1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Abidjan Terus Menjadi Medan Perang

3 April 2011

Perebutan kekuasaan di Pantai Gading belum juga berakhir. Pendukung mantan Presiden Laurent Gbagbo terus dihimbau untuk mempertahankan posisi di Abidjan. Tekanan internasional terhadap Gbagbo tetap tidak diindahkan.

https://p.dw.com/p/10mjm
Foto: picture alliance / landov

Baku tembak antara pendukung Presiden terpilih Alassane Outtara dan kubu mantan Presiden Pantai Gading, Laurent Gbagbo, telah memasuki hari ketiga. Pasukan Outtara berkoordinasi di pinggiran kota Abidjan. Sementara pendukung Gbagbo dikirim untuk berjaga-jaga di berbagai penjuru kota. Pemimpin pasukan militan muda pendukung Gbagbo, Damana Picas, berbicara di televisi nasional RTI. "Keluarlah dan buru para pendukung Outtara. Keluar rumah terutama untuk melindungi kediaman Tuan Laurent Gbagbo dan buat benteng manusia disekitarnya," serunya.

Pendukung Alassane Ouattara bersiap-siap sebelum turun ke jalanan di Abidjan hari Minggu (3/4)
Pendukung Alassane Ouattara bersiap-siap sebelum turun ke jalanan di Abidjan hari Minggu (3/4)Foto: picture alliance / dpa

Kelompok militan muda saat ini menduduki jembatan menuju istana kepresidenan. Wilayah ini menjadi pusat pertempuran di Abidjan. Apakah Gbagbo sendiri ada di dalam istana kepresidenan? Masih belum jelas. Yang jelas kedudukan Gbagbo masih kuat di Abidjan, meski kalah pengaruh dengan Outtara di kota-kota besar lainnya.

Sinyal RTI yang menjadi alat komunikasi vital Gbagbo dengan para pendukungnya sempat ditangkap pejuang pro-Outtara hari Kamis lalu sebelum pasukan Gbagbo kembali mengambil kontrol dan memulihkan sinyal. Sebuah truk yang posisinya terus berubah diduga sebagai sumber penyiaran RTI. Pendukung Outtara terus berupaya mencari truk ini untuk dihancurkan.

Militan pendukung Laurent Gbagbo berpatroli di Abidjan hari Sabtu (2/4)
Militan pendukung Laurent Gbagbo berpatroli di Abidjan hari Sabtu (2/4)Foto: picture alliance / landov

Kubu Gbagbo Siarkan Pesan Anti-Perancis

Televisi nasional yang kembali dikuasai Gbagbo hari Minggu (3/4) menyiarkan pesan anti-Perancis. Pesan berjalan di layar bertuliskan, 'Pembantaian di Rwanda tengah dipersiapkan di Pantai Gading oleh pendukung Sarkozy.' Pesan yang mengacu kepada Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan pembantaian 800 ribu orang di Rwanda tahun 1994 lalu. Perancis berencana mengirim 300 tentara tambahan ke Pantai Gading. Saat ini tentara Perancis telah mengambil alih bandara Abidjan.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, mengungkapkan kekhawatirannya atas situasi di Pantai Gading serta laporan korban tewas yang sudah melampaui angka seribu. Dalam pidato hari Minggu, Clinton menyerukan kepada Gbagbo yang kalah dalam Pemilu November lalu untuk segera mundur. Clinton juga menghimbau pendukung Outtara untuk menahan diri dan menghentikan serangan terhadap warga sipil.

Tekanan Internasional Semakin Besar

Seruan serupa juga datang dari Sekjen PBB, Ban Ki Moon. Saat ini ada lebih dari 10 ribu tentara PBB yang berada di Pantai Gading atas mandat PBB untuk melindungi warga sipil. Salah seorang pekerja PBB asal Swedia tewas Kamis lalu akibat peluru nyasar. PBB mulai mengevakuasi lebih dari 200 orang pekerja sejak rangkaian serangan terjadi terhadap markas PBB di Abidjan.

Pasukan PBB berpatroli di sekitar markas di Abidjan sejak Desember lalu
Pasukan PBB berpatroli di sekitar markas di Abidjan sejak Desember laluFoto: dapd

"Sudah terlalu banyak pertumpahan darah. Ratusan warga sipil tewas atau terluka. Saya serukan lagi kepada Laurent Gbagbo untuk mundur dan menghindari kekerasan lebih lanjut. Kekuasaan harus segera diserahkan ke Presiden sah Alassane Outtara," ujar Moon.

Kubu Outtara telah menampik tudingan PBB dan Amerika Serikat bahwa pendukungnya terlibat dalam pembantaian ratusan warga sipil. Misi PBB di Pantai Gading atau UNOCI melaporkan bahwa hari Sabtu (2/4), kelompok pemburu yang dikenal dengan nama Dozos bertempur bersama kekuatan Outtara dan terlibat dalam pembunuhan 330 orang di kota Duekoue.

afp/ap/rtr/Carissa Paramita

Editor: Edith Koesoemawiria