1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisah Sedih di Hari Minggu

9 Februari 2011

Ferdias Muhammad tak menyangka, acara silaturahmi bersama 20-an jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang hari Minggu lalu, berujung petaka. Ia menceritakan pengalaman yang dialaminya.

https://p.dw.com/p/10ESC
Pasca Serangan Terhadap AhmadiyahFoto: AP

Awalnya warga Serang Banten ini mengaku datang ke Cikeusik hanya untuk menanyakan penahanan pimpinan Ahmadiyah Cikeusik, Ismail Suparman oleh polisi. Sampai tiba-tiba sekitar seribu orang beratribut kelompok agama itu datang mengepung mereka: “Mereka di dadanya itu ada pita biru, jadi memang sudah terorganisir. Pita biru pakai peniti. Jumlahnya yang depan itu kurang lebih ada 20-an, yang belakang ratusan. Jadi mereka datang, teria : Allahu akbar, Allahu akbar bubarkan Ahmadiyah, sesat, anjing, minggir, begitu datang sudah bicara seperti itu, jadi kita sudah tidak bisa komunikasi apa-apa.”

Menurut Ferdias, polisi sebetulnya telah mengetahui pergerakan kelompok ini. Hal itu dibuktikan dengan kedatangan anggota intel dan dua truk pengendali massa Dalmas ke lokasi.

Namun perlindungan yang diharapkan dari polisi tak muncul. Dengan hanya sekitar 40 an anggota, polisi tak berkutik menghadapi keberingasan massa: “Saya seperti menghadapi rampok saja. Disitu kita bak -bik -buk, saya ditendangi, dipukulin, dibacokin punggungnya. Orang kafir nih, orang sesat nih begitu. Ketika lagi terdesak itu saya melihat teman saya lagi dikeroyok, dan saya merangkul dia dan kita sama –sama terjatuh. Baru 15 menit kemudian ada Dalmas datang, pelan-pelan hey… sudah-sudah, dikira saya sudah mati mungkin, sudah tidak berdaya lalu saya dibawa pakai mobil patroli ke rumah sakit Malingping.”

Tiga penganut Ahmadiyah tewas dalam serbuan itu. Sementara enam lainnya luka parah termasuk Ferdias yang masih terbaring di rumah sakit. Selain sempat gegar otak, Ia juga harus menerima hampir 50 jahitan akibat luka bacok dan pukulan di punggung dan sekujur tubuhnya.

Selain kehilangan tiga sahabat, Ferdias juga harus merelakan mobil APV miliknya dirusak massa: “Saya tak akan dendam. Mereka hanya terhasut aja. Hanya salah paham aja. Mereka menyangka saya ini sesat, mereka menyangka kami ini punya nabi baru, punya kitab suci baru padahal tidak. Saya tak sesat, saya Islam.”

Sikap serupa juga dinyatakan Rina, istri Deden Dermawan yang juga menjadi korban kekerasan di Pandeglang: “Kita berusaha untuk tenang saja, sabar, tawakkal, semuanya memang sudah dari kehendak yang atas. Ikhlas dengan apa yang telah terjadi . iIu selalu kita tanamkan pada diri kita. Saya malah sedih melihat orang orang pada berantem di TV kadang malah ada yang mempolitisasi segala macam.”

Sejumlah warga dan polisi menyalahkan warga Ahmadiyah karena dianggap memprovokasi massa dengan menolak membubarkan diri. Kepolisian Banten juga memapar temuan senjata api rakitan dan puluhan tombak milik anggota jamaah Ahmadiyah dari lokasi. Namun Ferdias menampik semua tuduhan itu: “Untuk apa saya menantang ribuan orang seperti itu. Kita cuma bilang, kalau misalnya kita mau diserang kita mau tau alasanya apa. Kenapa kita salah, salah apa kami hingga harus diserang. Bayangin aja pak, kami 20 orang mau nantangin seribu orang. Mungkin tidak. Sudah begitu dengan kondisi itu kami yang 20 orang ini seolah - olah kami yang salah.”

Serangan pada hari Minggu itu dilakukan oleh sekitar seribu orang, namun polisi sejauh ini baru menetapkan dua orang sebagai tersangka pelaku kekerasan, tanpa ada penjelasan menyangkut kelompok agama mana yang terlibat.

Zaki Amrullah

Editor : Ayu Purwaningsih