1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Wartawan dan Maling

Afri Budi30 September 2013

Wartawan itu mirip maling: "menunggu" dan "mengamati". Maling sebut sasaran sebagai “korban”, wartawan menyebut sasaran sebagai "nara sumber". Begitu kesan Afri Budi, yang saat ini magang di redaksi.

https://p.dw.com/p/19pUF
Foto: Alterfalter - Fotolia.com

Pertama-tama saya ingin memperkenalkan diri. Saya mahasiswi dari Frankfurt yang akan menulis skripsi. Biar tidak menyesal sebelum memutuskan mau jadi apa nanti, saya ingin mencoba beberapa hal. Salah satunya jurnalistik.

Menurut saya profesi wartawan itu mirip maling. Itulah kesan saya setelah liputan pertama.

Cara kerjanya sama. Kami sama-sama "menunggu" dan "mengamati". Jika maling menyebut sasaran sebagai “korban”, wartawan menyebut sasaran sebagai "nara sumber". Dalam mencari sasaran, maling dan wartawan sama-sama "mengamati" dan "menunggu". JIka ketemu, langsung saja sergap. Tentu saja, korban dan nara suber sama-sama ketakutan. Kalau korban takut ditodong pisau, nara sumber takut ditodong mikrofon.

Deutsche Welle Mikrofon

Bedanya, sebelum beraksi maling tak perlu ijin korban, sedang wartawan wajib minta ijin. Diusir dan ditolak pun sudah biasa. Sayangnya bagi saya yang masih magang diusir dan ditolak itu jadi luar biasa - memuakkan!

Waktu meliput Bundestagswahl, Minggu (22/09/12) saya diusir dari TPS. Alasannya, karena saya telah melanggar aturan pemilu. Wartawan hanya boleh melakukan wawancara di depan ruang TPS, tidak di dalam. Meski sopan dan manusiawi, tetap saja saya malu diusir.

Belum lagi kisah seorang nara sumber yang kabur akibat saya salah bertanya. Dengan bodohnya saya bertanya, “Apakah anda punya latar belakang imigran?" Bagi warga Jerman dengan latar belakang imigran, pertanyaan semacam itu sangat menyingung. Saat pulang saya cuma bisa menyesal seharusnya saya tak usah bertanya begitu. Belum lagi bapak kepala TPS X- yang galak, hasil rekaman yang hilang. Dan lain-lain.

Symbolbild Bundestagswahl 2013 Wahlkabine
Salah satu TPS ketika pemilu parlemen Jerman (22/09/13)Foto: picture-alliance/dpa

Suatu saat saya pernah diberi tugas adaptasi sebuah artikel, saya lupa judulnya. Saya pikir, “Ah, ini gampang.“ Karena artikelnya ngga susah. Tapi saya syok. Memang terjemahan saya benar. Cuma tulisan saya saja, yang hampir salah semua. Salah eja, kurang huruf, salah koma, titik dll. Singkatnya, adapatasi saya adalah bukti konkrit bagi Bahasa Indonesia saya yang jelek.

Trauma atas penglaman itu. Setiap kali selesai adaptasi, saya selalu minta dicek lagi dan lagi. Suatu kali, kalimat yang saya tulis dicoret. Saya pun tegang. Menurut saya tak ada yang salah. “Saya harus protes!” pikir saya. Saya pun bertanya, dan jawabannya sederhana. "Artinya tidak salah, cuma terlalu banyak huruf 'n'," kata Edith, sang editor. Karena sudah pusing menulis, saya sampai tak sadar sudah menulis huruf “n” sebanyak 3 kali.

Jika ditanya, masa tidak ada senang-senangnnya magang di redaksi DW Bahasa Indonesia?

Senang? Hehehe, jelas saja, yang ngajarin sabar-sabar. Ada si Ayu yang bisa di telfon mendadak saat panik. Ada Marjory yang sering ngajak nonton konser klasik gratis. Ada Andy yang baik, yang suka ngasi masukan tulisan. Ada Hendra yang hampir serba tau – jadi penolong penghemat waktu riset. Ada Pak Agus yang sabar yang bisa diminta teh beserta gulanya - gratis. Lengkap pokoknya!

Deutsche Welle Asien Indonesisch Afri Budi
Afri BudiFoto: DW/P. Henriksen

Selain itu, Pak Agus, team leader redaksi DW Bahasa Indonesia bilang, “Boleh magang sampai 6 bulan itu sudah rekor." Apalagi setelah 2 tahun, baru saya Praktikantin pertama yang diterima DW (masa sih?!). Biasanya orang hanya boleh magang antara 1 sampai 3 bulan. Bagi saya, 3 bulan belum cukup. Antara saya merasa benar benar jatuh cinta dan ingin jadi wartawan atau muak. Jawaban itu yang sedang saya cari.

Masih ada 5 bulan sampai jawaban ditemukan. Sekian curhat saya sebagai Praktikantin.

Sebelum saya tutup saya hanya ingin mengucapkan. ”Dirgahayu ke 50 untuk DW-Indonesia!” God bless - semoga jaya selalu!