1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Yingluck: Saya Tak Bisa Lebih Mundur Lagi

10 Desember 2013

Dengan mata berkaca-kaca, PM Thailand Yingluck Shinawatra memohon para demonstran menghentikan aksi dan mendukung pemilu yang dipercepat, tapi permohonan itu dijawab dengan ultimatum untuk mundur dalam 24 jam.

https://p.dw.com/p/1AVx3
Foto: Reuters

Setelah beberapa pekan aksi yang kadang disertai kekerasan, para pemrotes menolak seruan PM untuk mempercepat pemilu, sambil mengatakan bahwa Yingluck harus diganti oleh sebuah ”Dewan Rakyat” yang ditunjuk, sebuah usulan yang memicu kekhawatiran bahwa negara ekonomi kedua terbesar Asia Tenggara itu akan meninggalkan sistem demokrasi.

Yingluck mengatakan dia akan melanjutkan tugas-tugasnya sebagai pejabat perdana menteri hingga pemilu yang dipercepat digelar pada 2 Februari mendatang.

Tak bisa lagi mundur

“Kini pemerintah telah membubarkan parlemen, saya minta agar anda berhenti memprotes dan semua pihak bekerja untuk pemilu,” kata Yingluck.

”Saya sudah mundur ke titik di mana saya tidak tahu bagaimana lagi untuk harus lebih mundur.”

Air mata sesaat terbayang di matanya saat ia bicara, sebelum ia cepat menenangkan diri – mungkin sebentuk tanda emosi yang ia hadapi selama berpekan-pekan menghadapi demonstrasi.

Yingluck, 46-tahun, sebelumnya adalah pengusaha perempuan yang tidak punya pengalaman politik sebelum ikut pemilihan umum 2011, di mana ia meraih kemenangan besar, terutama di daerah-daerah pedesaan.

Para pemrotes yang sebagian besar adalah kelas mengegah di Bangkok serta para pengikut setia raja, ingin menggulingkan Yingluck dan menghilangkan pengaruh kakaknya Thaksin Sinwatra, bekas perdana menteri yang digulingkan kudeta militer pada 2006, dan kini hidup di pengasingan untuk menghindar dari hukuman penjara atas tuduhan penyalahgunaaan kekuasaan. Para demonstran menuding, Thaksin de facto mendikte politik Thailand lewat adik perempuannya yakni PM Yingluck.

Pertarungan kelas?

Partai Puea Thai yang dipimpin Yingluck mempunyai basis dukungan di bagian utara dan timur laut, wilayah paling miskin di Thailand. Sementara para penentangnya adalah kelas menengah dan atas, termasuk para pegawai negeri dan keluarga bisnis terkenal, bersama-sama rakyat dari basis partai oposisi Demokrat di wilayah selatan.

Kerusuhan terakhir dipicu oleh upaya pemerintah meloloskan rancangan undang-undang yang akan memberikan amnesti yang diyakini akan membuat Thaksin bebas dari jerat hukum, dan akan membuat ia bisa kembali ke Thailand. Tapi upaya itu dikandaskan oleh oposisi dan memancing protes besar di jalan-jalan.

Pemimpin demonstran Suthep Thaugsuban menyebut bahwa gerakan ini bertekad untuk menghapuskan apa yang ia sebut sebagai “Rezim Thaksin” – perpanjangan pengaruh keluarga itu di politik dan juga orang-orang yang ditempatkan di posisi senior di sekitar lembaga negara dan kepolisian yang dipercaya masih loyal dan menjaga kepentingan Thaksin Sinawatra.

Gerakan protes itu, kata dia “tidak akan membiarkan tirani politik, di bawah kedok suara mayoritas, dan kapitalisme monopolistik dan kroni berkolusi menggunakan kediktatoran parlemen untuk mengkhianati kepercayaan rakyat“.

Selain mempercepat pemilu, PM Yingluck juga membubarkan parlemen, setelah semua anggota parlemen dari partai oposisi Demokrat mengundurkan diri dengan alasan tidak bisa bekerjasama dengan PM Yingluck.

ab/hp (afp,rtr,ap)