1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemerintah Pakistan Ditekan Pengadilan dan Militer

16 Januari 2012

Mahkamah Agung Pakistan hari Senin (16/1) menyatakan Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani menghina pengadilan karena enggan bekerjasama dalam penyelidikan tuduhan korupsi terhadap Presiden Asif Ali Zardari.

https://p.dw.com/p/13kad
Perdana Menteri Pakistan Yousuf Raza Gilani
Perdana Menteri Pakistan Yousuf Raza GilaniFoto: picture-alliance/dpa

Pengadilan Pakistan mewajibkan Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani hadir di sidang korupsi Presiden Asif Ali Zardari tanggal 19 Januari ini. Gilani terancam kehilangan jabatan dan 6 bulan masa penjara apabila gagal meminta maaf kepada pengadilan atau memastikan untuk hadir. Menteri hukum Pakistan, Mola Baksh Chandio, menanggapi perintah pengadilan terhadap Gilani, "Ini bukan hal kecil. Kami akan berkonsultasi dengan para ahli dan mengambil langkah yang diperlukan."

Pembatalan amnesti

Pengadilan telah berkali-kali memerintahkan pemerintahan Gilani untuk mendesak pemerintah Swiss membuka kembali kasus pencucian uang yang melibatkan Zardari. Pemerintah Pakistan sebelumnya menuntut Swiss menutup kasus tersebut dengan dalih Presiden Zardari memiliki kekebalan hukum.

Menteri informasi Firdaous Ashiq Awan akhirnya memastikan bahwa Gilani akan menghadiri sidang sesuai perintah. Mantan menteri hukum Pakistan, Iftikhar Gilani, menyatakan sang perdana menteri tidak mempunyai pilihan lain. "Memang harus dihadapi. Mundur dari jabatan dan hadapi. Baru setelah dinyatakan tidak bersalah, ia bisa kembali menjadi Perdana Menteri," tegas Gilani.

Presiden Pakistan Asif Ali Zardari
Presiden Pakistan Asif Ali ZardariFoto: AP

Zardari mendapat amnesti dari tuduhan korupsi dan tindakan kriminal lainnya dari Pervez Musharraf yang pada pertengahan 90-an merupakan petinggi militer. Amnesti menjadi bagian dari kesepakatan Musharraf dengan Partai Rakyat Pakistan yang saat itu dipimpin mendiang istri Zardari, Benazir Bhutto. Pada tahun 2008, pengadilan Pakistan memutuskan amnesti tersebut tidak sesuai konstitusi.

Tekanan dua arah

Keputusan Mahkamah Agung semakin memojokkan pemerintahan sipil yang juga tengah berselisih dengan militer akibat sebuah memo yang diduga dikirimkan oleh mantan duta besar Pakistan untuk Washington, Hussain Haqqani. Memo tersebut berisi permohonan bantuan Amerika Serikat untuk mencegah kudeta militer di Pakistan menyusul tewasnya Osama bin Laden.

Kudeta militer telah tiga kali terjadi di Pakistan sejak merdeka pada tahun 1947. Pemerintah telah memberikan tanggung jawab kebijakan luar negeri dan keamanan kepada para jenderal Pakistan, namun kepemimpinan sipil dengan militer tidak pernah sepaham sejak Zardari dan Gilani menjabat tahun 2008 lalu.

dpa/ap/Carissa Paramita

Editor: Christa Saloh-Foerster