1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aktivis Ternama Myanmar Kembali Dipenjara

Shaikh Azizur Rahman11 Desember 2012

Mantan biksu Buddha, Shin Gambira, yang juga salah satu pentolan Revolusi Safron tahun 2007 di Myanmar, kembali dijebloskan ke penjara. Kritik bermunculan.

https://p.dw.com/p/16zlE
Foto: Reuters

Shin Gambira, yang juga dikenal sebagai U Gambira, sudah tidak asing lagi sebagai penentang pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar saat ia ditangkap tanggal 1 Desember lalu.

Sebagai aktivis, ia tengah memimpin demonstrasi untuk memberi dukungan bagi para biksu yang telah lama menggelar aksi protes melawan aktivitas sebuah tambang tembaga.

Pemerintah Myanmar kini telah meminta maaf atas cederanya 99 biksu dan 11 peserta unjuk rasa lainnya saat protes berlangsung bulan lalu di luar tambang tembaga di bagian utara Myanmar. Ribuan orang diduga telah dievakuasi akibat operasi tambang tersebut.

Namun, Gambira tetap berada dalam tahanan.

Mantan biksu berusia 33 tahun itu pernah mendekam di penjara tahun 2008 atas peranannya dalam pemberontakan tahun 2007. Ia dituntut karena membuka secara paksa sejumlah biara yang telah ditutup dan disegel oleh pemerintah.

Gambira dipuji karena menyuarakan dukungan terhadap kaum minoritas Rohingya
Gambira dipuji karena menyuarakan dukungan terhadap kaum minoritas RohingyaFoto: Reuters

Seorang hakim kemudian menjatuhkan hukuman 68 tahun penjara bagi Gambira. Namun ia mendapat amnesti bulan Januari lalu berbarengan dengan para tahanan politik lainnya.

Keluarga khawatirkan kesehatan Gambira

Penangkapan kembali Gambira berarti ia sekali lagi harus berhadapan dengan kemungkinan hukuman penjara berdekade lamanya. Belum lagi muncul kekhawatiran keluarga mengenai kesehatan Gambira, seperti dilaporkan saudara kandungnya Aung Kyaw Kyaw.

"Ia sudah lama menderita migren akut dan masalah kesehatan lainnya," ungkap Kyaw. "Ia butuh pengobatan setiap hari. Tapi ia tidak diperbolehkan membawa pengobatannya saat ditangkap."

Saat bebas Januari lalu, Gambira berkisah bahwa dalam penjara ia diikat ke kursi selama berminggu-minggu dan kerap dipukuli. Bulan April, karena alasan yang tidak diketahui, ia memilih melepas kerahiban dan menanggalkan jubah biksunya untuk kembali hidup sebagai warga awam.

Ibunda Gambira, Daw Ray, mengatakan pekan lalu bahwa ia yakin anaknya ditangkap karena perjuangannya melawan proyek tambang tembaga yang menjadi usaha bersama sebuah perusahaan Cina dan konglomerasi Myanmar Economic yang dimiliki militer.

Gambira memimpin kampanye yang mendukung ribuan warga desa yang mengaku lahan mereka disita untuk memberi jalan bagi tambang tembaga raksasa.

"Pemerintah takut Gambira akan memimpin gerakan yang jauh lebih kuat melawan tambang sehingga mampu memperlambat operasi tambang. Jadi pemerintah menangkapnya," ujar ibunda Gambira.

Komunitas internasional prihatin

Nada prihatin turut disuarakan komunitas internasional atas penahanan Gambira.

Pemerintah Myanmar meminta maaf atas pemukulan yang mencederai lebih dari 100 orang
Pemerintah Myanmar meminta maaf atas pemukulan yang mencederai lebih dari 100 orangFoto: AFP/Getty Images

Menteri luar negeri Inggris Hugo Swire pekan lalu menyatakan akan menuntut pembebasan tanpa syarat Gambira dan tahanan politik lainnya saat berkunjung ke Myanmar pekan ini.

Sementara direktur Kampanye Birma di Inggris, Mark Farmaner, mengatakan Gambira sudah lama menjadi target karena berkali-kali mengangkat isu HAM.

"Dipenjara seperti sekarang, tidak hanya ia harus menghadapi tuntutan-tuntutan baru tapi juga menjalani masa tahanan yang diberikan sebelumnya selama lebih dari 60 tahun, tampaknya menjadi cara pemerintah Birma untuk memperingatkan aktivis lainnya untuk tidak mengkritik pemerintah secara lantang," tandas Farmaner kepada DW.

"Penangkapan U Gambira menunjukkan bahwa proses reformasi di Myanmar hanya di tingkat permukaan, orang-orang yang mengkritik pemerintah tetap diganjar hukuman penjara."

Chris Lewa, kepala Proyek Arakan, yang berkampanye bagi hak-hak kelompok etnis minoritas Rohingya, menilai penangkapan kembali Gambira dengan tuntutan yang berlapis-lapis mengembalikan mimpi buruk dari masa lalu.

"U Gambira hingga kini menjadi satu-satunya figur penganut Buddha ternama yang berani menyuarakan tentangan terhadap kekerasan sektarian di Arakan, dan dengan gamblang mengkritik biksu-biksu Buddha karena berpartisipasi dalam demonstrasi dan kampanye anti-Rohingya. Bahkan Daw Aung San Suu Kyi tidak melakukannya," jelas Lewa.

Pejuang HAM itu kemudian menambahkan bahwa Gambira dapat memainkan peran berharga dalam mengurangi ketegangan dan mempromosikan perdamaian di negara bagian Rakhine yang tegang di tingkat komunal.