1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

240210 Todesstrafe Iran

24 Februari 2010

Setelah Cina, Iran berada di peringkat kedua sebagai negara yang paling sering menjatuhkan hukuman mati. Rejim di Teheran juga menolak menghapus hukuman mati terhadap anak-anak yang bersalah melakukan tindak kriminal.

https://p.dw.com/p/MAHy
Gambar simbol hukuman mati di IranFoto: picture-alliance/ dpa

"Di Iran demokrasi dan hak azasi manusia merupakan prinsip dasar Republik Islam ini." Hal ini dijelaskan oleh Mohammad Djavad Ardashir Larijani, Ketua dewan hak azasi manusia Iran, pertengahan Februari ini di Jenewa di hadapan komisi PBB untuk pengawasan Hak Azasi Manusia.

Tapi sejumlah negara Barat dan banyak organisasi-non-pemerintah memiliki pandangan berbeda mengenai Iran. Mereka menuding Republik Islam itu telah melakukan berbagai pelanggaran HAM. Terutama dalam menjatuhkan hukuman, termasuk hukuman mati kepada anak-anak di bawah umur. Arasch Rahmanipur baru berusia 17 tahun ketika ia ditangkap. Ketika 28 Januari tahun 2010 ini menginjak usia 19 tahun, Rahmanipur dieksekusi sebagai "Mohareb“ atau "Musuh Allah“.

Di Republik Islam Iran, selain pembunuhan, pelanggaran-pelanggaran lain seperti perkosaan, perselingkuhan, makar, spionase dan perdagangan narkoba bisa dijatuhi hukuman mati. Pelakunya ditetapkan sebagai "Mohareb“. Apa persisnya arti ungkapan itu tak diketahui, termasuk oleh aktivis hak peremuan Iran dan pemenang Nobel Perdamaian, Shirin Ebadi. "Tidak ada definisi yang tepat bagi Mohareb dalam hukum dan undang-undang di Iran. Sehingga ungkapan itu bisa digunakan untuk apa saja,“ ungkap Shirin Ebadi.

Saat ini di Iran ada 21 orang yang dijatuhi hukuman mati karena merupakan "Musuh Allah“, diantaranya dua orang perempuan, Zainab Jalalian dan Shirin Almholi.

Sejak Juni tahun 2009 lalu, sebelum pemilihan Presiden di Iran yang berlangsung kontroversial itu, tokoh-tokoh oposisi juga bisa dituding sebagai "Mohareb“. Pemerintah berusaha mengintimidasi demonstran dan kelompok-kelompok pro demokrasi yang mempromosikan kebebasan berpendapat. Para hakim bebas memutuskannya,

"Karena tak ada definisi tepat untuk ungkapan Musuh Allah, maka tidak ada juga kriteria yang menentukan tindakan apa yang bisa dianggap memusuhi Tuhan. Tapi ada kasus-kasus, di mana seorang penulis atau penceramah yang dihukum sebagai "Musuh Allah“. Dan untuk di cap sebagai musuh Allah, tak perlu banyak. Menulis beberapa kata kritis sudah cukup,“ dikatakan Shirin Ebadi.

Sejumlah LSM yang beroposisi berusaha untuk membalikkan penetapan hukum yang tampak tak beraturan itu. Mereka menuntut dihapusnya hukuman mati bagi remaja. Namun karena kelompok garis keras menyatakan bahwa delik "Musuh Allah“ itu berdasarkan hukum syariah, para aktivis Hak Azasi tak berhasil untuk mendiskusikan tema ini secara terbuka.

Emadedin Baghi, pakar HAM dan pendiri organisasi "Pro Kehidupan“ mengatakan, "Tema ini harus dibicarakan secara obyektif dan juga dengan berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan para ulama. Bila tidak, maka semua upaya ke arah itu akan gagal. Karena para pendukungnya, akan bisa mengatakan, bahwa kelompok yang anti hukuman mati itu sebenarnya juga anti agama.“

Menurut Amnesty International, atas nama hukum syariah, pemerintah garis keras Iran telah menjatuhkan 346 hukuman mati.

Fahime Farsaie /Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk