1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Warga Iran Meragukan Pemerintahnya Tangani Virus Corona

Shabnam von Hein
6 Maret 2020

Penyebaran COVID-19 secara luas di Iran telah mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintahnya. Pemerintah Iran dianggap selalu meralat informasi resmi sehingga warga Iran kini mengabaikan pemberitahuan pemerintah.

https://p.dw.com/p/3YwmJ
Iran Coronavirus
Foto: picture-alliance/AP Photo/V. Salemi

Dalam satu bulan terakhir, otoritas Iran telah menyatakan peringatan tertinggi akibat penyebaran virus corona (COVID-19) di beberapa kota di provinsi Gilan, Iran utara. Padahal Gilan adalah tujuan wisata popular di Iran yang letaknya 200 kilometer di sebelah utara Teheran, ibu kota negara itu.

‘’Ketika sekolah-sekolah di Teheran ditutup karena virus corona jenis baru, banyak warga Iran pergi ke wilayah utara,’’ ujar Shahla, seorang ibu muda di Iran kepada DW.

Shahla yang tumbuh di sebuah kota kecil di Laut Kaspia kini tinggal bersama keluarganya di Teheran. Dia kesal terhadap orang-orang yang justru pergi ke utara meskipun ada peringatan perjalanan resmi dari pemerintah.

‘’Ibuku masih tingal di kota kecil di sepanjang Laut Kaspia. Dia memberi tahu kami tentang dua orang di lingkungan kami yang baru-baru ini meninggal akibat flu. Keluarga mereka sekarang dikarantina,’’ katanya.

Situasi suram

Situasi akibat penyebaran COVID-19 di Iran semakin serius, ketika akhir pekan lalu gubernur Gilan mengeluarkan peringatan perjalanan. Rumah sakit di Gilan pun penuh sesak dan sangat membutuhkan tambahan peralatan medis, ujar anggota DPRD Gholam Ali Jafarzadeh.

Ali Jafarzadeh pun meragukan angka resmi kematian di provinsi Gilan yang dikeluarkan pemerintah pada 4 Maret. Disebutkan sedikitnya 92 kematian terjadi di provinsi itu, namun Jafarzadeh menduga jumlahnya jauh lebih tinggi.

Rekannya yang baru terpilih menjadi anggota DPRD Gilan, Mohammad Ali Ramezani pun menjadi korban akibat COVID-19 dan telah meninggal dunia. 

Otoritas Iran kewalahan menangani penyebaran COVID-19 di negaranya. Meskipun ada jaminan dari pejabat kesehatan namun situasinya memburuk secara drastis dalam beberapa hari terakhir.

Jumlah kematian dan kasus baru akibat COVID-19 terus naik. Iran menjadi negara yang memiliki angka kematian terbanyak akibat COVID-19 di luar Cina sejauh ini.

Diperparah sanksi dagang AS

Pada tahun 2018, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik negaranya dari perjanjian nuklir internasional yang disepakati AS, Eropa, Cina, Rusia dan Iran pada tahun 2015.

Sejak menarik diri, AS telah menerapkan kembali sanksi dagang yang cukup serius terhadap Iran. Namun barang-barang seperti obat-obatan dan peralatan medis tidak termasuk dalam sanksi ini.

Meski demikian, Iran tetap saja kesulitan membeli produk medis di pasar internasional karena bank menolak untuk melakukan transaksi dengan Iran karena takut menyalahi aturan hukum AS.

Presiden Iran Hassan Rouhani
Pemerintahan Presiden Iran Hassan Rouhani kewalahan menangani penyebaran virus corona Foto: picture-alliance/AA/Presidency of Iran

Ketidakpercayaan dan ketidaktahuan

‘‘Hubungan antara pemerintah dan publik sangat rusak,‘‘ ujar sosiolog Saeed Paivandi kepada DW.

‘‘Pemerintah kehilangan kepercayaan besar. Dan ini terlihat dalam situasi kritis seperti sekarang. Karena ketidakpercayaan ini, masyarakat mengabaikan informasi yang diberikan oleh pemerintah. Dalam beberapa minggu terakhir, pemerintah terlalu sering memperbaiki pernyataan yang mereka buat.‘‘

Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, ketidakpercayaan warga Iran terhadap pemerintahnya meningkat drastis. Hal ini juga disebabkan oleh cara pemerintah Iran menangani kasus penembakan pesawat komersil Ukraina pada awal Januari lalu.

Pusat wabah COVID-19 di Iran terletak di kota suci Syiah Qom, sekitar 130 kilometer dari selatan Teheran. Di situlah kematian pertama di Iran dilaporkan pada 19 Februari. Robert Koch Institute Jeman selama berminggu-minggu mengklasifikasikan Qom dan Teheran sebagai ‘‘area berisiko‘‘ di Iran.

Tetapi pemerintah Iran telah gagal mengidentifikasi, mengisolasi, dan merawat orang-orang yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi COVID-19.

Pemerintah tidak mampu meyakinkan pemimpin agama di kota itu tentang ancaman bahaya dan diperlukannya langkah-langkah cepat dan tepat dalam menahan penyebaran virus.

Pemerintah gagal membangun karantina di dalam dan sekitar kota. Pemimpin agama akan memandang tindakan itu sebagai ‘‘penghinaan terhadap orang-orang suci Syiah yang terkubur di sana.‘‘ Akibatnya, kemungkinan penyebaran virus ke wilayah lain lebih besar.

Dibutuhkan keterlibatan masyarakat

Seorang profesor penyakit menular di Universitas Kedokteran Teheran dan Kepala Pusat Pengendalian HIV/AIDS di Iran mengatakan bahkan tindakan karantina sekalipun tidak akan banyak membantu, mengingat penularan virus yang telah meluas.

Namun, di sosial media banyak warga Iran menyebut Mohraz sebagai pembohong. Warga Iran yakin Mohraz mendapat tekanan dari pihak berwenang karena mengubah pendapatnya dari yang sebelumnya menyatakan setuju dengan tindakan karantina.

Meski begitu, Mohraz adalah orang yang dihormati di komunitas ilmiah dan aktif mengkampanyekan hak-hak masyarakat sipil, ujar Paivandi.

‘‘Dalam beberapa tahun terakhir, warga Iran telah menyaksikan represi sitematis terhadap organisasi non-pemerintah,‘‘ katanya.

‘‘Tapi sekarang pemerintah menghadapi tantangan besar. Karena hilangnya kepercayaan publik, dibutukan dukungan dari masyarakat sipil. Tapi, hampir tidak ada aktivis terpercaya yang dapat membantu.‘‘

pkp/rap