1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

WMO: Kebakaran Hutan Ekstrem Mencemari Kualitas Udara Global

Stuart Braun
7 September 2022

Krisis kekeringan dan gelombang panas memicu meluasnya kebakaran hutan dan lahan di sejumlah negara, sehingga memperburuk kualitas udara yang kita hirup. Sebuah laporan baru menyebut polusi sebagai 'denda iklim'.

https://p.dw.com/p/4GV3r
Sebuah truk pemadam kebakaran melawan kobaran api
Hubungan antara perubahan iklim, kebakaran hutan, dan polusi udara kini menjadi lebih jelasFoto: SDIS 33&/AP/dpa/picture alliance

Krisis kekeringan yang berlangsung lebih lama dan gelombang panas yang lebih sering terjadi lantaran didorong oleh pemanasan global memicu kebakaran hutan yang memperburuk kualitas udara, menurut laporan baru Organisasi Meteorologi Dunia (WMO). Konsekuensi terhadap kesehatan manusia dan ekosistem telah diberi label sebagai "dampak negatif dari krisis iklim."

"Saat dunia memanas, kebakaran hutan dan polusi udara diperkirakan akan meningkat, bahkan di bawah skenario emisi rendah," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas. "Selain berdampak pada kesehatan manusia, krisis ini juga akan memengaruhi ekosistem karena polutan udara mengendap dari atmosfer ke permukaan bumi."

Laporan WMO berfokus pada asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2021, ketika melanda Amerika Utara bagian barat dan Siberia hingga meningkatkan kadar partikel kecil atau PM2.5 (materi partikulat dengan diameter 2,5 mikrometer atau lebih kecil) yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Perubahan iklim dan polusi udara saling berhubungan

Kualitas udara dan iklim saling berhubungan karena bahan kimia yang menurunkan kualitas udara paling sering dipancarkan bersama dengan gas rumah kaca, menurut WMO. Ketika hutan atau bahan bakar fosil dibakar dan melepaskan karbon dioksida, mereka juga memancarkan nitrogen oksida, yang dapat bereaksi dengan sinar matahari untuk menciptakan aerosol ozon dan nitrat yang berbahaya.

Polutan ini juga berdampak pada ekosistem alami, berdampak negatif terhadap air bersih, keanekaragaman hayati, penyimpanan karbon, dan hasil panen. Wilayah dengan perkiraan 'denda iklim' terbesar sebagian besar berada di Asia dan merupakan rumah bagi sekitar 25% populasi dunia.

Jika suhu global naik 3 derajat Celsius dari tingkat pra-industri pada akhir abad ini, yang sejalan dengan emisi yang diproyeksikan saat ini, tingkat ozon permukaan diperkirakan akan meningkat di daerah-daerah yang sangat tercemar, termasuk di Pakistan, India utara, dan Bangladesh, dan Cina timur.

Sebagian besar peningkatan ozon akan disebabkan oleh meningkatnya emisi dari pembakaran bahan bakar fosil, tetapi sekitar 20% akan berasal dari dampak perubahan iklim termasuk meningkatnya jumlah gelombang panas.

Krisis lintas batas global

Laporan WMO diterbitkan menjelang Hari Udara Bersih Internasional untuk langit biru pada 7 September 2022. Tema tahun ini adalah The Air We Share, yang berfokus pada sifat polusi udara lintas batas.

Diperkirakan 9 dari 10 orang di seluruh dunia menghirup udara yang tidak memenuhi pedoman kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia, menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) yang menyelenggarakan acara tersebut.

Menekankan perlunya akuntabilitas dan tindakan kolektif, UNEP menyoroti perlunya kerja sama internasional dan regional untuk memberlakukan kebijakan mitigasi yang mengatasi polusi udara.

Seperti yang dicatat oleh laporan WMO, mitigasi perubahan iklim melalui netralitas karbon di seluruh dunia akan menjadi kunci untuk mengurangi gelombang panas dan kebakaran hutan yang menyertainya.

Naik sepeda di tengah kabut asap di New Delhi, India
Saat dunia memanas, kebakaran hutan akan semakin meningkatkan polusi di AsiaFoto: Hindustan Times/imago images

Pemerintah lebih mendanai bahan bakar fosil dibanding kualitas udara

Kurang dari 1% anggaran bantuan pemerintah global yang dialokasikan antara 2015-2021 dikhususkan untuk proyek-proyek yang menangani polusi udara luar ruangan di seluruh dunia. Sebaliknya, kucuran dana empat kali lebih banyak dipompa ke dalam proyek-proyek yang memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil, menurut Clean Air Fund, sebuah inisiatif yang berbasis di London yang menangani polusi udara.

Negara-negara Afrika hanya menerima 0,3% bantuan pembangunan untuk mengatasi polusi udara antara tahun 2015 dan 2021, meskipun kualitas udara yang buruk menjadi pembunuh terbesar kedua di benua itu setelah HIV/AIDS, menurut laporan baru yang diterbitkan oleh inisiatif tersebut pada hari Rabu (07/09).

Saat pemerintah bersiap menghadiri COP27 di Mesir, para juru kampanye menyerukan pendanaan yang lebih besar dan komitmen kebijakan untuk solusi energi alternatif rendah karbon yang mengatasi polusi udara dan perubahan iklim.

"Kami harus memotong dukungan untuk proyek bahan bakar fosil," kata Direktur Eksekutif Dana Udara Bersih Jane Burston. "Ini adalah pendekatan bersama untuk meningkatkan kesehatan manusia dan mengatasi perubahan iklim pada saat yang bersamaan."

(ha/yf)