.
Presiden Meksiko, Lopez Obrador, sering bertukar kata manis dengan Presiden AS, Donald Trump, meski dia berasal dari spektrum kiri.Foto: Marco Ugarte/AP/picture-alliance

Saat ini Partai Hukum dan Keadilan (PiS) yang berkuasa di Polandia telah mengajukan rancangan Undang-undang untuk membatasi kekuasaan media sosial menghapus konten atau memblokir pengguna. RUU tersebut digodok ketika Twitter mulai menandai kicauan Trump yang dinilai menyesatkan.

Namun aktivis demokrasi Polandia menuduh pemerintah memanfaatkan pemblokiran akun Trump untuk memperkuat kontrol atas media sosial, dan menjadikannya corong propaganda. Saat ini RUU yang diusulkan pemerintah di Warsawa sedang dipelajari oleh Uni Eropa. 

Brussels sebelumnya pernah menuduh PiS berusaha melucuti mekanisme demokratis demi kepentingan politik.

Hal serupa diyakini sedang diusahakan di Meksiko. Seperti halnya Trump, Presiden Obrador berulangkali mengeluhkan sikap kritis media yang dianggapnya sebagai bias. Dia juga berulangkali menggunakan istilah "kabar hoaks” untuk mendeskreditkan laporan-laporan kritis.

Meski berasal dari spektrum politik yang saling bersebrangan, Trump dan Obrador membina hubungan dekat. Keduanya juga banyak mengandalkan media sosial untuk menyapa basis pendukung.

"Penggunaan massal media sosial memudahkannya untuk menyampaikan pesan kepada pendukung, sementara dulu dia diblokir oleh media tradisional,” kata Ramirez Cuevas, juru bicara kepresidenan Meksiko.

rzn/yp (rtr, ap)