1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

UE Tingkatkan Tekanan Terhadap Libya

10 Maret 2011

Melalui sanksi baru UE tingkatkan tekanan atas Gaddafi. Perancis mengakui pemerintah transisi di Benghazi. Sementara mayoritas negara anggota NATO melihat tidak terpenuhinya persyaratan larangan terbang di Libya.

https://p.dw.com/p/R8Aq
Pemimpin Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine AshtonFoto: AP

Kamis (10/3) para menlu negara UE merembukkan langkah-langkah baru dalam konflik di Libya. Di Brussel negara-negara anggota UE menyetujui penerapan sanksi terhadap lima lagi lembaga keuangan Libya. Demikian diumumkan kepresidenan Dewan UE yang saat ini dipimpin Hungaria di Brussel, Kamis (10/03). Selain itu, seorang dari kalangan dekat penguasa Muammar al-Gaddafi juga dikenakan larangan perjalanan dan pembekuan rekening bank. Dengan begitu secara keseluruhan 27 orang yang terkena sanksi tersebut.

Menurut keterangan para diplomat, kelima lembaga keuangan Libya yang disanksi termasuk Bank Sentral dan Lembaga Investasi Libya LIA. LIA mengurus pemasukan dari penjualan minyak negeri itu dan memiliki saham di sejumlah perusahaan besar Eropa, di antaranya Bank Italia UniCredit, perusahaan penerbangan dan persenjataan Italia Finmeccanica dan kelompok media InggrisPearson. Tanggal 1 Maret UE juga telah membekukan aset Gaddafi dan keluarganya serta orang-orang dekat penguasa Libya itu.

Ungarn NATO Außenministertreffen in Gödöllö Anders Fogh Rasmussen
Sekjen NATO, Anders Fogh RasmussenFoto: dapd

Larangan terbangan hanya melalui mandat DK PBB

Sementara itu, pada pembukaan pertemuan menteri pertahananan negara anggota pakta militer NATO, Kamis (10/03) juga di Brussel, Sekjen Anders Fogh Rasmussen mengutarakan, NATO mempersiapkan berbagai opsi militer bagi Libya. Namun, sebelum NATO dapat mengintervensi sebuah konflik di negara Afrika Utara itu, ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi: ".....semua operasi yang kami lakukan harus mengindahkan tiga prinsip kunci. Pertama, harus ada alasan jelas untuk operasi NATO. Kedua harus ada dasar hukum yang jelas. Dan ketiga harus ada dukungan dari yang kuat dari negara-negara di wilayah itu."

Sekjen NATO, Rasmussen juga menegaskan bahwa semua operasi pakta militer ini, termasuk penerapan larangan terbang, harus dikaitkan dengan mandat Dewan Keamanan PBB. Bila semua tuntutan tersebut terpenuhi, maka NATO bersedia melaksanakannya, tambah Rasmussen.

Deutschland Außenminister Guido Westerwelle zu Sanktionen gegen Libyen Pressekonferenz in Berlin
Menlu Jerman, Guido WesterwelleFoto: AP

Dukungan dan keterlibatan mitra Arab diperlukan

Hal yang serupa juga diutarakan Menteri Luar Negeri Jerman, Guido Westerwelle di sela-sela pertemuan para menlu EU di Brussel (Kamis 10/03): "Zona larangan terbang merupakan sebuah opsi yang tentunya harus dikaji. Tetapi yang menentukan adalah bahwa semua yang melampaui kebijakan sanksi, juga mendapat dukungan dan mandat dari PBB, dan terutama bahwa mitra-mitra di wilayah Arab tidak hanya mendukung secara politik, tetapi juga ikut serta dalam operasi ini."

Menlu Westerwelle juga menegaskan, pemerintah Jerman saat ini mengutamakan target politik berupa sanksi karena Jerman jelas ingin mencegah untuk tidak terjerat dalam peperangan di Afrika Utara dengan risiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya.

Nicolas Sarkozy in Davos
Presiden Perancis Nicolas SarkozyFoto: AP

Perancis akui pemerintah Tansisi di Benghazi

Dalam menanggapi konflik di Libya, Perancis adalah negara anggota UE pertama yang mengakui para pemberontak sebagai wakil rakyat Libya, dan akan mengirimkan duta besarnya ke Benghazi serta akan menerima seorang utusan Dewan Nasional perlawanan. Demikian menurut kantor kepresidenan Perancis. Dari lingkungan kepresidenan dikatakan bahwa Presiden Sarkozy hendak mengusulkan serangan udara yang ditargetkan pada tujuan-tujuan tertentu di Libya.

Sementara itu, menurut Palang Merah Internasional, sekitar tiga perempat penduduk Libya tidak terjangkau bantuan kemanusiaan. Tim dokter tidak berhasil menerobos ke lokasi, di mana pertempuran hebat terjadi.

Christa Saloh/dpa, afp, epd/Ed. Setyarini