1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kasus Tragedi Trisakti Harus Segera Dibawa ke Pengadilan

Rizki Akbar Putra
13 Mei 2019

21 tahun sejak peristiwa berdarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998, masih belum terusut siapakah dalang di balik peristiwa penembakan ini. Simak wawancara dengan Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.

https://p.dw.com/p/3ILFF
Erinnerung an ethnische Unruhen in Jakarta 1998
Foto: Monique Rijkers

21 tahun sejak peristiwa berdarah tragedi Trisakti 12 Mei 1998, masih belum terusut siapakah dalang dibalik peristiwa penembakan ini. Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto adalah empat mahasiswa Universitas Trisakti yang menjadi korban tewas dalam penembakan tersebut. Aktivis 98, Usman Hamid yang juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia merupakan salah satu pelaku sejarah dalam turunnya rezim Soeharto saat itu. Lantas setelah 21 tahun berlalu bagaimana kisah Usman dalam memperjuangkan HAM? Simak wawancara eksklusif DW bersama Usman Hamid.

Aktivis HAM, Usman Hamid
Aktivis HAM, Usman HamidFoto: Usman Hamid

DW : 21 tahun tragedi Trisakti, bagaimana pendapat Anda selaku aktivis HAM dan pelaku sejarah peristiwa tersebut tentang perkembangan pengusutan kasus ini?

Kalau perkembangan bisa dilihat dari dua parameter, pertama secara hukum sebenarnya tidak ada perkembangan yang positif karena hasil-hasil penyelidikan awal peristiwa ini tidak juga ditindaklanjuti oleh pemerintah khususnya oleh jaksa agung apalagi sampai ke tingkat pengadilan mencari siapa pelaku dan penanggung jawab dari penembakan tersebut. Secara hukum begitu tidak ada perkembangan yang positif. Secara diluar hukum saya kira atau usaha untuk memberikan semacam kebijakan berbetuk rekognisi semacam  pengakuan terhadap peran dari para korban selaku eksponen gerakan mahasiswa di tahun-tahun itu melalui semacam penghargaan dari negara khususnya dari pemerintah tapi persisnya apa bentuknya juga belum tahu mungkin baiknya ditanyakan kepada pemerintah.

DW : Misi mahasiswa saat itu ingin menjatuhkan pemerintahan Soeharto pun berhasil. Lantas setelah enam kali pergantian kepala Negara bagaimana tren penanganan kasus ini?

Memang fluktuatif naik turun. Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid misalnya harapan itu lebih terasa muncul karena pemerintah kala itu mendukung upaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dari Timor Timur sampai Tanjung Priok. Pemerintahan Megawati saya kira mulai mengalami semacam "kemandekan” untuk menyelesaikan kasus HAM bahkan di masa pemerintahannya dan juga di masa pemerintahan SBY orang-orang yang di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sudah menjadi semacam subjek dari investigasi artinya diusut bahkan didorong untuk diajukan ke pengadilan, justru mendapatkan vonis-vonis bebas di masa pemerintahan Megawati dan SBY. Di masa SBY sepenuhnya seluruh para pelaku akhirnya dibebaskan, untuk pelanggaran HAM masa lalu ya. Ada usaha ketika itu untuk membuat semacam kebijakan 'rekognisi' pengakuan dengan pernyataan presiden untuk meminta maaf sampai dengan pemberian gelar pahlawan tetapi menjadi sebatas hanya pemberian semacam bintang jasa kepada keluarga korban yang saat itu diserahkan di istana negara. Pemerintahan SBY, pemerintahan Megawati, pemerintahan Abdurrahman Wahid sama-sama mencoba memberikan komitmennya tetapi hasilnya memang tidak dapat dirasakan langsung oleh para korban secara penuh misalnya keadilan hukum itu kan sesuatu yang paling utama. Sekarang kan mungkin tuntutan atau harapan, karena setelah sekian tahun lamanya mereka seakan diberi ketidakpastian oleh pemerintah dan ya hingga hari ini tuntuan itu juga masih ada, tidak seoptimis yang dahulu.

DW : Apa yang menggerakkan Anda untuk ikut turun ke jalan pada hari itu?

Ya kepedulian sosial semacam kepekaan pada masyarakat yang ketika itu merasakan kegelisahan saat itu akibat dari harga sembako yang melonjak drastis sampai dengan krisis moneter secara keseluruhan.

DW : Bisa Anda gambarkan atmosfer Ibu Kota saat Tragedi 12 Mei 1998?

Jakarta ketika itu misalnya sebelum sidang umum kondisi lalu lintasnya sih biasa saja hanya ada semacam kecemasan di dalam benak masyarakat kaena membaca berita tentang langkanya bahan-bahan pokok, harga-harga yang melambung tinggi, minyak beras gula semua sembilan bahan pokok tapi akhirnya memang itu memuncak setelah krisis harga nilai tukar rupiah anjlok. Sehingga dimana-mana kita lihat orang cemas karena keadaan ekonomi tidak menentu, di sisi lain persiapan penyelenggaraan pemilihan umum yang berlangsung tahun 97 atau sidang umum MPR/DPR yang berlangsung pada Maret 98 itu terasa sekali tidak mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat dan ada berbagai protes dari gerakan mahasiswa sendiri dari aksi-aksi yang kecil sampai aksi yang besar termasuk juga dari satu dua partai seperti PDI dan PPP yang beberapa politisinya cukup vokal, tokoh-tokoh kampus juga sangat vokal hampir tiap pekan diwarnai dengan mimbar bebas suatu cara untuk menggelar suatu orasi-orasi keprihatinan dari para tokoh dari para aktivis mahasiswa tentang keadaan ekonomi politik pada saat itu, dimulai dari keprihatinan pada ibu-ibu di Solidaritas Ibu Peduli yang menggelar aksi di Bundara HI memprotes melambungnya harga susu yang tentu saja berdampak pada ibu –ibu keseharian. Akhirnya aksi ibu-ibu dalam Solidaritas Ibu Peduli itu echo suara ibu-ibu itu banyak semacam mendapatkan perhatian dan mahasiswa akhirnya bergerak keluar kampus. Terjadilah penembakan-penembakan di beberapa kota di Jogjakarta, di Bogor, sampai di Trisakti di Jakarta.

DW : Bagaimana sejarah akan menilai generasi muda kita? Apakah cepat atau lambat peristiwa ini akan terlupakan atau sebaliknya?

Memang akan selalu demikian, sejarah akan ada yang melupakan tapi ada juga yang selalu mengingatnya. Apakah seluruhnya melupakan atau seluruhnya mengingat nampaknya juga tidak sehitam putih itu. Akan selalu ada aktivis mahasiswa yang tampil yang muncul termasuk pelajar yang mulai sadar akan pentingnya sejarah sehingga bisa mengambil peran untuk selalu mengingat dan mengusahakan agar sejarah yang kelam itu jangan terulang. Apalagi anak muda sekarang dengan informasi yang berlimpah sekarang saya pikir juga memang menjadi semacam penentu baik dari pandangan dan ingatan masyarakat tentang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia dan saya yakin meskipun yang ditemui banyak yang lupa tapi juga masih banyak yang ingat. Bisa lewat buku, bisa lewat film dokumenter, bisa lewat media sosial, bahkan bisa dengan berinteraksi langsung dengan para tokoh pelaku sejarahnya.

DW : Amnesty International telah menerbitkan 9 Agenda Prioritas Ham untuk pemerintah tepilih nantinya. Menurut pandangan Anda bagaimana proyeksi HAM di Indonesia kedepan?

Sulit untukmemproyeksikan hitam putihnya. Pertama karena agenda tersebut memang diperuntukkan untuk lima tahun periode pemerintahan yang dihasilkan oleh Pemilihan Umum 2019. Berarti kurang lebih seandainya KPU mengumumkan pemerintahan kembali dipimpin oleh Pak Joko Widodo misalnya maka kita akan melihat pengalaman selama lima tahun terakhir apakah cukup meyakinkan lima tahun selanjutnya itu bisa jauh lebih baik. Ada dua pandangan, pandangan pertama merasa yakin akan karena tidak ada lagi beban dari kepemimpinan Jokowi misalnya dibandingkan dengan lima tahun terakhir pertama karena didalam pemerintahan berikutnya tidak akan ada lagi resiko untuk tidak terpilih, katakanlah begitu. Tetapi pandangan yang kedua merasa bahwa sejauh pemerintahan ke depan masih melibatkan oran-orang yang tidak memiliki kepedulian soal hak asasi manusia maka agenda apapun yang sembilan agenda itu bahkan lebih misalnya, itu tidak akan mendapatkan perhatian penuh. Itu yang saya rasakan. Jadi akan masih sangat ditentukan, misalnya apa yang akan menjadi prioritas dari pemerintahan ke depan di tahun pertama atau di 100 hari pertama, terus siapa pejabat-pejabat strategis pemerintah dan pimpinan parlemen yang akan mengisi dan itu akan menentukan apakah mereka cukup punya kepedulian baik bersifat pribadi maupun kolektif sebagai kelembagaan atau sebagai kepartaian untuk menyelesaikan tragedi Trisakti, Semanggi, atau tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya.

DW : Sejauh ini apakah cukup meyakinkan?

Di awal saya sudah katakan memang tidak ada perkembangan yang bersifat positif apalagi kalau kita ukur dari parameter keadilan hukum misalnya.

DW : Banyak pihak meminta pemerintah untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada keempat korban, namun saat ini masih dalam tahap pengkajian. Harapan Anda?

Pada dasarnya apa yang diharapkan oleh keluarga korban entah itu gelar pahlawan atau yang lain itu akan saya mendukung sepenuhnya atau apapun yang menjadi inisiatif pemerintah untuk memberikan rasa keadilan kepada mereka pasti akan kita dukung. Nah pemberian gelar Palawan itu sesuatu yang sangat positif tentu saja dan jika itu memang bisa diwujudkan tentu akan membawa semacam rasa keadilan pada tingkat tertentu meskipun mungkin akan lebih baik selain pemeberian gelar pahlawan itu juga pemerintah mengambil kebijakan lain untuk memperkuat keputusan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan, menurut saya secara hukum dengan ke pengadilan atau memberikan kebijakan lain yang sekiranya dibutuhkan untuk para korban. Saya tidak akan pernah lelah memperjuangkan HAM di Indonesia.

   

Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra.

Usman Hamid adalah Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. Lahir pada tanggal 6 Mei 1976, Usman pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti 1998-1999.