1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Merayakan Perbedaan dan Toleransi Lewat Wayang Potehi

7 Februari 2023

Anak muda dari berbagai latar belakang bersemangat menggeluti pertunjukan wayang potehi, rayakan perbedaan dan toleransi.

https://p.dw.com/p/4NA3R
Biksu Tong Sam Chong yang sempat popoler di layar kaca Indonesia di tahun 1990-an
Biksu Tong Sam Chong yang sempat popoler di layar kaca Indonesia di tahun 1990-anFoto: Nefria Indradona/DW

"Daripada kita kepanasan di sini, lebih baik kita nge-mal di sebelah sana," kata Biksu Tong Sam Chong kepada siluman babi Cu Pat Kai.

"Baik guru, oink!" jawab Cu Pat Kai yang disambut gelak tawa penonton saat pementasan wayang potehi di perayaan Cap Go Meh Jakarta 2023 di kawasan Pecinan Glodok, Jakarta Barat.

Siang itu di Pancoran Chinatown Point memang terik dan panas, tapi juga meriah. Suara musik yang kental khas Cina seperti suling (dizi), gong kecil (toalo), kendang, dan kecrekan perkusi dari dua keping logam (toabak) terdengar menghentak, mengiringi lakon Sun Go Kong melawan Putri Kipas.

Tidak heran, pentas wayang selama 45 menit oleh Sanggar Budaya Rumah Cinta Wayang (Cinwa) ini sukses menghibur penonton.

Belajar Sastra Jawa dan pentas wayang potehi

Mila Aprilia, mahasiswi Universitas Indonesia di program studi Sastra Jawa, termasuk salah satu yang aktif mementaskan pertunjukan tersebut. Ia bergabung dengan Sanggar Budaya Rumah Cinwa pada tahun 2021. Di sana, mahasiswi kelahiran Ungaran, Jawa Tengah, ini mempelajari wayang yang kental dengan perpaduan budaya Cina dan Jawa ini.

Perempuan berusia 19 tahun yang mengenakan jilbab ini bercerita awalnya ia kerap diajak menonton pertunjukan wayang potehi saat masih kecil oleh orang tuanya. Biasanya mereka menonton wayang saat Imlek.

Mila Aprilia
Mila Aprilia dengan beberapa tokoh wayang potehi, kesenian yang aktif ia geluti sejak 2021Foto: Nefria Indradona/DW

"Tidak bikin ngantuk. Asik kalo misalnya bisa ikut tim Potehi," tutur Mila dengan wajah berseri kepada DW Indonesia.

Bagi Mila, antusiasme penonton menanyakan kapan dimulainya pementasan wayang potehi siang itu sangat membuatnya terkesan. Dia sempat berinteraksi dengan penonton sebelum pertunjukan dimulai. Mulai dari nenek-nenek hingga anak kecil terlihat menanyakan apakah pertunjukkan akan segera dimulai. 

Apa itu wayang potehi?

Kesenian wayang potehi dibawa dan diperkenalkan ke Nusantara oleh imigran dari Cina Selatan pada abad ke-16. Potehi dalam lafal Hokkien, berasal dari kata poo yang artinya kain, tay artinya kantong, dan hie yang berarti wayang, menurut buku Wayang Potehi Gudo: Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia karya Dwi Woro Retno Mastuti.

Dikutip dari laman website Heritage On The Move, bagi keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia, selain sebagai hiburan, wayang potehi memiliki fungsi sosial dan ritual. Biasanya wayang potehi dimainkan di candi-candi, utamanya di sepanjang pantai utara Jawa, termasuk di Semarang.

Saat pertama kali diperkenalkan di Nusantara, wayang potehi dibawakan dalam bahasa Mandarin dengan dialek Hokkien. Seiring waktu, kesenian ini dipentaskan dalam bahasa Indonesia sehingga penonton yang bukan keturunan Tionghoa juga bisa menikmati pertunjukan. 

Wayang potehi pada perayaan Cap Go Meh di Jakarta
Karena dilarang, pada era pemerintahan mantan Presiden Soeharto diketahui hanya ada tiga kelompok pegiat wayang potehi yang bertahan yaitu di Semarang, Tulungagung, dan Surabaya.Foto: Nefria Indradona/DW

Kaya kisah inspiratif

Muhammad Bilal Radhitya, 23, juga menjadi salah satu bagian anak muda yang aktif melestarikan dan mementaskan wayang potehi. Ada banyak pelajaran yang bisa ia petik dari kisah-kisahnya, terutama soal kebhinekaan. Pemuda yang baru saja menyelesaikan studinya di Program Studi Sastra Jawa, Universitas Indonesia, ini sudah berkegiatan di Sanggar Budaya Rumah Cinwa sejak November 2017.

Dia mengingat kembali pengalaman saat pentas di Vihara Dhanagun, Bogor, tahun 2018. "Waktu lagi main musik di sana, saya rasanya seperti orang Jawa yang main di markas Tionghoa," kata Bilal sambil tertawa. 

Saat itu lakon yang mereka bawakan adalah kisah kepahlawanan Sie Jin Kwie yang bercerita seputar patriotisme dan keikhlasan dalam membela negara.

Baginya, aktivitas menggelar pertunjukan wayang potehi ini adalah murni kegiatan berkesenian dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan ibadah.

Namun memang ia mengaku bahwa beberapa saat sebelum pentas dimulai, tim wayang potehi melakukan semacam doa ritual yang dipimpin oleh dalang. Ritual tersebut dilakukan untuk menghormati leluhur wayang potehi dan berharap pertunjukkan berjalan lancar.

Muhammad Bilal Radhitya
Muhammad Bilal RadhityaFoto: Nefria Indradona/DW

Wayang potehi di Indonesia dinilai masih original

Mila Aprilia cukup bangga bahwa wayang potehi di Indonesia masih mempertahankan orisinalitasnya. Padahal pertunjukan wayang potehi di negara asalnya mulai mengalami modernisasi, seperti iringan musiknya sudah menggunakan alat musik organ. Sementara di Indonesia masih menggunakan alat musik tradisional khas Cina.

"Ada wayang potehi di luar negeri terbuat dari plastik. Di sini masih ukir sendiri, pesan dari Tulungagung. Tapi sekarang pengrajinnya juga mulai berkurang di Tulungagung," ujar Mila.

Sementara Bilal mengatakan justru para pegiat wayang potehi saat ini lebih banyak didominasi oleh orang Jawa. Banyak juga generasi muda yang kurang tahu tentang pertunjukan wayang potehi.

Sedangkan Mila berpendapat memudarnya kesenian potehi di kalangan anak muda karena mereka ada rasa takut untuk memulai. Anak-anak muda takut mendalami potehi karena akan dianggap membuang waktu oleh orang tua mereka. 

Inklusivitas dalam keberagaman

Sementara itu, Dwi Woro Retno Mastuti, pendiri Sanggar Budaya Rumah Cinwa menuturkan kepada DW Indonesia bahwa sanggar yang ia dirikan pada 2014 itu kini memiliki 20 anggota aktif. Mereka berkegiatan di sanggar yang terletak di Depok, Jawa Barat. Rumah Cinwa didominasi oleh anak-anak muda dari berbagai latar belakang. Jadi tidak hanya terbatas pada etnis tertentu.

Woro menuturkan bahwa pertunjukkan wayang potehi adalah salah satu upaya menjaga toleransi dan keragaman budaya di Indonesia. Anak-anak muda di Sanggar Budaya Rumah Cinwa juga bisa merasakan persatuan walau mereka datang dari suku, agama, budaya, dan ras yang berbeda.

"Adik-adik masuk ke klenteng atau gereja tanpa pretensi, tanpa kecurigaan. Tidak ada pengkotak-kotakan," ucap dosen Sastra Jawa di Universitas Indonesia, yang kerap disapa Woro ini.

Menurutnya, menjunjung toleransi, menjaga keberagaman dan kebhinekaan perlu ditunjukkan dengan aksi nyata.

"Indonesia itu bagaikan satu mozaik. Kalau tidak ada satu kepingan, ya tidak utuh," ujar Woro. (ae)

Kontributor DW, Leo Galuh
Leo Galuh Jurnalis berbasis di Indonesia, kontributor untuk Deutsche Welle Indonesia (DW Indonesia).