1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menghadap Penguasa untuk Mendapat Jatah Kuasa

12 Maret 2018

Sejumlah petinggi partai telah bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Bahkan partai-partai baru. Apa tujuan dan makna 'sowan' ke orang nomor satu di Indonesia ini? Simak opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/2toe8
Indonesien Vereidigung Kabinett von Präsident Joko Widodo
Foto: Reuters/D. Whiteside

Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sowan diartikan sebagai menghadap (kepada orang yang dianggap harus dihormati, seperti raja, guru, atasan, orang tua); berkunjung. Dari arti tersebut, dapat kita maknai bahwa sowan adalah menghadapnya orang yang (merasa) lemah secara politik, sosial, atau ekonomi kepada pihak yang sebaliknya:kuat secara politik, sosial, atau ekonomi.

Sowan juga dapat diartikan sebagai simbol pengakuan kekuasaan terhadap seorang penguasa baru. Dari kisah-kisah sejarah, dapat kita baca bagaimana seorang raja atau maharaja atau kaisar, juga bisa menerima pengakuan kekuasaan dari raja-raja yang lebih lemah melalui sowan: raja atau penguasa yang lebih lemah datang menghadap untuk menyatakan pengakuannya terhadap kekuasaan raja tersebut. Sowan bisa terjadi karena pihak yang lemah dipaksa untuk menyatakan pengakuannya, bisa juga karena sukarela sebagai bentuk taktik politik untuk mendapatkan keamanan dan kenyamanan kekuasaan dalam wilayah yang lebih kecil. Sowan bisa juga dilakukan demi mendapatkan jatah kekuasaan politik dalam level tinggi, misalnya agar bisa mendapat tempat di dalam lingkungan istana, dan pada akhirnya ikut memengaruhi kebijakan seorang maharaja atas bangsa dan wilayah yang dia kuasai.

Frankfurter Buchmesse 2017 Indonesien
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Sowan tentu saja merupakan salah satu perwujudan teori patron-klien, seperti diungkap James Scott (1972), di mana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan---yang akan memberi keuntungan bagi pengaruh dan sumber dayanya itu sendiri---bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah (klien), di mana klien membalasnya dengan menawarkan dukungan dan bantuan menyeluruh, termasuk layanan pribadi, kepada patronnya.

Baca juga:

Mengurai Rasa Bosan Atas Pilkada

Tidak ada kesetaraan dalam patron-klien, dan demikian juga dalam praktik sowan. Yang ada adalah unjuk inferioritas di satu pihak, dan unjuk superioritas di pihak lainnya.

Indonesia nyaris identik—kalau tidak bisa dikatakan sepenuhnya identik—dengan model politik patron-klien ini. Politik Indonesia modern—yang dimulai sejak awal abad 19 dan digerakkan oleh generasi muda di zaman itu dan merentang sampai sekarang—tetap kental dengan nilai dan nuansa patron-klien, dan itu menunjukkan revolusi mental, sosial, dan politik sejak masa itu sampai sekarang tidak pernah bisa menghadirkan budaya egaliter yang sepenuhnya.

Bahkan di dua babak awal republik ini, kita tergelincir pada politik patrimonial yang berujung pada kediktatoran: Soekarno yang menjadi diktator sipil melalui jabatan presiden seumur hidupnya, dan Soeharto yang menjadi diktator militer selama 32 tahun. Dan di akhir masing-masing babak, kita berkubang darah karena konflik horisontal.

Kita bisa mengartikan patrimonialisme sebagai bentuk pemerintahan di mana kekuasaan mengalir langsung dari seorang pemimpin. Rezim patrimonial adalah rezim autokratis dan oligarkis serta meminggirkan kelas atas dan kelas menengah dari kekuasaan. Para penguasanya biasanya menikmati kekuasaan personal absolut, dan biasanya tentara di negeri-negeri semacam itu setia kepada pemimpin, bukan kepada negara. Bahkan pemimpin diidentikkan dengan negara, yang melahirkan kekacauan dalam demokrasi, di mana ketika pemimpin dikritik, para pengkritiknya akan dianggap sebagai pihak yang melawan negara.

Begitu berbahayanya patrimonialisme, seharusnya sikap apa pun yang mendorong Indonesia menuju politik patrimonial harus dikritik keras—kalau tidak bisa dikatakan harus dilawan.

Politik patrimonial

Sayangnya, atas nama budaya dan tradisi, kita kerap begitu ringan melangkah ke arah politik patrimonial. Istilah-istilah seperti sowan dan sikap-sikap yang menyertainya begitu sering dilakukan, dipertontonkan para aktor politik, dan direproduksi di media-media. Sejak era Soekarno sampai era Joko Widodo, kita tidak pernah jengah melakukan hal semacam itu, dan seperti tak peduli pada dampak merugikan yang mungkin akan menyusul. Pun demikian, di kubu oposisi tradisi patron-klien ditunjukkan dan dipertahankan.

Menjelang pemilihan presiden tahun 2019, kita bisa dengan mudah melihat pertunjukan patron-klien dan politik patrimonial. Bahkan Joko Widodo, yang awalnya bisa dikatakan sebagai orang yang mewakili wong cilik dan egaliter, sudah menjadi seorang patron (terlepas apakah dia pun mungkin seorang klien terhadap patron yang memberinya jalan dalam kekuasaan, misalnya dalam hal ini Megawati dan PDIP).

Joko Widodo dipandang memiliki kuasa, dan karenanya para aktor politik berlomba untuk berada di bawah kekuasaannya, meminta arahannya, dan menawarkan diri untuk tetap menjaganya berada dalam kekuasaan. Hal sama ditunjukkan para pesaingnya, misalnya Prabowo yang menjadi patron untuk para pengikutnya.

Saling serang pernyataan dan tudingan antar pendukung di dua kubu juga menegaskan penjelasan James Scott, bahwa ketika seorang patron menerima dukungan klien, maka ”... klien membalasnya dengan menawarkan dukungan dan bantuan menyeluruh termasuk pelayanan pribadi kepada patronnya.”

Pertanyaannya sekarang, apakah Indonesia akan sanggup keluar dari budaya patron-klien itu, dan mulai mempraktikkan politik yang egaliter: di mana kekuasaan dan dukungan didistribusikan kepada aktor-aktor politik berdasarkan kesepakatan untuk mencapai tujuan bersama, yaitu membangun negara melalui blue print yang objektif, bukan penyaluran kekuasaan dari seorang patron kepada para kliennya dalam rangka mendapatkan tujuan-tujuan pribadi?

Jawabannya ada di generasi muda

Jika generasi muda Indonesia tak juga belajar tentang politik dan kekuasaan secara utuh, dan hanya memandang politik sebagai jalan dan cara meraih kekuasaan per se, tanpa belajar teori-teori sosiologis/antropologis, maka Indonesia akan terus diikat dalam patrimonialisme yang dilindungi prinsip "menghargai tradisi”. Setiap calon pemimpin, bahkan yang tadinya dipandang paling egaliter sekalipun, pada akhirnya akan kalah oleh tradisi dan tergelincir pada patrimonialisme.

Contoh-contoh buruknya sudah sering terjadi di politik level lokal. Misalnya, beberapa kali saya perhatikan ada kepala daerah-kepala daerah yang tak jengah sowan kepada mantan kepala daerah yang berada di dalam penjara sekali pun untuk meminta nasihat. Bayangkan, betapa pekatnya tradisi patrimonialisme itu, sampai generasi baru para pemimpin pun tak bisa melepaskan diri dari ikatan tradisi untuk sowan, bahkan kepada penguasa yang sudah terbukti melakukan kejahatan publik.

Harapan baru akan muncul jika generasi muda Indonesia melepaskan diri dari nilai dan tradisi semacam itu, dan generasi tua berhenti untuk mengajari dan memberi contoh tradisi patron-klien dan politik patrimonialisme. Jika itu terjadi mulai hari ini, mungkin dalam satu atau dua dekade mendatang, kita bisa melihat politik dan kekuasaan bisa berada dalam genggaman orang-orang idealis, yang bersih dari pengaruh generasi sebelumnya.

Tapi sayang, kita belum bisa melihatnya hari ini. Bahkan partai politik baru pun—yang berisi anak-anak muda—masih dengan bangga sowan ke istana untuk menunjukkan dukungan dan mendapatkan restu.

Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz), jurnalis dan novelis

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.