1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Vaksin Nusantara Ramai Dukungan Meski Belum 'Direstui' BPOM

Detik News
15 April 2021

Dukungan untuk Vaksin Nusantara mengalir deras dari anggota Komisi IX DPR yang ramai-ramai ikut proses uji vaksin di RSPAD Gatot Soebroto. Peneliti vaksin masih tetap lanjutkan uji klinis fase II meski tanpa restu BPOM.

https://p.dw.com/p/3s2Ql
dr. Terawan Agus Putranto, mantan Menteri Kesehatan RI
dr. Terawan Agus Putranto, mantan Menteri Kesehatan RIFoto: DW/P. Kusuma

Vaksin Nusantara dari mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto belum memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menjalankan proses vaksin di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.

Pengambilan sampel darah, sebagai salah satu proses vaksin, itu dilakukan pada Rabu (14/04) pagi. Sejumlah anggota Komisi IX DPR hingga pimpinan DPR ikut serta. Selain itu, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo juga terlihat di RSPAD.

Anggota Komisi IX, Saleh Daulay juga menyebut ada anggota Dewan lain yang hadir di RSPAD hari ini. Saleh mengatakan para anggota Dewan yang mengikuti vaksin ini menjadi contoh untuk vaksin Nusantara agar berjalan lebih awal. Dia menilai tidak ada muatan politis terkait vaksin Nusantara ini.

"Kita berani jadi contoh. Berani untuk divaksin lebih awal. Saya melihat, para peneliti dan dokter-dokter yang bertugas semuanya ikhlas. Tidak ada muatan politik sedikit pun," ujarnya.

Saleh berharap kedaulatan dan kemandirian Indonesia dapat terjamin dalam bidang kesehatan dan pengobatan sehingga ada kesiapan dalam negeri jika ada embargo.

"Sekarang kan kita masih tergantung negara lain. Ketika diembargo, program vaksinasi kita langsung terganggu. Setidaknya, mengganggu jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Di situ pentingnya kemandirian dan kedaulatan tersebut," ujarnya.

Pengambilan sampel darah 

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan proses yang akan dilalui di RSPAD. Dia menerangkan, sejumlah pimpinan DPR, termasuk dirinya, baru akan mengambil sampel darah di RSPAD dan belum ada penyuntikan vaksin.

"Pertama saya luruskan, bahwa hari ini kita bukan menerima vaksin atau menyuntik vaksin, tapi baru mengambil sampel darah yang kemudian akan diolah dengan sistem dendritic cell. Untuk kemudian nanti baru dimasukkan lagi setelah 7 hari ke dalam tubuh, untuk kemudian apa yang dimasukkan itu mengajarkan sel darah kita lain untuk melawan apabila ada virus yang masuk, termasuk virus COVID-19 dari berbagai varian," kata Dasco, kepada wartawan, Rabu (14/04).

Pengambilan sampel yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPR serta tokoh lain ini untuk melanjutkan vaksin Nusantara ke fase II. Dia yakin proses ini akan berhasil.

"Kenapa ini kemudian saya lakukan, karena saya percaya bahwa vaksin personalize dengan sistem dendritic cell ini juga secara teorinya memang masuk akal dan sudah ada fase satu yang kemudian berhasil dan tidak ada efek samping dan lain-lain," ujarnya.

"Saya sangat mendukung, apalagi saya sudah pernah mendapatkan perbaikan sistem sel yang kurang-lebih cara kerjanya sama di RSPAD," lanjutnya.

Berikut ini nama-nama tokoh yang sudah memulai proses vaksin Nusantara:

1. Aburizal Bakrie
2. Gatot Nurmantyo
3. Sufmi Dasco Ahmad
4. Emanuel Melkiades Lakalena
5. Saleh Daulay
6. Adian Napitupulu
7. Nihayatul Wafiroh
8. Arzetty Bilbina

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo jadi salah satu tokoh yang ikut proses uji vaksin Nusantara besutan TerawanFoto: Reuters/Beawiharta

Vaksin Nusantara dinilai belum layak

Menurut Kepala BPOM Penny K Lukito ada sejumlah catatan termasuk kejadian tidak diinginkan (KTD) selama proses uji vaksin Nusantara berlangsung. Dalam hearing atau diskusi bersama para peneliti vaksin Nusantara 16 maret 2021 lalu, terungkap jumlah KTD dalam uji Fase I mencapai 71,4 persen dari total relawan.

Sementara epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan bahwa vaksin Nusantara tak diawali dengan transparansi. Padahal, vaksin untuk strategi pandemi harus didukung teknologi riset yang jelas.

"Harusnya diawali dengan transparansi. Kalau di dunia ilmiah bahwa ini punya potensi ke depan, ini diakui. Tapi kalau kita bicara strategi pandemi, strategi pandemi ini harus memilih intervensi atau teknologi riset yang jelas memberikan dampak," kata Dicky saat dihubungi, Rabu (14/04).

Dia menuturkan bahwa teknologi vaksin Nusantara masih dalam kajian panjang. Studi praklinis vaksin ini masih terus dilakukan.

"Kalau bicara vaksin Nusantara, teknologinya saja masih dalam kajian yang panjang ya. Studi-studi praklinis ini masih dilakukan," ungkapnya.

Dia menegaskan bahwa vaksin Nusantara ini berbahaya. Sebab, risetnya tidak berpedoman pada kaidah ilmiah.

"Ini berbahaya ketika ada satu riset yang merujuk atau tidak berpedoman pada satu kaidah ilmiah. Jadi namanya bukan riset. Dan itu tidak bisa menjamin keamanan," ungkapnya.

"Jangan dianggap pada tahapan itu tidak ada kerawanan infeksi," imbuhnya.

Komponen utama dari AS

Komnas Penilai Khusus Vaksin COVID-19 dalam workshop di Jakarta baru-baru ini menyebut salah satu catatan untuk vaksin Nusantara adalah antigen yang digunakan tidak diproduksi sendiri. Karenanya, relevansinya dengan strain COVID-19 yang ada di Indonesia, dipertanyakan.

"Kalau kita bicara vaksin Nusantara, maka antigennya itu bukan dari virus Indonesia. Tapi didapatkan dari Amerika yang kita tidak tahu persis sebetulnya bagaimana sequence genomic-nya dan strain virus apa yang didapat dari Amerika," kata Dr dr Anwar Santoso, SpJP(K), Selasa (13/04).

Dalam evaluasi uji klinis vaksin nusantara oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), penggunaan komponen dari Aivita Biomedical Inc, perusahaan Amerika Serikat yang menyokong riset vaksin nusatara, juga menjadi salah satu catatan utama.

"Semua komponen utama pembuatan vaksin dendritik ini di Import dari USA (antigen, GMCSF, medium pembuatan sel, dan alat-alat untuk persiapan)," tulis Kepala BPOM, Penny K Lukito dalam rilisnya, Rabu (14/04).

Untuk dilakukan transfer teknologi sehingga bisa dibuat di Indonesia, menurut BPOM bakal makan waktu sangat lama karena Aivita Biomedical Inc belum memiliki sarana produksi untuk produk biologi. Butuh 2-5 tahun untuk mengembangkannya di Indonesia.

"Berdasarkan penjelasan CEO AIVITA Indonesia, mereka akan mengimport obat-obatan sebelum produksi di Indonesia," lanjut Penny.

Catatan lain yang disorot BPOM adalah data-data penelitian disimpan dan dilaporkan dalam electronic case report form, menggunakan sistem elektronik dengan nama redcap cloud yang dikembangkan Aivita Biomedical Inc dengan server di Amerika.

"Kerahasiaan data dan transfer data keluar negeri tidak tertuang dalam perjanjian penelitian, karena tidak ada perjanjian antara peneliti Indonesia dengan AIVITA Biomedical Inc USA," kata Penny.

Keterlibatan peneliti asing

BPOM juga mencatat keterlibatan peneliti asing dalam riset vaksin nusantara, sehingga dalam dengar pendapat dengan Komnas Penilai Obat ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh peneliti utama dari Indonesia.

"Proses pembuatan vaksin sel dendritik dilakukan oleh peneliti dari AIVITA Biomedical Inc, USA, meskipun dilakukan training kepada staf di RS. Kariadi tetapi pada pelaksanaannya dilakukan oleh dari AIVITA Biomedica Inc, USA. Ada beberapa komponen tambahan dalam sediaan vaksin yang tidak diketahui isinya dan tim dari RS. Kariadi tidak memahami," tulis Penny.

Lalu apa saran BPOM agar vaksin nusantara bisa mendapat 'restu' untuk melanjutkan uji klinis fase II?

BPOM menyebut, riset vaksin Nusantara harus dikembangkan lagi di fase preklinik sebelum masuk ke uji klinik untuk mendapatkan 'basic concept yang jelas'. Penelitian preklinik, yang juga dipermasalahkan BPOM, sebaiknya dilakukan dengan pendampingan Kemenristek/BRIN. (Ed: gtp/rap)

 

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

Kontroversi Anggota DPR Disuntik Vaksin Nusantara Terawan Tanpa Izin BPOM

BPOM: Komponen Utama Vaksin Nusantara dr Terawan dari AS Semua