1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Vaksinasi AstraZeneca Penyebab Trombosis?

Alex Berry | Katja Sterzik
20 Maret 2021

Kasus trombosis di otak yang berakibat fatal, memicu dihentikannya penggunaan vaksin AstraZeneca di beberapa negara. Tapi apa sebenarnya trombosis ini? Apakah penghentian vaksinasi sudah tepat?

https://p.dw.com/p/3qsJ1
Cerebral venous thrombosis di otak
Foto ilustrasi : Cerebral venous thrombosis CVST, atau trombosis otakFoto: CAVALLINI JAMES/BSIP/picture alliance

Semua negara yang menghentikan sementara penggunaan vaksin AstraZeneca mengajukan argumen yang sama, yakni antisipasti dan tindakan berhati-hati. Sejauh ini sudah ditemukan 7 kasus langka trombosis pada pembuluh darah sinus di otak dari penyuntikan 1,6 dosis vaksin AstraZeneca di Eropa. Tiga kasus berakhir dengan kematian pasien.

Namun lembaga pengawas obat-obatan Eropa (EMA) sudah menegaskan, sejauh ini belum ada bukti kaitan langsung antara pemberian vaksin AstraZeneca dengan kasus trombosis, berdasar data yang dimiliki lembaga ini. Berbasis pernyataan EMA ini, Jerman dan beberapa negara Eropa lainnya akan melanjutkan vaksinasi.

Juga rumah sakit Greifswald di utara Jerman mengumumkan sudah berhasil menemukan penyebab trombosis di otak akibat vaksinasi, dan sudah mengembangkan terapinya. Informasi ini juga sudah dibagikan ke seluruh rumah sakit di Eropa.

Fakta apa yang sudah diketahui?

Pada kasus orang yang mengalami cerebral venous sinus thrombosis (CVST) juga diketahui terjadinya defisiensi trombosit dalam darah, yang bisa mempengaruhi terjadinya penggumpalan darah.

Pada kasus CVST, penggumpalan darah menyumbat vena pada otak, yang fungsinya menyalurkan darah yang kandungan oksigennya rendah ke jantung. Jika aliran darah tidak lancar, tekanan pada otak akan meningkat dan di kawasan itu bisa terjadi pendarahan. Pada kasus terburuk CVST bisa memicu stroke yang berakibat fatal.

Walau begitu, trombosis tipe ini tergolong langka. Angka insidennya antara dua sampai lima kasus per satu juta orang per tahun. Namun riset terbaru dari Australia menunjukkan jumlah kasus yang lebih tinggi, rata-rata 15,7 kasus per satu juta orang per tahun. "Berarti estimasi insiden aktual jauh lebih rendah antara empat kali hingga delapan kali lipatnya", ujar Paul Hunter, profesor kedokteran dari University of East Anglia.

Apakah semua trombosis sama?

Sejak sejumlah negara menghentikan sementara vaksinasi dengan vaksin AstraZeneca, tema trombosis menjadi topik hangat yang dibahas dimana-mana. Terutama di media sosial muncul reaksi marah dan mempertanyakan: mengapa kasus trombosis yang lebih tinggi pada konsumsi pil anti hamil, dengan insiden 1.100 kasus per satu juta orang per tahun tidak dipermasalahkan?

Sementara pada kasus vaksinasi covid-19 dengan vaksin AstraZeneca, setelah muncul 7 kasus dari 1,6 juta dosis vaksinasi, pejabat kesehatan langsung menyetop nyaris semua program imunisasi?

Pakar kesehatan dari partai sosial demokrat Jerman -SPD, Karl Lauterbach mengritik perbandingan antara kasus trombosis vena sinus otak CVST dengan kasus trombosis pada konsumsi pil anti hamil. "Parahnya efek CVST tidak bisa dibandingkan dengan trombosis yang dipicu pil anti hamil", kata Lauterbach dalam wawancara dengan siaran radio publik Jerman Deutschlandfunk.

Dia mengatakan, jika berbicara kaitan kasus trombosis dengan konsumsi pil anti hamil, kebanyakan yag dimaksud adalah trombose pada vena kaki. Penggumpalan darah menyumbat vena pada kaki, dan jika terlepas bisa masuk ke paru-paru dan memicu emboli di organ tubuh ini.

Tapi pakar kesehatan kenamaan Jerman itu tidak mengungkapkan realitasnya secara komplet. Yakni, konsumsi pil anti hamil juga meningkatkan risiko terkena CVST yang jauh lebih berbahaya. "Perempuan lebih sering terkena kasusnya dibanding pria. Kemungkinan faktor hormonal memainkan peranan penting. Kasus CVST lebih sering muncul pada kehamilan pada usia matang, beberapa minggu setelah melahirkan dan pada perempuan yang mengkonsumsi pil anti hamil", ujar Peter Berlit, sekretaris jenderal perhimpunan neurologi Jerman keada DW. Juga secara umum, tidak terpengaruh gender, kasus di kalangan usia muda lebih sering terjadi dibanding pada manula.

Apakah penghentian vaksinasi langkah tepat?

Keputusan sejumlah negara Eropa, Afrika dan Asia termasuk Indonesia, untuk menghentikan sementara vaksinasinya bukannya tidak berrisiko. Pakar kesehatan Lauterbach dalam wawancara dengan Deutschlandfunk mengatakan lebih lanjut, ia meyakini kemungkinan adanya kaitan antara vaksin AstraZeneca dengan kasus trombosis fatal itu. Namun ia berpendapat, tidak ada alasan untuk menghentikan vaksinasi. "Saya tidak akan memutuskan kebijkan seperti itu, berbasis dari data yang ada", tambahnya.

Juga Prof. Berlit, guru besar di Universitas Duisburg-Essen menyatakan, sulit menerima keputusan para birokrat itu. "Pada saat ini, dari sudut pandang statistik murni, ada argumentasi, bahwa itu tidak ada kaitannya ketimbang ada kaitan langsung", katanya.

Penyebab trombosis langka terlacak

Sementara ini para peneliti dari rumah sakit Greifswald di utara Jerman menyebutkan, mereka berhasil menemukan penyebab masalah penyumbatan pembuluh darah yang tak lazim yang ditemukan pada sejumlah resipien penerima vaksin AstraZeneca. Lembaga penyiaran publik NDR memberitakan hal itu Jumat (19/3)

Investigasi menunjukkan, bagaimana vaksin AstraZeneca memicu penggumpalan yang menyumbat pembuluh darah di otak segelintir pasien. Temuan ini memiliki arti, terapi terarah bsa dikembangkan untuk mencegah masalahnya.

Sukses itu merupakan buah kerjasasama antara rumah sakit Greifswald, regulator kesehatan federal Jerman, Paul Ehrlich Institute (PEI) serta para dokter dari Austria, dimana seorang perawat di sana meninggal akibat trombosis di otak setelah mendapat vaksinasi dengan dosis AstraZeneca.

Para peneliti menegaskan, terapi hanya bisa dilakukan pada pasien yang menunjukkan munculnya trombosis. Jadi bukan terapi preventif. (as/vlz)