1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bukan Merdeka 17 Agustus?

Geger Riyanto15 Agustus 2016

Ketika kita geram Belanda tak mau mengakui apa yang diperbuatnya ke Indonesia sebagai agresi pada masa peralihan kemerdekaan dulu, kita tak menyadari kita tengah berlaku sama. Selami perspektif Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/1Jf85
Foto: public domain

Anda tahu Banda Neira? Mungkin Anda pernah mendengar salah satu dari banyak reputasinya. Sebuah pulau di Maluku yang pernah menjadi pengasingan Hatta dan Sjahrir. Pusat perdagangan pala di dunia pada satu waktu. Saksi dihabisinya para penduduk setempat hanya agar VOC dapat menguasai komoditas ini.

Namun, di luar reputasi hafalan para pelancong tersebut, ada satu hal menggelitik yang didapati Jennifer Lindsay kala mengunjunginya pada 1990-an. Di alun-alunnya, sebagaimana di sudut-sudut lain Indonesia, terdapat monumen kemerdekaan. Di sana, tentu saja, tercantum tanggal kemerdekaan Indonesia.

Tanggalnya? Bukan 17 Agustus 1945 melainkan 27 Desember 1949. Tanggal yang diakui Belanda sebagai penyerahan kedaulatan pihaknya kepada Indonesia.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Bagi para politisi dan tiap insan yang menggebu-gebu menggadang nasionalisme, saya bisa menjamin, ini adalah fakta yang kontan akan menyinggung mereka.

Seandainya Indonesia baru merdeka pada tanggal tersebut, agresi militer Belanda tak dapat dikatakan sebagai agresi. Aksi mereka yang menyengsarakan rakyat Indonesia dapat dibenarkan. Dan pembacaan proklamasi tak lebihnya sebuah pemberontakan. Namun, apa yang menjadikan hal ini lebih-lebih tak termaafkan adalah tanggal tersebut tertera pada monumen kemerdekaan di atas tanah Indonesia sendiri.

Anda bisa membayangkan betapa merahnya wajah para nasionalis totok bila menjumpainya? Dan betapa riuhnya politisi-politisi akan mencari perhatian di media dengan mempersoalkan ini? Saya, entah mengapa, bisa.

Kemerdekaan sebagai konstruksi

Kendati demikian, saya pikir lebih arif bagi kita untuk menafsirkannya sebagai sebuah petunjuk. Petunjuk bahwa kemerdekaan yang jatuh pada 17 Agustus 1945 adalah persepsi yang dibangun baru-baru saja di tepian-tepian dari pusat kekuasaan Indonesia.

Dan, sebenarnya pula, tak ada alasan untuk berpikir bahwa tanpa "sedikit paksaan" dari negara orang-orang dengan sendirinya menerima 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan.

Mungkin kita berpikir setelah proklamasi dibacakan, segenap rakyat Indonesia tergulung total dalam peperangan menghalau penjajahan kembali Belanda. Mungkin kita membayangkan semua insan yang dilahirkan di bumi Indonesia dan hidup melewati periode sejarah tersebut punya memori yang sama. Sukarno membacakan, "kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia." Seluruh rakyat terbakar, bergelora. Dan setelah itu, perang, perang, dan perang…

Tapi, apa yang diajarkan sekolah dan buku sejarah tersebut, kalau tak mau dikatakan bias kepentingan tertentu, hanyalah sebagian dari cerita yang ada. Bila kita periksa sumber-sumber sejarah lain, yang tak sulit ditemukan sebenarnya, cerita lain akan segera mengemuka.

Persepsi Masyarakat

William Frederick, yang menghimpun repihan sejarah revolusi di Jawa Timur, misalnya, menemukan bahwa pemuda nasionalis tak pernah identik dengan desa. Mayoritas penduduk Indonesia, fakta yang masih berlaku sampai sekarang, tinggal di desa. Dan ketika para pemuda ini melewati desa, mereka dianggap sebagai orang luar.

Ketegangan revolusi selain itu mencengkeram bukan karena revolusi memang terjadi di mana-mana, namun karena di mana-mana mereka yang sekadar terlihat memiliki uang Belanda—uang merah sebutannya—dan terkesan bekerja untuk Belanda rentan diculik sewaktu-waktu.

Menurut kesaksian seorang guru di Majalengka pada 1947, untuk pedagang dan pegawai pemerintahan preferensi mempergunakan mata uang Republik Indonesia atau Belanda hanya sejauh urusan kemudahan. Uang merah lebih bergengsi dan bernilai. Akan tetapi, membawanya, secara khusus di daerah pedesaan, juga membahayakan.

"Orang-orang takut menerima uang merah. Karena ada ancaman dari para pejuang yang sewaktu-waktu datang ke daerah yang dikuasai Belanda," tulisnya.

Gaung revolusi ini hanya akan semakin kabur semakin seseorang jauh dari lokus-lokus pergelutan politik. Revolusi, kalaupun orang-orang mendengarnya, tak lain diperoleh dari cerita-cerita mencekam dan menyebar dari mulut ke mulut semata lantaran terlalu seru untuk dipendam sendiri.

Di antara orang-orang Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, cerita ihwal kelompok nasionalis yang dipanggil "Astrimis" ini—dari idiom Belanda, "extremist"—dikisahkan oleh seseorang yang mengaku pernah menjumpai mereka dalam sebuah festival di luar desa. Antropolog Anna Tsing mencatatnya. Dua pemuda Banjar yang dikenal sebagai "Astrimis" datang ke pesta ini. Ketika petugas pemerintahan hendak menangkap mereka, mereka merogoh sesuatu yang membuat para hadirin sontak tunggang langgang. Granat!

"Keadaan akan lebih suram sepuluh kali lipat dari ini sebelum hujan," ancam Ibas, salah satu "Astrimis" tersebut.

Pelupaan dan Penciptaan Bangsa

Di mana cerita-cerita ini sehingga kita, saya yakin, baru mendengarnya sekarang?

Ia tersempil di catatan-catatan sejarawan, antropolog dan, kita boleh ragu, akan pernah benar-benar mencuat ke publik. Apa pasal? Mungkin kata-kata Ernest Renan lebih mewakili apa yang hendak saya sampaikan dibandingkan kata-kata saya sendiri. "Pelupaan," tulis Renan, "adalah anasir penting dalam penciptaan sebuah bangsa."

Ketika 17 Agustus 1945 ditetapkan sebagai hari kemerdekaan, ia ditetapkan untuk membenarkan skenario sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia dicapai, diperjuangkan, dipertahankan dengan pertempuran bersenjata. Indonesia ada karena peperangan. Ia adalah raison d'etre bangsa ini. Dan cerita-cerita di luar itu—bahwa dalam prosesnya bergulir teror, ketidakpedulian, kesemerawutan, dinamika internasional, negosiasi antar kekuatan—tak sebaiknya diingat.

Persoalannya, tentu saja, bukanlah tanggal 17 Agustus 1945 atau proklamasi itu sendiri. Persoalannya adalah proklamasi dibungkus semata sebagai tanda dimulainya perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan dan ini, saya khawatirkan, membiasakan kita dengan sebuah bayangan keji. Bahwa bangsa ini lahir dari rahim kekerasan. Dan ini, jelas, tidak baik.

Kalau Anda sempat membaca status Facebook penulis Tere Liye yang kontroversial, Anda akan memahami kecemasan ini. Sang penulis mempertanyakan andil kelompok tertentu terhadap kemerdekaan Indonesia karena, selain tak cermat membaca sejarah, ia membayangkan perjuangan kemerdekaan sebagai perjuangan berwatak militeristis. Pergerakan intelektual dan keorganisasian tidak termasuk di dalamnya.

Dan kalau kemasygulan ini dikatakan berlebihan karena contoh saya hanya satu anak muda yang berusaha tampil di jejaring sosial, sejarah sayangnya berkata lain. Di masa silam yang bahkan belum terlalu jauh, sebagian besar masyarakat Indonesia menunjukkan mereka bisa mendukung kebijakan pertahanan dan keamanan apa pun selama retorikanya adalah menjaga negara dari perpecahan dan ancaman. Operasi militer dapat direstui rakyat di wilayah yang, ironisnya, awalnya bermasalah karena operasi militer itu sendiri.

Membenarkan Agresi Sendiri

Apakah ada jaminan retorika ini tak akan sukses menggalang legitimasi masyarakat di masa mendatang? Tidak. Tidak selama kita membayangkan Indonesia merupakan negara yang tegak berkat perjuangan bersenjata sehingga tak salah untuk dipertahankan dengan cara yang sama.

Saya khawatir, ketika kita geram Belanda tak mau mengakui apa yang diperbuatnya ke Indonesia sebagai agresi, kita tak menyadari kita tengah berlaku sama. Kita tak pernah menganggap aksi-aksi penertiban negara, dari pengerahan militer hingga pemolisian petani, sebagai agresi kendati mereka yang mengalaminya tanpa tedeng aling-aling akan mengatakan demikian. Dan, untuk menambah kemirisannya, ia tak terjadi berdasawarsa lalu.

Sungguh ironis? Tidak. Sungguh pandir!

Penulis:

Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.