1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

"Yang paling sakit adalah ketika saya dibebaskan"

Rizki Nugraha/as29 September 2015

Adalah sebuah ironi ketika sastrawan Lekra yang ditahan ABRI pasca kerusuhan 1965 mengaku masuk ke penjara hidup terbesar setelah dibebaskan. Kepada DW, Martin Aleida bercerita tentang romantisme dan pengkhianatan.

https://p.dw.com/p/1GdcE
Indonesien Suhartos Weg zur Macht (Bildergalerie)
Foto: Getty Images/C. Goldstein

Sambungan dari bagian pertama

Ia mengaku "tidak bisa berdamai" dengan masa lalu 1965, kendati banyak berbicara dan menulis tentang pengalaman pahitnya itu. Martin Aleida tidak menyesal bergabung dengan Lekra atau menjadi loyalis Soekarno. Hingga hari-hari terakhir sebelum dibui ABRI, dia masih percaya pada sang pemimpin besar revolusi.

Berikut kutipan wawancaranya

Anda sudah terlibat dengan PKI sejak sebelum 1965, bagaimana anda bisa selamat di penjara ABRI?

Begini, saya ditempatkan sebagai wartawan Sukarno sejak usia 22. Nah Nasution kemudian memerintahkan pembasmian PKI sampai ke akar-akarnya, caranya ya dengan menangkap orang. Ketika ditangkap, di kantong saya ada surat dari pacar yang sekarang jadi isteri saya, kemudian surat wasiat dari orang tua saya yang mau berangkat haji. Mungkin karena itu, saya tidak tahu. Sedangkan teman saya yang sama-sama di tangkap, Putu Oka Skanta, ada nama lain di kantongnya, nah nama ini yang dikejar. Mungkin karena itu saya tidak tahu, saya tidak bisa menjelaskan kepada anda kenapa saya bebas.

Apa yang Anda alami selama di penjara?

Waktu itu interogasi selalu berlangsung tengah malam dan di kamar itu pula terjadi penyiksaan. Anda coba bayangkan, di sebelahnya, hanya dibatasi oleh tempat cuci tangan, disitulah diinapkan isteri Nyoto dengan lima anaknya (Lukman Nyoto, Wakil Ketua Komite Sentral PKI). Dengan satu anak yang baru berusia dua bulan dan mereka dibangunkan tiap malam oleh teriakan-teriakan mereka yang disiksa di kamar interogasi.

Martin Aleida
Martin Aleida, sastrawan Lekra dan bekas wartawan Harian RakyatFoto: privat

Isteri saya yang ketika itu masih gadis, disuruh masuk ke dalam kamar dan membersihkan darah dari orang-orang yang pernah disiksa. Penyiksaan biasanya menggunakan ekor pari, alat kejut listrik dan kaki kursi.

Saya ceritakan kepada anda bagaimana pimpinan redaksi saya yang bernama Mula Naibaho, dia disuruh buka baju, punggungnya dipukuli pakai ekor pari dan dia tidak menjerit, cuma menggelatuk. Sudah dipukuli, disetrum, dia lalu dimasukkan ke dalam bak mandi di sebelah kamar pemeriksaan. Setelah dikeluarkan dari bak, dia disuruh makan sambal satu piring. Ketika kembali, saya bertanya bagaimana kabarnya, dia tidak menjawab. Tapi ketika kami mau mengobati punggungnya, saat itu cuma ada beras kencur, bajunya itu lengket ke darah yang menempel ke punggungnya.

Ada banyak kisah heorisme tentang kesetiaan pendukung PKI kepada partai yang nyaris mendekati militansi sebuah aliran kepercayaan, sehingga mereka rela mati demi ideologi. Dari mana hal itu berasal?

Militansi itu dibentuk oleh cita-cita dan keinginan untuk hidup yang sama. Kita dipertemukan oleh satu cita-cita. Tentu semua tidaklah seperti bunga yang sedang mekar di taman. Sebab di antara teman-teman kita itu juga banyak yang mendurhakai.

Ketika saya masuk ke majalah Tempo, saya diperiksa tiga kali oleh interogator yang orang Lekra dan kenalan saya sendiri. Jadi jangan anggap yang menginterogasi semua tentara. Tidak. Karena yang mengerti di dalam organisasi ini adalah orang-orangnya sendiri. Karena orang-orang ini tidak tahan siksaan, mungkin juga dia dijanjikan sesuatu, mungkin juga dia mau menyembunyikan seseorang.

Misalnya biro khusus itu dibongkar oleh ketua komite verifikasi di Komite Sentral PKI dan saya satu ruangan tahanan dengan dia. Dialah yang membongkar, Anda mau bilang apa? Jadi sulit berbicara soal heorisme secara hitam putih.

Anda sempat bertemu dengan mereka yang berkhianat setelah peristiwa G30S

Ada, tapi ya normal saja karena dia tidak mencelakakan saya. Jadi seperti yang saya katakan tadi di dalam tubuh PKI ada konflik. Misalnya saja saya ditangkap dan dipaksa menunjukkan seseorang, maka jika kita bermusuhan di dalam organisasi, anda yang akan saya korbankan untuk menyelamatkan teman yang lain. Dan itu normal. Kita sudah siap menghadapi keadaan seperti itu. Yang kita tidak siap itu menghadapi orang yang hanya siap menang, tapi tidak siap kalah. Orang-orang seperti itulah yang menjadi pengkhianat.

Anda banyak mengalami kengerian selama tahun-tahun di tahanan. Bagaimana kondisi Anda setelah dibebaskan?

Begini, saya tekanan, saya berasal dari keluarga tidak berada dan saya tidak punya teman di Jakarta. Jadi tidak ada yang betul-betul mengikat saya. Mungkin itu satu hal yang menolong.

Yang paling sakit adalah ketika saya dibebaskan. Itulah penjara yang paling besar yang harus saya hadapi, karena tidak ada teman-teman di luar. Anda bayangkan, saya mencari teman sembari bekerja merawat empang di Ancol. Kalau sudah selesai kerja, saya jalan di rel kereta dari Ancol sampai ke Tambun hanya untuk mencari orang (teman) dan itu tidak pernah ketemu. Jadi itu penjara yang luar biasa. Coba bayangkan Anda hidup tanpa teman.

Kenapa Anda berdiam di Jakarta dan tidak mengungsi ke luar negeri seperti simpatisan yang lain?

Pertama kita percaya kepada Soekarno. Dia selalu mengatakan, "tunggu keputusan politikku!" Kita masih percaya pada Soekarno. Dan itu kemudian memang jadi bencana kalau saya bercita-cita menjadi eksil. Tetapi tidak. Saya masih percaya pada Soekarno. Saya beruntung tidak dibuang ke pulau Buru atau masuk ke penjara besar.

Anda banyak mengangkat kasus 1965 dalam karya Anda. Apakah sastra menjadi jalan buat berdamai dengan masa lalu?

Tidak, tidak bisa berdamai. Saya cuma punya satu sikap, bahwa sastra itu harus berpihak kepada korban. Dan pastilah di sana ada kenyataan pahit yang saya kembangkan, sesuai dengan kemampuan saya sebagai penulis.