1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

210610 Yuan China Währung

21 Juni 2010

AS dan Eropa menuduh, Cina sengaja menekan nilai tukar Yuan. Kini, seminggu sebelum KTT G-20 digelar, Cina tampaknya berusaha meredakkan konflik mata uang Yuan, yang berlangsung sudah lama ini.

https://p.dw.com/p/NzAo
Lembaran mata uang Cina, YuanFoto: picture-alliance / dpa

Juru bicara pemerintah Qin Gang menggelar jumpa pers, hanya beberapa waktu setelah Bank Sentral Cina mengumumkan bahwa mata uang Cina Yuan tidak lagi dipatok pada nilai mata uang Dollar. Gang sengaja meredakan eforia yang timbul di Amerika Serikat karena langkah Cina yang seolah menunjukkan bahwa Beijing mengalah dalam sengketa mengenai mata uangnya. Dan langkah ini diumumkan hanya sepekan menjelang pertemuan 20 negara industri penting dunia di Kanada.

"Kami merasa, tidak pantas untuk membahas nilai tukar Yuan di ajang KTT G20. Kami akan terus mereformasi kebijakan devisa Cina - tapi melalui langkah yang independen dan terkontrol. Kami menolak politisasi topik ini. Kami tidak akan tunduk pada pihak yang berupaya menekan kami dalam hal ini," dipaparkan Qin Gang.

Dari sudut pandang Cina, pihak Barat, terutama Amerika Serikat, terus menekan Cina untuk bergerak. Politisi AS menuduh bahwa Cina yang bertanggung jawab atas defisit perdagangan tinggi serta hilangnya lapangan kerja di AS. Produk murah asal Cina merusak persaingan di pasar global. Dan biaya produksi Cina begitu rendah karena pemerintah di Beijing sengaja menekan nilai tukar mata uang Yuan.

Tapi, argumentasi AS ini tak hanya ditepis ekonom Cina. Pakar Cina asal AS David Zweig yang berbasis di Hongkong menyatakan, "Saat krisis keuangan, ekspor AS ke Cina meningkat drastis. Perusahaan yang melirik potensi pasar pasti pergi ke Cina. Barang-barang diproduksi di sana lalu diekspor ke AS. Inilah model yang melandasi 60 sampai 70 persen ekspor Cina. Karena itu bisa dikatakan ada masalah dengan data statistik. Kita menyebut Cina adalah pabrik produksi bagi seluruh dunia. Padahal seharusnya Cina adalah pabrik perakitan dunia."

Ye Tan, penulis rubrik ekonomi asal Shanghai yakin cepat atau lambat Beijing tidak akan mematok lagi Yuan pada mata uang Dollar. Ini adalah langkah logis yang mengakhiri segala kebijakan darurat yang diambil saat krisis ekonomi, langkah yang membawa dunia kembali pada situasi normal. Antara tahun 2005 dan 2008, nilai Yuan terhadap Dollar naik sampai 21 persen. Orientasinya saat itu tak hanya mata uang Dollar, tapi juga mata uang Euro dan mata uang Jepang Yen. Nilai mata uang Cina naik 15 persen terhadap Euro tahun ini.

Masalahnya menurut Ye Tan, "Di suatu negara yang begitu bergantung pada produksi barang, sebagian besar bos perusahaan yang saya ajak berbincang merujuk pada satu hal: nilai tukar mata uang yang stabil. Tanpanya, mereka harus bersikap seperti spekulan. Jika nilai Yuan naik, makin banyak perusahaan yang terdesak. Mereka berusaha berpaling dari ekspor dan berproduksi untuk pasar dalam negeri."

Ini sesuai dengan strategi politik ekonomi pemerintah Cina. Meski begitu Ben Simpfendorfer, pakar Cina di Royal Bank of Scotland memperkirakan tidak akan ada perubahan drastis dalam waktu dekat, "Cina menyadari bahwa mata uang yang kuat sangat penting untuk menyeimbangkan ekonomi luar dan dalam negeri. Tapi mereka baru saja mulai menciptakan keseimbangan ini. Butuh waktu satu dasawarsa untuk menguatkan sektor lain di luar ekspor dan sektor bangunan. Konsumsi warga belum cukup kuat untuk menutup kesenjangan ini."

Secara umum, para pakar ekonomi dunia sepakat: kemungkinannya kecil bahwa mata uang Yuan akan meningkat dengan cepat dalam waktu dekat.

Sebuah studi lembaga ekonomi AS Peterson menunjukkan bahwa nilai Yuan saat ini hanya 24 persen lebih rendah. Akhir tahun 2009 lalu, nilai Yuan masih 40 persen terlalu murah. Horst Loechel dari Sekolah Bisnis Cina Eropa di Shanghai mengatakan, "Cara berpikir Cina sangat jelas: harus ada stabilitas dalam ekonomi dunia, barulah kita bisa mencapai kemajuan bersama. Situasi ekonomi dunia, termasuk di Amerika Serikat dan sekarang juga di Eropa, tidak stabil. Karena itu Cina kuatir."

Astrid Freyeisen/Ziphora Robina
Editor: Yuniman Farid