1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengapa Berita Tentang Seleb Lebih Diminati?

3 Mei 2018

Mulai dari isu perselingkuhan Raffi Ahmad, Jennifer Dunn yang dituding sebagai ‘pelakor‘ sampai pacar baru artis Korea – mengapa berita-berita semacam ini lebih laku ketimbang berita ekonomi politik? Opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2wgzm
Prinz Harry mit Freundin Meghan Markle bei den Invictus Games in Toronto
Foto: picture-alliance/dpa/D. Lawson

Syahrini, penyanyi yang lebih dikenal karena kehebohannya di media sosial daripada lagu-lagunya, baru-baru ini kembali dirisak  warganet. Alasannya, dia dianggap tak beretika karena berpose genit saat sedang mengunjungi The Holocaust Memorial di Berlin. Tak sekadar berfoto sambil berdiri di atas tugu peringatan Holocauts, ia juga mengunggah video yang memperlihatkan dirinya sedang senyum-senyum dengan ucapan, "Bagus yah, tempat Hitler bunuh-bunuhan dulu”.

Media sosial tak hanya menjadi ladang berita hoaks, ia juga menjadi tempat memenuhi nafsu para penikmat gosip pesohor (celebrity). Selain berita-berita pesohor yang disajikan oleh media arus utama, masyarakat juga giat mencari gosip dan berita dari berbagai sumber, baik yang bisa dipercaya maupun yang hanya mengumbar desas-desus.

Penulis;  Uly Siregar
Penulis; Uly Siregar Foto: Privat

Jangan heran kalau akun Lambe Turah di Instagram yang dengan bangga mendeskripsikan "gosip adalah fakta yang tertunda”, misalnya, memiliki 4,7 juta follower. Berita tentang pesohor pun menjadi acara andalan televisi-televisi swasta di tanah air, dan muncul setiap hari. Isinya kurang lebih pemberitaan 'gimmick' hubungan Andhika Kangen Band yang kerap disebut 'Babang Tamvan' dengan istrinya, isu perselingkuhannya dan sejenisnya. Atau misalnya hubungan cinta artis Ely Sugigi dengan para pria yang kerap dinyinyiri netizen sebagai brondong. Entah benar itu 'setting'an atau bukan, yang jelas, berita-berita itu 'dilumat' pembaca. 

Kecintaan pada kehebohan hidup pesohor bukan hanya terjadi di masyarakat Indonesia. Ketika pasangan Angelina Jolie dan Brad Pitt dikabarkan bercerai, semua media arus utama ikut mengabarkan. Banyak pula yang menangisi perpisahan kedua aktor dan aktris papan atas Hollywood yang dikenal dengan sebutan Brangelina. Sebaliknya, ketika aktris Meghan Markle dikabarkan jadi pasangan Pangeran Harry dari Inggris masyarakat pun ikut bergembira. Pernikahan mereka yang berlangsung bulan Mei 2018 menjadi ajang yang ditunggu-tunggu dengan penuh antisipasi. 

Mengapa berita dan gosip tentang pesohor sangat diminati?

Dan lebih gampang menuai banyak pembaca dan pemirsa? Sebenarnya obsesi masyarakat pada pesohor adalah hal yang natural. Secara psikologis dikatakan manusia adalah mahluk sosial yang hidup di lingkungan di mana masyarakat menaruh perhatian khusus pada mereka yang berada di puncak. Nah, pesohor termasuk golongan yang berada di puncak.

Di zaman keterbukaan arus informasi, obsesi pada pesohor juga dipengaruhi oleh akses nyaris tanpa henti yang semakin dipermudah dengan munculnya beragam platform alternatif. Namun fenomena pesohor sendiri tentu bukan hal baru. Sejak zaman dulu masyarakat gampang terobsesi pada pesohor. Ratu Victoria, misalnya, menjadi trend-setter gaun pengantin. Konon, popularitas gaun putih bagi pengantin perempuan dimulai setelah Ratu Victoria memakainya pada tahun 1840.

Psikologis Evolusioner Daniel Kruger dari University of Michighan, seperti dikutip Live Science, mengatakan bahkan dalam masyarakat pemburu-pengumpul di mana barang-barang material termasuk langka terdapat sistim status hirarki. Mereka mengamati perilaku individu yang dominan dalam kelompok mereka. Alasannya, mereka mempelajari apa yang dilakukan oleh individu-individu berstatus tinggi dengan harapan mereka bisa menjadi bagian kelompok berstatus tinggi. Atau, mereka mengamati tindak-tanduk individual berstatus tinggi karena mereka beranggapan akan lebih mudah menavigasi kehidupan sosial.

Jadi, meskipun sepertinya tak ada guna mencermati kehidupan Brad Pitt dan Angelina Jolie, namun kecenderungan sosial untuk peduli pada kabar yang menyangkut mereka berdua sulit untuk dihindari karena kebutuhan untuk mengamati apa yang terjadi pada mereka memiliki status hirarki tinggi sudah mendarah daging.

Yang lebih menyulitkan masyarakat untuk keluar dari kepedulian pada para pesohor adalah adanya kecenderungan para pesohor dibantu media mengeksploitasi berbagai aspek hidup mereka. Mereka bersedia diwawancara media soal kehidupan pribadi. Dengan riang pesohor membagi cerita tak hanya soal proyek yang mereka kerjakan, tapi juga sampai ke hal-hal yang bersifat personal, dari hal ringan seperti soal makanan favorit hingga ke urusan asmara dan seks.

Pew Research Center dalam risetnya menyebutkan 40% responden merasa media memberi perhatian terlalu besar pada berita tentang pesohor. Angka ini tiga kali lebih besar dibandingkan dengan subyek lain. Riset ini tak mengejutkan. Pandangan bahwa media memberikan perhatian yang terlalu besar pada pesohor adalah pandangan yang umum.

Bukannya tak berisiko

Banyaknya informasi yang diberikan pesohor pada publik bukan tanpa risiko. Salah satu yang mungkin timbul adalah adanya "celebrity worship syndrome” (CWS). Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh James Champman, jurnalis Daily Mail. CWS merupakan kondisi obsesif yang membuat seseorang menjadi sangat terobsesi dengan kehidupan seorang pesohor, hingga ke hal-hal yang sangat intim.

Selain membagi cerita pada media arus utama, kehadiran media sosial pun membuat para pesohor menjadi semakin dekat dengan pemujanya. Pesohor bisa dengan gampang berinteraksi langsung dengan penggemarnya lewat Twitter dan Instagram. Penyanyi top seperti Katy Perry tak canggung membalas tweet dari penggemarnya. Kalau beruntung, pemimpin dunia sekelas Presiden Donald Trump bisa jadi membalas tweet yang ditujukan padanya—entah dibalas dengan cercaan atau pujian, atau hanya sekadar direspon liked dan retweet.

Tak hanya berinteraksi dengan pesohor, keberadaan beragam platform yang bisa mengakomodasi kegiatan mempromosikan diri sendiri juga berpotensi melahirkan pesohor-pesohor baru. Mereka tak harus pandai menyanyi seperti Celine Dion, misalnya, tapi bisa memiliki jutaan follower. Tak harus pandai berakting seperti Jennifer Lawrence, namun tak kalah populer. Akibatnya, ada banyak kesempatan bagi masyarakat luas untuk menjadi pesohor, menjadi bagian dari kelompok hirarki atas.

Lantas, bagaimana dengan mereka yang belum juga naik kelas menjadi pesohor, belum juga mencapai hirarki atas? Mengamati perilaku pesohor, menguliti berbagai aspek kehidupan mereka, dan mencaci atau justru memuja pesohor adalah kegiatan yang tak hanya memberikan semacam navigasi bagaimana menghadapi kehidupan sosial, tapi juga menjadi distraksi dari kehidupan nyata yang dipenuhi dengan berbagai masalah. Adalah sebuah kelegaan tersendiri menyaksikan seorang Syahrini yang hidup dengan limpahan materi, berkelana ke berbagai negeri dengan pesawat pribadi ternyata melakukan kebodohan yang fatal. Syahrini tak paham bahwa The Holocaust Memorial di Berlin adalah sebuah monumen kepedihan atas tragedi kemanusiaan. Ia adalah sebuah memorial atas orang-orang Yahudi yang terbunuh di Eropa. Jelas bukan tempat yang pantas untuk berpose centil, apalagi sambil cengengesan.

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.