1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ahok dan Simbol Politik Warga

Tosca Santoso21 Maret 2016

Ahok masuk bursa Pilkada Jakarta sebagai calon independen. Kini dukungan partai politik mulai mengalir, di antaranya dari Nasdem. Apakah sikap Ahok cocok dengan mekanisme partai? Berikut ulasan Santoso.

https://p.dw.com/p/1IGmA
Foto: Reuters

Calon independen dalam Pemilihan Gubernur Jakarta, sesungguhnya bukan hal baru. Tahun 2012, Faisal Basri sudah mencobanya. Tetapi Ahok membuat peta politik jungkir-balik, ketika ia maju dari jalur perseorangan ini, dan meninggalkan partai-partai yang pernah mengusungnya pada Pilkada 2012. Saat itu, Ahok maju menjadi wakil Jokowi, dengan sokongan PDI Perjuangan dan Gerindra.

PDI Perjuangan tampak yang paling terluka kewibawaannya. Partai ini pemenang pemilu. Di Jakarta punya kursi yang cukup untuk mengajukan calon sendiri. Tapi ditantang Ahok dengan tenggat : kalau tak segera bikin keputusan, ia akan maju dari independen. Belum pernah ada calon bupati, gubernur, bahkan calon presiden, yang datang meminta tiket ke PDI Perjuangan dengan cara mengancam semacam itu. Inilah yang membuat PDI Perjuangan tersinggung, dan sebagian elitnya lebay menuding Ahok melakukan deparpolisasi.

Tentu saja tak ada deparpolisasi. Keputusan Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok untuk maju independen itu, bukan sikap anti partai. Pilihan itu sepenuhnya juga konstitusional. Undang Undang Pilkada memungkinkannya. Ini adalah jalan lain rekrutmen pemimpin publik. Dan, sudah ada beberapa bupati yang meraih jabatannya lewat jalur independen. Ahok sekarang menjadi simbol warga yang tetap ingin berpolitik, tapi tak mau pasrah bongkokan kepada elit partai. Teman Ahok, perkumpulan anak-anak muda yang memobilisir dukungan warga untuk Ahok, adalah ekspresi dari kemauan untuk terlibat dalam memilih pejabat publik. Buat mereka, hak berdemokrasi itu milik warga. Bukan monopoli elit partai.

Pilihan Ahok dan Teman Ahok itu, tentu dapat dipandang semacam koreksi kepada partai-partai. Agar mereka menjalankan fungsi, dan menyerap aspirasi publik lebih baik.

Dengan semua kekurangannya, Ahok adalah Gubernur Jakarta yang sangat populer saat ini. Warga Jakarta melihatnya sebagai solusi atas kebuntuan banyak masalah di ibukota. Lebih dari 70% warga puas atas kinerjanya. Ia nekat melawan korupsi. Dan cekatan melayani keluhan warga sehari-hari. Jujur dan tegas. Sifat yang dianggap penting oleh pemilih Jakarta itu, ada pada diri Ahok. Tak heran, kalau polling-polling menunjukkan, petahana ini akan mampu memenangkan Pilgub tahun depan. Meski tanpa dukungan partai politik. Elektabilitasnya tinggi, sekitar 40%, jauh meninggalkan calon-calon lain yang menantangnya.

Hanya Partai Nasdem yang menangkap gejala ini dengan baik. Dan tanpa gengsi-gengsian, partai ini segera mendukung Ahok, meski ia maju dari jalur independen. Ini untuk pertama kalinya, calon perseorangan didukung partai. Bukan tak mungkin, nanti akan ada partai lain menyusul Nasdem. Godaan untuk mendukung calon yang menang, sangat sulit dihindari partai-partai. Dan, kalau tak bikin blunder-blunder fatal, rasanya Ahok akan terpilih jadi Gubernur Jakarta.

Yang tampak bingung memang PDI Perjuangan. Partai ini seolah-olah punya mekanisme rumit untuk memilih calon pemimpin. Tapi, ujung-ujungnya sebetulnya tergantung satu orang. Seolah ada mekanisme dari bawah, tahap-tahap pencalonan dan sebagainya, tapi pada akhirnya Ketua Umum lah yang menentukan. Secara bergurau orang bilang, Mega adalah pemegang saham terbesar PDI Perjuangan. Dan itu ada benarnya. Tahun 2007, Faisal Basri mencari tiket PDI Perjuangan untuk cagub Jakarta. Bermacam kegiatan dia ikuti untuk seleksi, misalnya pendekatan ke pengurus kecamatan. Lalu, presentasi visi misi di depan DPD Jakarta. Semua kegiatan diberi bobot nilai dan dihitung. Waktu itu, nilai tertinggi diraih Sarwono Kusumaatmaja. Faisal nomor dua. Tetapi yang dipilih PDI Perjuangan, tepatnya pilihan Ketua Umum, adalah Fauzi Bowo yang skornya termasuk nomor buncit.

Hak prerogatif Megawati di partai banteng gemuk itu tak selalu menghasilkan keputusan buruk. Kadang bisa bagus juga. Seperti munculnya Jokowi, Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, atau Risma di Surabaya. Tapi ya karena keputusan pribadi, sangat sulit ditebak. Pasti subyektif. Tergantung suasana hati. Ahok termasuk yang gagal merebut simpati Mega, karena caranya mengancam dengan memberi tenggat itu. Sikap Ahok yang jujur, tegas, apa adanya; tak cocok dengan kebutuhan mekanisme partai. Ia bukan orang yang bersedia mengelus-elus ego para elit partai.

Penulis, Tosca Santoso,yang juga merupakan pecinta lingkungan
Penulis, Tosca Santoso,yang juga merupakan pecinta lingkunganFoto: DW/E. Daneiko

Kini, partai-partai coba menjegal Ahok lewat revisi UU Pilkada. Caranya : memperberat syarat calon independen. Kalau sekarang dibutuhkan dukungan KTP 6,5%-10% dari jumlah pemilih; nanti akan dinaikkan jadi 15%-20%. Teman Ahok harus bekerja ekstra keras. Jangan membatasi dukungan pada 1 juta KTP. Antisipasi kalau syarat minimumnya tiba-tiba membengkak.

Untungnya, politik warga sedang bertiup kencang di Jakarta.

Penulis:

Tosca Santoso, bekerja sebagai wartawan kawakan selama lebih dari 25 tahun, ia merupakan pendiri KBR, kantor berita radio, independen dan terbesar di Indonesia. Memperoleh beberapa penghargaan jurnalistik, seperti dari ICFJ (2010) dan IFJ (1995). Tosca menerbitkan novel Sarongge, 2012. Sekarang sedang menulis novel kedua.

@toscasantoso

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Kami tunggu komentar Anda.