1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Waria, Peran Negara, dan Kita

Zaky Yamani
Zaky Yamani
25 Mei 2019

Langkah apa yang menjadi prioritas untuk menghentikan sikap diskriminasi dan kekerasan pada waria? Kesempatan peluang kerja? Zaky Yamani menilai yang diutamakan terlebih dulu seharusnya penegakan hukum, perlindungan.

https://p.dw.com/p/3ItJQ
Indonesien Bildergalerie Transgender führen traditionelle Oper auf
Foto: Getty Images/U. Ifansasti

Beberapa waktu lalu, saya menerima sebuah potongan video yang menunjukkan sekumpulan waria yang terkena razia. Mereka disuruh berjongkok, dan kemudian dipaksa untuk bersumpah atas nama Tuhan, bahwa mereka tidak akan lagi jadi waria atau berpenampilan waria, dan akan menjalani hidup sebagai laki-laki. Sebelumnya, saya juga menerima video yang menunjukkan sekelompok waria yang terkena razia, disuruh berdiri di tengah jalan, dan disemprot air dari mobil pemadam kebakaran.

Di lain hari, seorang waria bercerita, temannya sesama waria terkena razia, lalu oleh aparat dia disuruh memanjat pohon sampai ketinggian yang membahayakan, dan disuruh melompat ke tanah. Waria itu langsung cedera kakinya, dan aparat yang menghukumnya tertawa-tawa.

Dia juga bercerita kejadian lain, ketika beberapa waria yang tertangkap dihukum untuk bergantian mengunyah permen yang sama. Hukuman itu terkesan ringan, tapi sebenarnya si aparat telah menempatkan para waria itu dalam risiko terpapar penyakit yang bisa menular lewat air liur, misalnya tuberculosis.

Tidak hanya di jalanan, para waria juga harus berhadapan dengan diskriminasi dalam pelayanan publik, misalnya layanan kesehatan. Setiap waria yang pernah saya temui, selalu punya pengalaman buruk dalam mengakses pelayanan kesehatan publik, terutama untuk memeriksakan penyakit yang ada hubungannya dengan aktivitas seksual. Yang pertama kali akan mereka hadapi adalah sikap tak ramah, nyinyir, dan tak rela dari para petugas kesehatan. Kedua, mereka harus menghadapi ceramah moral yang tidak memberikan solusi apa pun bagi kehidupan yang mereka jalani.

Penulis: Zaky Yamani
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Apa akibatnya jika petugas kesehatan melakukan itu?

Waria merasa ditolak dan tidak diperlakukan setara dengan pasien lainnya, lalu mereka akan menahan diri untuk tidak memeriksakan kondisi kesehatannya, dan hal itu menempatkan diri mereka—juga masyarakat—pada risiko kesehatan yang lebih buruk.

Diskriminasi adalah bagian keseharian dalam hidup waria. Hampir setiap waria yang pernah saya temui dan ajak bicara mengeluhkan aksi kekerasan yang kerap menerima mereka, mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan oleh negara.

Saya melihat waria adalah ujian dasar bagi kita dalam menguji kemanusiaan. Berbeda dengan minoritas lain—misalnya minoritas agama, minoritas suku dan ras, orang dengan HIV/AIDS, atau bahkan gay, yang secara fisik tak tampak berbeda dengan orang kebanyakan—waria secara fisik tampil berbeda dan mencolok. Waria adalah ujian dalam bagaimana kita melahirkan perasaan jijik, risih, tak nyaman, bahkan perwujudan dosa, terhadap sesuatu yang berbeda.

Para penganut agama yang oleh mayoritas dianggap sesat, mungkin masih bisa mendapatkan pelayanan kesehatan publik tanpa diskriminasi selama mereka tak harus menyebutkan agamanya. Di tempat penanganan HIV/AIDS, orang dengan HIV/AIDS (apa pun ras, agama dan orientasi seksualnya) mungkin masih bisa nyaman mengakses layanan kesehatan tanpa direpotkan sikap nyinyir. Tapi waria secara fisik selalu terlihat, dan karenanya mereka nyaris selalu jadi sasaran kebencian dan diskriminasi dari orang-orang yang tak paham kemanusiaan, mulai dari diolok-olok anak kecil, sampai diusir dari tempat tinggal mereka. Waria adalah simbol yang tepat untuk ujian penerimaan kita terhadap yang liyan dan yang minoritas.

Dan kita tidak pernah berhasil benar-benar lulus ujian itu, bahkan semakin membabi-buta memperlakukan orang-orang yang berbeda, apakah dari masalah orientasi seksual, sampai ke masalah agama yang dianut.

Dua puluh tahun lalu kita pernah punya kesadaran tentang berbahayanya sikap dan perilaku yang dibentuk atas dasar logika mayoritas versus minoritas atau yang sama versus yang berbeda, karena logika itu mengancam kemanusiaan. Itulah kenapa negara ini membuat Undang-Undang Hak Asasi Manusia, yang membatasi sikap warga negara, termasuk aparatnya, dan mengatur kesetaraan semua orang di dalam hukum dan juga pelayanan publik.

Misalnya dalam Pasal 3 ayat (2) UU No 39/1999 yang menyebutkan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”. Dilanjutkan dengan ayat (3): ”Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.”

Di Pasal 4,  tegas disebutkan: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Lalu di Pasal 5 dirinci kembali:  "(1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaanya di depan hukum. (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. (3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.”

Pendiaman oleh aparat

Persoalannya, setelah dua dekade undang-undang itu berlaku, lalu kenapa kaum minoritas masih bisa dihukum tanpa pengadilan dan dipersekusi oleh warga? Terlebih lagi, aparatnya pun mendiamkan—bahkan jadi pelakunya.

Bisa jadi penyebabnya adalah ketidaktahuan, walau saya pikir, sungguh keterlaluan jika sudah dua puluh tahun usia undang-undang HAM itu, aparat negara masih tidak mengenalnya. Namun, yang lebih kuat untuk mendorong seseorang melakukan penghukuman (termasuk diskriminasi dalam pelayanan publik), adalah semangat untuk jadi polisi moral: menghukum yang liyan dan dianggap mengancam.

Kita begitu ingin mengatur moral orang lain, sampai melakukan pelanggaran moral dalam menegakkannya. Jika melihat kasus-kasus yang dialami waria di atas, apakah upaya penegakan moral dilakukan secara bermoral? Tidak.

Moralitas adalah konsep yang sangat rumit, karena kerap hanya diterjemahkan pada bidang hitam dan putih yang bisa jadi sangat subjektif. Padahal dalam kehidupan, begitu banyak ruang abu-abu, yang butuh penelaahan lebih dalam sebelum memutuskan bagaimana moral dibentuk dna dilaksanakan demi kebaikan semua orang.

Misalnya dalam kasus waria. Kelompok itu sudah terlanjur mendapatkan stigma yang sangat kuat sebagai kelompok-kelompok yang tidak bermoral, dengan mengesampingkan seluruh penyebab dan alasan kenapa mereka ada di tengah masyarakat kita. Akibatnya, dalam memperlakukan waria, hukum akan diabaikan, dan masyarakat merasa berhak untuk menegakkan aturan moral kepada mereka dengan hukuman yang seenak perut: disemprot air pemadam kebakaran, disuruh melompat dari pohon, disuruh mengunyah permen yang sama, ditelanjangi, disisihkan dalam pelayanan publik, dan seterusnya.

Jika ditelusuri lebih lanjut, dasar moral apa yang bisa digunakan warga dan aparat negara untuk menjatuhkan hukuman-hukuman tidak jelas itu? Tidak ada dasar moral sama sekali. Mereka hanya senang menghukum, mendapat kepuasan dalam melakukannya.

Kita bisa memeriksa, bukan saja kepada waria kita melakukan hal itu, tapi kepada semua yang berbeda. Undang-Undang HAM sudah berlaku selama dua puluh tahun, dan dalam keseharian kita masih melihat hidup dalam kacamata mayoritas versus minoritas, yang sama versus yang berbeda.

Bagi saya, situasi ini mengerikan. Karena kepada siapa lagi kita bisa berharap, jika aparat negara—termasuk penegak hukum—sudah bertindak tanpa aturan hukum? Pada akhirnya, siapa pun bisa mengalami posisi seperti para waria dan kaum minoritas lainnya, pada  saatnya nanti.

Penulis:

Zaky Yamani

Jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.