1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Israel dan Palestina: Mungkinkah Damai?

Peter Hille
23 Oktober 2023

Serangan teror Hamas dibalas dengan serangan udara Israel yang meluluhlantakkan wilayah utara Jalur Gaza. Analis keamanan mengkhawatirkan, bara di Jalur Gaza bisa menjelma menjadi perang yang melanda seluruh kawasan.

https://p.dw.com/p/4Xte7
Bendera Israel dan Palestina
Bendera Palestina dan Israel di pintu pemeriksaan Beit Jala, Tepi Barat YordanFoto: PATRICK BAZ/AFP/Getty Images

Bagi Pnina Sharvit Baruch, perang di Gaza kali ini merupakan "konflik paling parah dan sulit yang pernah kami alami sejak Israel didirikan pada tahun 1948," kata peneliti di lembaga wadah pemikir milik Universitas Tel Aviv, Institut Studi Keamanan Nasional. Puluhan ribu nyawa melayang selama 75 tahun perang antara Israel dan Palestina, serta negara-negara Arab. Kali ini, menurutnya, perang bisa berlangsung lama dan berdarah.

Ada kemungkinan, perang kelima di Jalur Gaza sejak 2008 itu bisa berkembang menjadi perang agama dan menjalar di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara, kata Amjad Shihab, analis politik Palestina di Yerusalem Timur.

Pada tanggal 7 Oktober silam, teroris Hamas menerabas masuk melalui perbatasan Israel demi kehancuran dan pembantaian. Sebagian warga Yahudi diculik ke Jalur Gaza sebagai sandera. Israel bereaksi dengan membombardir wilayah utara Jalur Gaza dan bersiap melancarkan serangan darat.

Gaza: More casualties as Israeli airstrikes intensify

Akar konflik

Sejak pendiriannya pada 14 Mei 1948, Israel sudah mengundang permusuhan dari jiran Arab yang ditandai dengan deklarasi perang lima negara Timur Tengah sehari setelah pengumuman kemerdekaan di Tel Aviv. Seiring kekalahan aliansi negara Arab, sebanyak 700.000 warga Palestina diusir dan terpaksa mengungsi dari kampung halamannya, menuju Jalur Gaza, Tepi Barat dan sejumlah negara tetangga.

Hingga tahun 1972, sebanyak 800.000 warga Yahudi bermigrasi atau diusir dari negara-negara Arab dan wilayah Palestina ke Israel. Pada tahun yang sama, organisasi militan Palestina, September Hitam, melancarkan serangan teror yang menewaskan 11 anggota tim Olimpiade Israel di München, Jerman.

Demonstrasi pro-Palestina di Ankara
Demonstrasi pro-Palestina di Ankara, TurkiFoto: Adem Altan/AFP/Getty Images

Sejak Perang Enam Hari tahun 1967, Tepi Barat Yordania dan Jalur Gaza berada di bawah pendudukan Israel. Jaminan keamanan juga menjadi syarat bagi normalisasi diplomasi dengan negara-negara Arab, di samping pengakuan kedaulatan. 

Bagi negeri Yahudi itu, damai baru tercapai jika teror berakhir. Syarat serupa diajukan Israel bagi normalisasi diplomasi dengan negara-negara Arab, yakni pengakuan kedaulatan dan jaminan keamanan.

Mungkinkah damai?

Meski terkesan mustahil di tengah kebencian dan dendam lintas generasi, perdamaian di Timur Tengah masih dimungkinkan, kata Margaret Johansen, peneliti politik di Hamburg, Jerman, yang fokus pada konflik antara Israel dan Palestina. Menurutnya, kebengisan perang dan kedukaan di kedua pihak yang membuncah dalam beberapa pekan terakhir "merupakan hal paling mengerikan yang bisa saya bayangkan," dan patut "menjadi alarm pengingat. Dan saya cuma bisa berharap, alarm itu didengar," ujarnya.

Jika kedua pihak bersedia, kompromi damai bisa dicapai dalam waktu tiga tahun, kata Johannsen lagi. "Luka harus disembuhkan. Kita berharap akan ada orang-orang yang mau bersusah payah untuk menengahi. Tanpa mediasi tidak mungkin," imbuhnya, merujuk pada kekuatan baru di Cina, India dan negara-negara Afrika.

Thousands rally in Berlin in support of Israel

Padamnya Solusi Dua Negara

Hingga kini, Solusi Dua Negara bagi Israel dan Palestina mendasari setiap upaya perdamaian di Timur Tengah. Namun solusi itu kian meredup. Bahkan sebelum serangan teror Hamas, hanya sepertiga warga Israel menganggap mungkin kehidupan damai dengan Palestina, menurut sebuah jajak pendapat oleh Pew Research Center.

Hasil senada dicatatkan survey lain di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur. Hasilnya, hanya seperempat warga Palestina yang masih meyakini Solusi Dua Negara. Padahal jumlahnya mencapai enam puluh persen satu dekade lalu.

Minimnya dukungan publik dan maraknya pemukiman ilegal Yahudi yang membelah wilayah Palestina di Tepi Barat, mendorong peneliti perdamaian di Hamburg, Johansen, bersikap pesimis. "Saya yakin, Solusi Dua Negara sudah berakhir," kata dia.

Namun bagi Mairav Zonzsein, pakar Israel di International Crisis Group, "Solusi tersebut masih merupakan gagasan terbaik," untuk mendamaikan Israel dan Palestina. "Tapi apakah mungkin untuk dilaksanakan, bergantung pada apakah kedua pihak dan dunia internasional siap mengubah kapital politik dan energinya untuk mengimplementasikan damai. Banyak orang tidak lagi percaya hal ini mungkin terjadi."

(rzn/hp)