1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

100310 Tibeter Exil

10 Maret 2010

Lebih dari 50 tahun lalu, Dalai Lama mengungsi dari tanah kelahirannya Tibet. Banyak warga Tibet, yang juga mengungsi bersama Dalai Lama sebelum masa penindasan oleh pemerintah Cina, berharap dapat kembali ke Tibet.

https://p.dw.com/p/MOkV
Dharamsala, ibukota eksil TTibet di IndiaFoto: DW / Nina Ritter

Penyiar radio Lobe Socktsang sedang memberitakan kehidupan warga Tibet di pengasingan, yang bermukim selama lebih dari 50 tahun di India. Sejak lebih dari lima tahun, Socktsang bekerja untuk “Radio Free Asia” di Dharamsala. Sebelumnya ia tinggal di Tibet. Socktsang mengatakan, pelariannya dulu sangat berbahaya, tapi penindasan yang dilakukan pemerintah Cina membuatnya tidak tahan. Dia terpaksa meninggalkan keluarganya.

"Di Cina semuanya terlarang bagi kami. Kami tidak punya akses ke banyak hal. Hak asasi manusia tidak berlaku di sana, karena pemerintah Cina melakukan penindasan dengan kekerasan. Saya ingin negara yang merdeka dan ingin melihat dunia, makanya saya datang ke India," tutur Socktsang.

Penjual buku Lhasang Tsering juga tinggal di pengasingan. Tapi pria berusia 56 tahun itu hingga saat ini masih belum dapat menerimanya. Dia sangat tegang ketika berbicara mengenai hidupnya dalam pengasingan. Sebagai mantan ketua Kongres Remaja Tibet, dia adalah orang pertama yang menentang kebijakan Dalai Lama pada tahun 1989. Dia yakin, kebijakan berbicara dan menunggu sudah gagal. Ia membuat perbandingannya.

"Tolong jangan salah paham. Saya tidak menentang pengobatan dengan pijat dan jamu. Tapi jika mereka punya pembuluh darah yang tersumbat, maka itu harus ditangani dengan pisau, dan itu bukan berarti saya suka pisau,“ tegas Tsering.

Artinya, jalan tengah yang dilakukan Dalai Lama, yang menuntut otonomi bagi Tibet dengan cara damai, tidak berhasil. Tsering juga ingin Tibet yang merdeka. Jika perlu dengan cara yang keras.

"Dalai Lama selalu berbicara tentang perdamaian dunia. Jika untuk itu enam juta warga Tibet tidak dapat kembali ke tanah air, tidak apa-apa, maka kami harus membayarnya. Tapi saya yakin Tibet adalah kunci perdamaian antara India dan Cina, karena di sana tinggal 30 persen penduduknya. Kami berbicara tentang perdamaian, tapi bagi kami, ini sebenarnya tentang bertahan hidup," kata Tsering.

Di pengasingan, warga Tibet berusaha melestarikan bahasa dan budayanya. Selama ini memang berhasil, tapi Tsering ragu prospek masa depannya. Penyiar radio Socktsang mencoba berbicara dengan warga di Tibet, tapi pemerintah Cina tidak boleh tahu tentang ini.

"Guna mendapatkan informasi dari Tibet, terkadang kami ngobrol di internet dengan orang-orang di sana. Tapi kami punya tanggung jawab atas keamanan mereka dan maka dari itu kami mengubah suara mereka, supaya mereka tidak dapat dikenali pemerintah Cina," Socktsang memaparkan.

Penjual buku Tsering terdengar sangat gigih, tapi lelah. Dia berharap, generasi muda Tibet tergerak. Namun sebagian besar dari mereka sangat memuja Dalai Lama dan tidak meragukan cara yang dilakukan Dalai Lama secara terang-terangan. Tsering juga ragu apakah dirinya mendapat kesempatan untuk bisa kembali hidup di Tibet yang merdeka.

Tapi satu tekadnya, "Jika saya tidak dapat kembali ke Tibet yang merdeka, saya tetap dapat mengatakan bahwa saya sudah berjuang seumur hidup saya untuk itu. Tapi saya bersumpah, saya ingin mati di Tibet. Dan jika itu adalah hal terakhir yang saya lakukan, saya akan meninggal di sana."

Ilka Steinhausen/Luky Setyarini

Editor: Hendra Pasuhuk