1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikRusia

Nilai Tukar Mata Uang Rubel Rusia Terus Merosot

16 Agustus 2023

Nilai tukar rubel jatuh mencapai titik terendah selama 18 bulan. Berbulan-bulan bank sentral Rusia berhasil mempertahankan nilai tukarnya, tetapi nilainya terus merosot sejak pemberontakan kelompok Wagner.

https://p.dw.com/p/4VCJl
Foto ilustrasi nilai tukar rubel Rusia
Foto ilustrasi nilai tukar rubel RusiaFoto: Dado Ruvic/Illustration/REUTERS

Nilai tukar rubel Rusia terus merosot selama seminggu terakhir. Dalam perdagangan bursa saham Moskow pada Senin (14/08) pagi, untuk satu dolar AS nilai tukar yang harus dibayar 101,16 rubel, menurut kantor berita negara Tass. Untuk 1 Euro harus dibayar 110,3 rubel.

Mata uang Rusia terakhir kali melemah pada akhir Maret 2022, tak lama setelah  invasi Rusia ke Ukraina, tetapi beberapa minggu kemudian nilai tukarnya kembali pulih. Hal ini antara lain disebabkan harga energi yang lebih tinggi.

Kemerosotan nilai tukar rubel dimulai dengan pemberontakan kelompok tentara bayaran Wagner dan pemimpinnya Yevgeny Prigozhin pada Juni 2023. Situasi ini memicu rasa tidak aman yang mendalam di Moskow. Situasi tegang di Laut Hitam juga membebani rubel, sejak Rusia secara sepihak menarik diri dari kesepakatan biji-bijian dengan Ukraina pada Juli lalu.

Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira Nabiullina
Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira NabiullinaFoto: Russian Central Bank/SNA/IMAGO

Sanksi terhadap minyak dan gas mulai berdampak

Rusia telah mengalami defisit anggaran selama delapan bulan berturut-turut karena mencoba untuk menstabilkan ekonomi yang terpukul oleh penyusutan ekspor dan isolasi dari pasar keuangan internasional. Kepala bank sentral Rusia Elvira Nabiullina berulang kali menyebut penurunan perdagangan sebagai alasan utama pelemahan rubel dalam beberapa bulan terakhir.

Namun, penasihat ekonomi Presiden Vladimir Putin, Maxim Oreshkin, menyalahkan kebijakan moneter dan kredit yang longgar dari bank sentral. Peningkatan kredit konsumen menjadi perhatian khusus, tulis mantan menteri ekonomi itu dalam sebuah artikel untuk kantor berita TASS.

Erik Meyersson, kepala strategi pasar negara berkembang di Bank SEB Swedia di Stockholm menyatakan, pelemahan rubel adalah bagian dari dampak sanksi internasional. "Pelemahan rubel adalah hasil dari sekrup internasional yang diperketat di sekitar ekonomi Rusia dan biaya (Rusia) mempertahankan ekonominya," katanya.

"Tidak ada yang ingin pegang rubel"

"Tidak ada yang ingin menahan rubel dan pasokan devisa yang terbatas membebani nilai mata uang Rusia itu. Pada saat yang sama, neraca transaksi berjalan telah memburuk di tengah meningkatnya impor dan pendapatan ekspor yang lebih rendah, itu menambah tekanan," kata Erik Meyersson.

Pendapatan dari ekspor minyak dan gas Rusia turun menjadi USD 6,9 miliar pada Juli dari USD 16,8 miliar pada periode yang sama tahun lalu, menurut data terbaru bank sentral Rusia. Melonggarkan pembatasan pengiriman uang ke luar negeri juga menyebabkan percepatan pelarian modal, karena banyak orang Rusia berusaha mentransfer uang mereka ke rekening di luar negeri.

Menghadapi situasi ini, diduga bank Sentral di Moskow akan menaikkan suku bunga. Kantor berita Interfax melaporkan hari Senin (14/08), mengutip bank sentral, bahwa kemungkinan suku bunga akan dinaikkan pada pertemuan reguler berikutnya bulan September mendatang. Rubel telah kehilangan sekitar 30 persen dari nilai tukarnya terhadap dolar tahun ini.

hp/as (dpa, AFP, Bloomberg)