1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia Harus Manfaatkan Perubahan Cina

23 Maret 2012

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jumat (23/03) memulai kunjungan ke Cina. Kunjungan itu menandai meningkatnya hubungan kedua negara. Pengamat menilai Presiden Yudhoyono datang di saat yang tepat.

https://p.dw.com/p/14Ppv
Konsumsi masyarakat Cina yang tinggi adalah peluang bagi IndonesiaFoto: Reuters

Peneliti masalah Cina dari CSIS, Christine Susanna Tjhin, yang kini sedang studi di Universitas Peking Cina, menilai, Presiden Yudhoyono datang di saat yang tepat ketika Cina mengubah orientasi ekonomi dan politik. memulai agenda resmi kunjungan ke Cina. Kedatangan Presiden Yudhoyono sekaligus menandai meningkatnya hubungan kedua negara.

Peneliti masalah Cina dari CSIS, Christine Susanna Tjhin, yang kini sedang studi di Universitas Peking Cina, menilai, Presiden Yudhoyono datang di saat yang tepat ketika Cina mengubah orientasi ekonomi dan politik. Perubahan-perubahan terakhir di Cina belakangan ini, diyakini akan lebih menguntungkan Indonesia. Inilah perbincangan Andy Budiman dari Deutsche Welle (DW) dengan Christine Susanna Tjhin (CST).

DW : Apa nilai penting kedatangan Presiden Yudhoyono ke Cina?

CST : Kedatangan Presiden Yudhoyono kali ini menjadi menarik karena bersamaan dengan terjadinya perubahan peta kekuatan dunia. Abad yang sering disebut orang sebagai Asian Century. Perubahan ini membuat posisi Indonesia sebagai mitra Cina menjadi semakin penting.

DW : Di Indonesia ada persepsi bahwa hubungan ekonomi dengan Cina ini lebih banyak merugikan. Apakah betul begitu?

CST : Jika kita melihat hasil survey Chicago Council Global Affair dan Pew Global Attitudes sepertinya ada kesenjangan antara pandangan publik dengan pandangan elit yang dalam hal ini lebih banyak dikutip oleh media. Contohnya kalau kita bicara soal Asian-China Free Trade Area, di media massa Indonesia banyak sekali yang menyuarakan kekhawatiran bahwa Indonesia akan kebanjiran produk-produk Cina. Tapi sebaliknya, Pew Global Attitudes justru menemukan bahwa publik Indonesia punya pandangan yang lebih positif daripada yang digambarkan media dalam melihat hubungan ekonomi kedua negara.

DW : Ya di Indonesia ada begitu banyak orang yang suka barang buatan Cina, dan produk asal Tiongkok itu membuat mereka berhemat dan bisa savings, karena harganya lebih murah.

SCT : Ya itu itu salah satu contoh paling riil.

DW : Apa keuntungan bagi Indonesia jika mempererat hubungan politik dan ekonomi dengan Cina?

CST : Pertama, kita harus melihat kebangkitan Cina. Pertumbuhan ekonomi Cina telah ikut mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia. Banyak peluang yang bisa kita dapatkan. Pertama, populasi yang besar dan pertumbuhan yang tinggi membuat Cina menjadi sangat menarik. Terakhir, Cina telah merestrukturisasi kerangka ekonomi mereka, dari yang tadinya berorientasi ekspor kini menjadi ekonomi yang terfokus pada ekonomi domestik. Artinya kalau Cina ingin memperluas kapasitas konsumsi dalam negeri mereka, maka itu artinya peluang pasar bagi Indonesia. Dalam bidang politik, persaingan antara Cina dengan Amerika membuat Indonesia menempati posisi unik. Indonesia bisa menjadi kekuatan penyeimbang di kawasan. Jadi saya pikir, Indonesia bisa menjadi kekuatan tengah dan itu adalah keuntungan bagi politik luar negeri kita.

DW : Dalam bidang perdagangan, apa saja celah pasar yang bisa dimasuki pengusaha Indonesia ke Cina?

CST : Dengan konsumsi masyarakat Cina yang sangat tinggi, saya melihat peluang itu ada di barang-barang konsumen, misalnya kopi. Ambil contoh bagaimana Starbuck berkembang pesat di Cina. Produk lain yang disukai adalah biskuit atau makanan kecil. Kalau kita datang ke supermarket di Cina, kita akan dengan mudah menemukan agar-agar atau biskuit dari Thailand, Malaysia, Vietnam dan Singapura. Sementara, produk asal Indonesia jarang terlihat, kecuali kopi. Saya pikir, ada potensi yang bisa dimasuki pengusaha Indonesia. Apalagi generasi muda Cina dikenal sangat konsumtif.

DW : Bagaimana Cina melihat Indonesia? Apakah Indonesia dianggap penting?

CST : Tahun ini ada pergeseran dalam kebijakan luar negeri Cina. Kalau selama ini, Cina selalu memprioritaskan kekuatan besar seperti Amerika, Jepang, Eropa dll. di urutan pertama dan menyusul negara tetangga dan berkembang. Maka tahun ini kebijakan itu berubah. Ketika Perdana Menteri Wen Jiabao memberi laporan di hadapan sidang Kongres Rakyat Cina awal bulan Maret ini, ia menyebutkan bahwa urutan prioritas itu berubah. Cina kini menempatkan negara tetangga sebagai prioritas utama, menyusul kemudian negara berkembang dan terakhir negara besar. Karena itu, momentum kunjungan Presiden Yudhoyono kali ini menjadi sangat penting, karena bersamaan dengan perubahan kebijakan luar negeri Cina. Indonesia sebagai mitra strategis utama, kini harus aktif mengambil keuntungan dari perubahan kebijakan di Cina untuk keuntungan Indonesia.

Andy Budiman

Editor: Hendra Pasuhuk