1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Wabah Corona Picu Gelombang Islamofobia di India

13 April 2020

Angka penularan corona di kalangan Jemaah Tabligh di New Delhi picu Islamofobia di India. Media dan pejabat dituding populerkan retorika 'antimuslim' di media sosial

https://p.dw.com/p/3apPV
Seorang perempuan muslim melintasi tembok berhias bendera India di Mumbai.
Foto: Getty Images/AFP/I. Mukherjee

Pekan lalu Dilshad Muhamud sejatinya bisa bernafas lega usai dites negatif mengidap virus corona. Saat itu penduduk desa sedang diliputi rasa takut dan curiga. Suasana tegang mewarnai kehidupan sejak negara bagian Himachal Pradesh melaporkan kasus penularan pertama akhir Maret silam. 

Namun hanya beberapa jam setelah menerima hasil tes, Dilshad memutuskan untuk bunuh diri, tulis AlJazeera.

Seperti dikonfirmasi oleh harian The Hindu, dia menjadi sasaran perundungan sejumlah warga desa lantaran dicurigai mengidap virus setelah bertemu dua da’i dari Jemaah Tabligh. Kelompok itu belakangan diketahui menjadi salah satu kantung penyebaran virus corona di India.  

Pihak keluarga mengaku Dilshad yang baru berusia 34 tahun tidak tahan menghadapi tekanan sosial dan sebabnya mengakhiri hidup dengan tangan sendiri.

Pandemi dan gelora kebencian

Wabah corona di India saat ini turut menciptakan gelombang Islamofobia, usai anggota Jemaah Tabligh menolak menaati aturan pembatasan sosial dan sebabnya mencatat banyak kasus penularan di antara anggotanya. 

Jemaah Tabligh merupakan kelompok Islam puritan yang lahir di India dan menyebar luas ke berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di Pakistan, sebanyak 20.000 anggota Jemaah Tabligh dikarantina paksa. Lebih dari 600 anggota dinyatakan positif mengidap corona. 

Hal serupa dikabarkan terjadi di Indonesia, di mana puluhan anggota Jemaah dikarantina usai menghadiri acara akbar yang disambangi ribuan orang di markas Jemaah Tabligh di kawasan pemukiman muslim Nizamuddin, New Delhi, akhir Maret silam. 

Menurut sosiolog Perancis Moussa Khedimellah, salah satu doktrin dasar yang disebarkan Jemaah Tabligh adalah agar selalu menempatkan “iman di atas ilmu pengetahuan.”  

Sejak pertemuan akbar di Nizamuddin itu gelombang Islamofobia yang sempat menyergap India di tengah kontroversi seputar UU Keimigrasian dan Kewarganegaraan beberapa bulan silam, kembali mencuat.  

Ragam tagar bernada antimuslim menyebar cepat di media-media sosial. Salah satu klaim yang paling banyak beredar adalah bahwa kaum muslim sengaja menyebarkan virus corona kepada masyarakat India. 

Intimidasi terhadap warga muslim

Tagar seperti #CoronaJIhad, #BioJihad atau #MuslimMeaningTerrorist digunakan untuk menyebar teori konspirasi bahwa kaum muslim berusaha menggunakan virus corona sebagai senjata untuk melawan India. 

Ungkapan bernada kebencian yang bertebaran di Facebook atau Twitter itu dikabarkan ikut disebar oleh simpatisan Perdana Menteri Narendra Modi dan pejabat teras Bharatiya Janata Party. Menurut data yang dihimpun Equality Labs di AS, tagar #CoronaJihad sudah muncul sebanyak 300.000 kali dan disimak oleh lebih dari 165 juta orang di Twitter sejak 28 Maret, tulis CNN dalam laporannya.

New York Times melaporkan, sejumlah kaum muda muslim diserang dan diintimidasi saat mencoba membagikan makanan kepada warga miskin.  

Beberapa kisah lain melibatkan keluarga muslim diserang di masjid atau kediaman sendiri oleh orang-orang yang menuding mereka mengidap COVID-19. Di negara bagian Punjab, sebuah kuil Sikh dikabarkan mengimbau warga lewat pengeras suara agar tidak membeli susu dari petani muslim lantaran sudah terpapar virus corona. 

Pejabat pemerintah juga tidak jengah menggunakan istilah seperti “bom manusia” atau “jihad corona” ketika mengomentari kantung penyebaran di markas Jemaah Tabligh. 

Eksploitasi COVID-19 untuk paksakan agenda Hindutva 

Menanggapi gelombang Islamofobia, dua organisasi diaspora India di Amerika Serikat, the Indian American Muslim Council (IAMC) dan Hindus For Human Rights (HfHR), mengeluarkan pernyataan bersama, Sabtu (11/4) yang “mengecam tindak mengambinghitamkan” minoritas muslim soal wabah corona, terutama melalui Jemaah Tabligh.

“Pada saat konferensi akbar Tabligh,” tulis kedua organisasi, “India belum memerintahkan pembatasan jarak sosial.” IAMC dan HfHR mengutip Menteri Kesehatan Lav Agarwal yang saat itu masih mengatakan bahwa “virus corona bukan darurat kesehatan,” dan mewanti-wanti penduduk terhadap rasa panik. 

Baru empat hari setelah acara yang mengundang ribuan orang di New Delhi itu PM Narendra Modi menetapkan karantina terbatas pada 22 Maret dan lockdown pada 24 Maret

“Sangat memalukan bahwa krisis COVID-19 dieksploitasi oleh mereka yang berkuasa dan berpengaruh untuk mempertajam konflik agama di India,” kata Ahsan Khan, Presiden IAMC dalam surat pernyataan tersebut. 

Adapun Sunita Viswanath, salah stau pendiri organisasi diaspora Hindu di Amerika, HfHR, mendesak PM Modi agar mengecam ujaran pejabat pemerintah yang menjurus kepada Islamofobia. 

“Mempersenjatai COVID-19 untuk memaksakan agenda Hindutva yakni memarjinalisasi kaum muslim merupakan penyimpangan dari ajaran Hindu sendiri,” kata dia. 

IAMC dan HfHR mengeluhkan “level kebencian yang ditumpahkan kepada minoritas muslim oleh media dan tokoh publik memicu peningkatan serangan terhadap kaum muslim,” tulis kedua organisasi.  

“Di sejumlah bagian, imbauan untuk memboikot muslim secara sosial dan ekonomi dijadikan bagian dari respon terhadap krisis kesehatan dan kemanusiaan ini.”  

rzn/as (rtr, ap, nytimes, thehindu, aljazeera)