1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Warga Vietnam Andalkan Penyelundup buat Bekerja di Eropa

2 November 2019

Buat banyak warga Vietnam, bekerja di Eropa Barat adalah jalan pintas menuju kemakmuran meski harus ditempuh lewat cara ilegal. Demi mewujudkan impian tersebut, tidak sedikit yang mengandalkan jasa penyelundup.

https://p.dw.com/p/3SL1Q
Symbolbild Menschenhandel China Vietnam
Foto: AFP/Getty Images/M. Vatsyayana

Betapa besar risiko perjalanan gelap itu terlihat dari penemuan 39 mayat migran di sebuah truk di Inggris pekan lalu.

Para korban diyakini merupakan migran ilegal dari Asia yang diseludupkan ke wilayah Inggris. Kini warga di sebuah desa Vietnam mengkhawatirkan dua anggotanya termasuk yang menjadi korban dalam peristiwa muram tersebut.

"Saya sangat merindukannya," kata Hoang Van Lanh, yang menunggu kepulangan putranya yang berusia 18 tahun. "Tapi itulah hidup," imbuhnya. "Kita harus berkorban demi kehidupan yang lebih baik. Tiep adalah anak yang baik. Dia ingin bekerja di luar dan mengurus orangtuanya kalau kami sudah lanjut usia. Dia memaksa pergi, untuk mencari hidup yang lebih baik."

Baca juga: Polisi Inggris Temukan 39 Mayat di Truk 

Dien Tinh adalah desa nelayan di Vietnam dengan penduduk 300 jiwa. Di sana kehidupan warga bertumpu pada hasil ikan dan perkebunan kacang kecil-kecilan. Sebuah gereja berwarna merah muda berdiri tegak di pusat desa, dikelilingi perumahan warga. Mereka yang punya keluarga di luar negeri terlihat memiliki rumah yang lebih baik.

Desa ini berdekatan dengan distrik Yen Thanh, di mana 13 keluarga melaporkan anggotanya yang hilang.

Dien Thinh tidak berkesan miskin. Tapi layaknya desa-desa lain di Vietnam, kampung kecil ini tertinggal dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut data resmi, rata-rata pendapatan penduduk pertahun hanya sekitar USD 1.650, jauh di bawah rata-rata nasional sebesar USD 2.587 atau setara dengan Rp 36 juta.

Tidak heran jika kaum muda desa berbondong-bondong mencari kerja di kota. Sementara sebagian kecil bertaruh nasib merantau ke Eropa.

Orangtua Tiep hidup di sebuah rumah sederhana yang dibangun dari batu bata dan beratap genting tanah liat. Satu-satunya hiasan di dalam ruang tamu hanya gambar "perjamuan terakhir" yang dipajang di dinding rumah. Ibunya, Hoang Thi Ai, hanya bisa menangis ketika tetangga berdatangan untuk menenangkannya. Dia masih menggenggam erat ponsel karena berharap sang anak akan menelponnya suatu saat.

Pesan terakhir Tiep yang dia terima tertanggal 22 Oktober silam, sehari sebelum kepolisian Inggris menemukan truk naas tersebut. Sang anak mengatakan dia sedang "dalam perjalanan" menuju Inggris dan meminta orangtuanya "menyiapkan uang di rumah" sebesar £10.500 atau sekitar Rp 190 juta untuk membayar penyelundup.

Keluarga biasanya membayar di muka separuh ongkos perjalanan dan sisanya ketika sudah tiba di negara tujuan. Namun keluarga Tiep tidak pernah diminta membayar sisa uang tersebut. Tidak heran jika Tiep disangka telah meninggal dunia.

Sang ibu, Ai, mengatakan Tiep berhenti bersekolah dan bekerja sejak usia muda lantaran jerat kemiskinan. "Dia membantu bapaknya mencari ikan. Tapi hasilnya tidak seberapa," kisahnya. "Dia tidak bisa mendapat pekerjaan. Sebab itu dia ingin pergi."

Keluarga Tiep lalu meminjam USD 17.000 dari bank untuk membayar penyelundup yang membawanya ke Perancis pada 2017 silam. Saat itu dia baru berusia 16 tahun. Perjalanan melalui Rusia dan Jerman itu memakan waktu 20 hari. Tiep bekerja mencuci piring di restoran sembari mengirimkan uang ke rumah untuk membayar cicilan.

Namun hingga kini keluarganya masih berutang sebanyak USD 4.500.

Tiep berkisah tidak betah bekerja di Perancis dan ingin pergi ke Inggris lantaran upah yang lebih besar. Dia disebutkan ingin bekerja di salon kuku, jenis usaha khas warga Asia di Eropa. Tiep meminta bantuan uang untuk membayar penyelundup dan meyakinkan kedua orangtuanya, bekerja di Inggris akan mempercepat keluarga melunasi semua utang-utangnya.

"Dia bilang akan pergi dengan mobil. Tapi nyatanya mereka dibawa di dalam kontainer sebuah truk," kata ayahnya. "Saya tidak akan mengizinkannya pergi dengan cara seperti itu," seraya menambahkan "Saya harap dia tidak di dalam kontainer itu. Tapi kami bersiap untuk hal terburuk. Ini adalah takdir. Saya harap kami bisa membawanya pulang kembali ke rumah."

Baca juga: Anak Vietnam Jadi Korban Perdagangan Manusia ke Eropa 

Meski mahal dan berisiko besar, tidak sedikit warga Vietnam yang bertaruh nasib membayar penyelundup USD 40.000 sampai USD 50.000 untuk ongkos perjalanan. Setibanya di negara tujuan, upah yang bersangkutan juga sering ditahan untuk membayar cicilan, tutur Mimi Vu, pegiat buruh migran di Vietnam.

Kini kepolisian Vietnam menggalakkan penggerebekan terhadap sindikat penyelundup manusia. Ironisnya, pelaku penyelundupan tidak hanya berasal dari kalangan bawah, melainkan juga dari kaum terpelajar. Vietnam mengancam pelaku penyelundupan manusia dengan hukuman kurung maksimal 20 tahun.

rzn/as/pkp (Associated Press)