1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Usman Hamid: Hukuman Mati Hanya Komoditas Politik

Andy Budiman24 Januari 2013

Anda setuju hukuman mati? Bagi yang menentang, hukuman mati dianggap melanggar hak hidup. Apalagi di Indonesia yang pengadilannya dianggap korup. Seorang aktivis menjelaskan alasan kenapa hukuman ini harus ditentang.

https://p.dw.com/p/17P79
Foto: BilderBox

Pengadilan Bali, Selasa (22/01) menjatuhkan vonis mati kepada seorang nenek asal Inggris. Lindsay Sandiford 56 tahun yang dinyatakan terbukti “secara sah dan meyakinkan“ bersalah menyelundupkan narkotika.

Hukuman mati telah lama menjadi perdebatan di kalangan praktisi hukum Indonesia. Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Anti Tindak Kekerasan KONTRAS, tahun 2012 ada 128 terpidana yang divonis mati. Ditambah vonis terakhir di Denpasar, maka angka itu kini menjadi 129 orang, dan 50 diantaranya adalah warga asing. Sebagian besar berasal dari Nigeria, tiga warga Australia, dua warga Belanda, dua Inggris, dan satu orang Amerika.

Galerie 50 Jahre Amnesty International AI Demonstration gegen Todestrafe
Kampanye Amnesty International menentang praktek hukuman mati.Foto: picture-alliance/dpa

Usman Hamid adalah pendiri KONTRAS, yang baru-baru ini membangun jaringan kampanye internet: Digital National Movement (DINAMO). DINAMO antara lain dipakai untuk kampanye hak asasi manusia. Lewat Facebook dan Twitter @hamid_usman aktif menyebarkan gagasan tentang HAM termasuk menentang hukuman mati. Inilah cuplikan perbincangan Deutsche Welle dengan Usman Hamid.

Usman Hamid
Usman Hamid aktif berkampanye anti hukuman mati.Foto: Usman Hamid

Deutsche Welle:

Kenapa Anda menentang hukuman mati?

Usman Hamid:

Karena pada hakikatnya, hukuman mati mengambil hak hidup yang melekat pada setiap manusia. Alasan lainnya, ada banyak dalil para pendukung hukuman mati yang tidak terbukti. Misalnya bahwa hukuman mati bisa mengurangi kejahatan. Fakta membuktikan bahwa di banyak negara yang tidak menerapkan hukuman mati seperti Eropa, tingkat kejahatan sangat rendah. Sementara di negara-negara yang mengandalkan hukuman mati sebagai senjata ampuh untuk menegakkan wibawa hukum, justru kejahatan merajalela, termasuk Indonesia.

Deutsche Welle:

Para pendukung hukuman mati bagi kasus narkotika beralasan bahwa para pengedar ini telah merusak masa depan anak-anak Indonesia. Apakah Anda juga mempertimbangkan itu?

Usman Hamid:

Saya setuju bahwa mereka harus dihukum berat. Tapi ingat: mereka yang menentang hukuman mati bukan berarti ingin agar para pengedar narkotika ini dibebaskan. Ada banyak cara, misalnya dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup, atau bahkan hukuman kumulatif hingga ratusan tahun seperti yang dilakukan di banyak negara.

Deutsche Welle:

Mungkin Anda bisa jelaskan, khususnya untuk Indonesia, kenapa praktek hukuman mati ini bermasalah?

Usman Hamid:

Sudah menjadi rahasia umum bahwa jika berurusan dengan polisi, maka orang yang melaporkan kehilangan ayam harus siap kehilangan sapi. Orang yang ingin mendapat vonis ringan harus menyuap hakim, atau orang yang ingin mendapat dakwaan ringan harus menyuap jaksa. Dari situ jelas bahwa pengadilan Indonesia mustahil menghasilkan keputusan yang bersih dari kesalahan. Tidak mungkin pengadilan yang korup menghasilkan vonis yang adil. Kita sering merasa ironis melihat pejabat yang terbukti korupsi milyaran rupiah hanya dijatuhi hukuman yang sangat ringan. Sementara mereka yang tidak bisa menyewa pengacara yang baik dan tidak punya status ekonomi memadai mendapat hukuman berlipat ganda lebih berat. Kita tidak pernah melihat hukuman mati dijatuhkan kepada para pejabat atau penegak hukum misalnya. Vonis mati selalu diterapkan kepada orang yang tidak punya pengaruh sosial ekonomi yang tinggi. Ini semakin meneguhkan keyakinan saya untuk menentang hukuman mati.

Deutsche Welle:

Apakah ada fakta bahwa hukuman mati dipakai secara keliru di Indonesia?

Usman Hamid:

Pada masa rezim otoriter orde baru, hukuman mati dipakai untuk politik. Orang divonis mati karena dianggap subversi atau makar. Ini menggambarkan bahwa hukuman mati dipakai untuk menghabisi para lawan politik. Persis seperti di Cina atau negara-negara Timur Tengah, yang memakai itu sebagai senjata ampuh untuk membungkam oposisi. Pada masa sekarang (setelah reformasi-red) hukuman mati menjadi komoditi elit politik.

Deutsche Welle:

Maksudnya menjadi komoditi politik?

Usman Hamid:

Di Indonesia, dukungan terhadap hukuman mati hanya komoditas politik untuk memberi kesan bahwa elit politik ingin menegakkan hukum yang tegas atau misalnya untuk menunjukkan seolah-olah anti narkoba. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye Pemilu 2004 dan 2009, ketika ditanya apakah setuju hukuman mati menjawab bahwa dia pro hukuman mati karena bagi dia, hukuman mati akan menegakkan kewibawaan hukum dan mengakibatkan efek jera bagi para penjahat, apalagi untuk jenis kejahatan tertentu.

Deutsche Welle:

Ada sekitar 50 warga asing yang telah divonis hukuman mati. Apakah Anda melihat ada unsur politis dalam vonis mati yang melibatkan warga asing di Indonesia?

Usman Hamid:

Pemberian vonis hukuman mati bagi warga asing, seringkali didasarkan oleh reaksi yang akan muncul. Vonis mati biasanya dijatuhkan kepada mereka yang berasal dari negara yang dianggap tidak terlalu penting dalam konstelasi hubungan internasional atau tidak punya hubungan dekat dengan Indonesia. Mereka juga biasanya tidak punya uang untuk menyewa pengacara yang baik, dan tidak punya kemampuan lobi politik dan ekonomi. Jadi ada diskriminasi dalam menerapkan hukuman mati.