1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Globalisasi dengan Biaya Manusia dan Alam

13 Juli 2012

Persaingan Lebih Besar! Seruan ini tidak hanya sering didengar di Yunani tapi juga di seluruh dunia. Milyaran orang hidup dalam kemiskinan, perusakan lingkungan meningkat. Apakah tatanan ekonomi yang manusiawi mungkin?

https://p.dw.com/p/15XdZ
Ein Globalisierungsgegner demonstriert am 9.9.2003 in Jakarta gegen das bevorstehende WTO-Treffen in Cancun. Unter starken Sicherheitsvorkehrungen beginnt am 10.9. im mexikanischen Cancun die Ministerkonferenz der Welthandelsorganisation WTO. 3500 Polizisten sind zum Schutz der etwa 7000 Delegierten aufgeboten. Bei der Konferenz geht es vor allem um den Abbau von Subventionen für die Landwirtschaft und von Zöllen für Agrarprodukte.
Kemiskinan, sisi kelam globalisasiFoto: picture alliance/dpa

Gambarannya cukup suram, kata Franz Josef Radermacher. Profesor Universitas Ulm Jerman yang juga anggota dalam Club of Rome itu, sejak bertahun-tahun aktif berjuang untuk ekonomi pasar yang menjaga standar sosial dan ekologis. Tapi pemerintahan-pemerintahan dengan peraturan nasionalnya tertinggal di belakang perkembangan ekonomi global, kata Rademacher. Dampaknya adalah demokrasi yang makin kosong.

Perjanjian-perjanjian internasional misalnya dalam Organisasi Perdagangan Internasional WTO juga mewajibkan pebisnis Jerman menjual produk-produk „meskipun produk tersebut dibuat oleh anak-anak dalam kondisi diperbudak," demikian Rademacher. "Dan itu justru di negara-negara yang seperti halnya Jerman, menandatangani kesepakatan PBB yang melarang mempekerjakan anak-anak.“ Siapa yang menolak memberi akses bagi produk-produk itu ke pasarnya, akan diajukan ke pengadilan WTO. Dengan logika ini di bumi terjadi secara permanen apa yang sebetulnya tidak diinginkan siapapun. Dituturkan Radermacher pada acara yang digelar Akademi untuk Pendidikan Politik di Tutzing.

Franz Josef Radermacher, Direktor des Forschungsinstituts für anwendungsorientiere Wissensverarbeitung, Universität Ulm Fotograf: Alexander Haas, Politische Akademie Tutzing
Franz Josef RadermacherFoto: Alexander Haas

Tidak Mampu Mempertahankan Diri

Di awal perkembangan ini pada tahun 1980-an dan 1990-an politik di demokrasi barat mendorong perkembangan yang dampaknya kini tidak lagi dapat diawasi. Di hadapan proyek besar liberalisasi ekonomi, demokrasi nasional „sama sekali tidak dapat bertahan“. Pilihannya dulu hanyalah selalu: Apakah saya berada di luar proses ini? Maka itu berarti terisolasi, itu juga tidak berfungsi. Atau saya dalam hal ini mencari solusi terbaik kedua? Karena mengenai solusi terbaik sebenarnya, yakni standar untuk menciptakan tatanan ekonomi dunia yang dapat diterima secara ekologis dan sosial, kala itu tidak ada satu pun yang mau membahasnya. Demikian Radermacher.

Sejak itu tidak menjadi lebih mudah untuk meluncurkan standar minimal. Pada tahun 1999 Sekjen PBB kala itu Kofi Annan mencoba langsung kepada perusahaan mencapai kesepakatan global „Global Compact“. Dengan melibatkan ekonomi swasta, Annan mencoba memberi dinamika bagi proses ini.

"Di satu sisi perusahan diharapkan mendorong diterapkannya hak-hak asasi manusia, hak-hak pekerja, perlindungan iklim dan memerangi korupsi di dalam perusahaan dan di lingkungannya“. Dipaparkan Julia Rohloff, pakar sosiologi pada Universitas ESC di Rennes Perancis. „Sasaran kedua adalah menjalin kemitraan dengan perusahaan yang berfungsi mencapai lebih baik target PBB.“

Julia Rohloff, Associate Professor ESC Rennes, School of Business Fotograf: Alexander Haas, Politische Akademie Tutzing
Julia RohloffFoto: Alexander Haas

Neraca Menyedihkan

Sementara ini lebih dari 8000 peserta prinsip-prinsip Global Compact diwajibkan menciptakan globalisasi yang bersifar lebih sosial dan ramah lingkungan. Tapi neracanya tampak kurang memuaskan. Keanggotaan itu bersifat sukarela dan tidak lebih dari sekedar pernyataan keinginan. Kemungkinan pengawasan dan penjatuhan sanksi tidak ada.

Juga di luar PBB pemerintah makin mengandalkan partisipasi ekonomi swasta. „Itu adalah perkembangan yang bisa diamati di seluruh Eropa.“ Demikian dikatakan pakar ekonomi etik Michael Aßländer dari Universitas Internasional Zittau. Komisi Eropa menuliskan landasan keyakinannya untuk tema Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan dalam sebuah buku hijau. „Di dalamnya tercantum bahwa kebutuhan ekologis dan sosial harus ditunjang, namun itupun juga dalam bentuk sukarela. Dan saya memperkirakan latar belakang pemikirannya, untuk melepaskan pengeluaran tambahan dan mengharap dimana perusahaan yang mengisi kekosongan tersebut,“ ujar Aßländer.

Michael Aßländer, Professor für Wirtschaftsethik, Internationales Hochschulinstitut Zittau Fotograf: Alexander Haas, Politische Akademie Tutzing
Michael AßländerFoto: Alexander Haas

Mundurnya Pengaruh Negara

Dengan kata lain, semakin besar partisipasi perusahaan swasta di bidang perlindungan lingkunan, pendidikan atau budaya, semakin besar negara dapat menghemat dalam kondisi anggaran yang sedang kosong. Namun masalahnya dalah perusahaan dapat setiap saat mundur dari dukungan yang sukarela semacam itu. Juga mereka dengan tawaran misalnya di bidang pendidikan juga selalu memiliki kepentingan. Lebih lanjut disampaikan pakar ekonomi etik Aßländer, hampir tidak dapat diterapkan peraturan terhadap perusahaan, jika negara semakin tergantung pada bantuan sukarela yang diberikan oleh perusahaan.

Liberalisasi ekonomi pada dekade terakhir juga memiliki sisi positif. Tanpa itu perkembangan negara ambang industri, terutama Cina dan India tidak akan terwujud. Meski demikian di sana jurang perbedaan antara miskin dan kaya masih lebih tajam dibanding kawasan dunia lainnya.

Deutschland, Hamburg, © Gina Sanders #20567518
Simbol gambar booming ekspor di era globalisasiFoto: Fotolia

Eropa sebaliknya sudah lama bangga akan standar tinggi keseimbangan sosial. Tapi hasil besar ini kemungkinan besar tidak dapat bertahan, dicemaskan Franz Josef Radermacher. Juga di Eropa jurang antara miskin dan kaya makin besar. „Banyak yang berpendapat itu sudah wajar, karena di seluruh dunia juga terjadi demikian. Mereka lalu berkata. Itu juga suatu bentuk keadilan sosial.“

Andreas Becker/Dyan Kostermans

Editor: Dirk-Ulrich Kaufmann