1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Charlie Hebdo: Provokasi Melawan Intoleransi

30 Oktober 2020

Charlie Hebdo ngotot memublikasikan karikatur Nabi Muhammad, meski diharamkan oleh Islam. Melalui cara itu redaksi berdalih ingin mengangkat isu intoleransi dan opresi oleh ekstremis Islam yang mengancam demokrasi

https://p.dw.com/p/3kdv5
Frankreich Satirezeitschrift Charlie Hebdo
Foto: picture-alliance/dpa/G. Roth

Untuk kesekian kalinya Charlie Hebdo menuai badai lewat publikasinya. Mingguan satir itu diancam, didemonisasi dan diserang sebuah aksi teror yang menewaskan belasan stafnya. Namun awak redaksi mengaku tidak ingin berhenti menertawakan ekstremisme Islam. 

Sebagian umat muslim menuduh Charlie Hebdo melakukan penistaan terhadap agama saat menerbitkan karikatur Nabi Muhammad. Di dalam ajaran Islam, penggambaran wajah nabi merupakan tindakan yang diharamkan. 

Namun anggota redaksi mengatakan, mereka hanya ingin memicu diskursus seputar intoleransi, opresi dan politisasi Islam yang mengancam demokrasi, seperti yang dilaporkan kantor berita AP. 

Kaum muslim bukan pihak pertama yang meluapkan amarah terhadap Charlie Hebdo. Lewat satir yang kontroversial, terkadang lancang dan tidak mengenal tabu, mingguan satir itu berulangkali menguji batas kebebasan berpendapat di Prancis dan kesabaran khalayak ramai. 

Keputusan redaksi memublikasikan ulang karikatur Nabi Muhammad, buntutnya memicu serangan teror di Prancis paling anyar, termasuk teror senjata tajam di Basilika Notre Dame, Nice, yang menewaskan tiga orang. 

Provokasi melawan intoleransi 

Selama kiprah kontroversialnya, Charlie Hebdo pernah menerbitkan karikatur Aylan Kurdi, bocah Suriah yang meninggal dunia saat menyebrang ke Eropa, menertawakan korban virus corona, pengguna narkoba yang sekarat, pemimpin dunia, neo-Nazi, Sri Paus, uskup, pemimpin Yahudi dan tokoh politik, agama atau selebriti papan atas. 

Sepekan setelah teror pemenggalan kepala seorang guru di Paris, Charlie Hebdo menurunkan karikatur yang menggambarkan proses pemakaman Samuel Paty, di mana petugas memanggul dua peti mati, satu untuk tubuh korban, yang lain untuk kepalanya. 

Serangan teror senjata tajam di dekat bekas kantor Charlie Hebdo di Paris, 25 September 2020.
Serangan teror senjata tajam di dekat bekas kantor Charlie Hebdo di Paris, 25 September 2020.Foto: Alain Jocard/AFP/Getty Images

Sejak digelarnya proses persidangan untuk kasus serangan teror terhadap kantor Charlie Hebdo yang menewaskan 12 katunis pada 2015 silam, minmgguan satir itu menggunakan hampir separuh dari jumlah halamannya untuk memuat gambar yang menertawakan kaum ekstremis Islam. 

“Kita membutuhkan tindakan yang tegas untuk menghentikan Islamisme, tetapi juga untuk mengecam perilaku intoleransi sekecil apapun atau ujaran kebencian terhadap warga Prancis berlatarbelakang imigran,” tulis salah seorang editor Charlie Hebdo bernama Laurent Sourisseau, yang diterbitkan dalam edisi terbaru. 

“Karena Prancis tidak sedang terbelah antara non-muslim dan muslim, antara penganut agama dan yang bukan, antara warga dengan akar Prancis atau berlatarbelakang imigran. Tidak! Prancis sedang terbelah antara demokrat dan antidemokrat.” 

Oplah Charlie Hebdo tergolong kecil. Kebanyakan warga Prancis menganggap tabloid itu menjijikkan atau ekstrim, meski tetap membela hak redaksi untuk mengutarakan pendapatnya lewat satir. 

Tradisi panjang karikatur dan satir 

Prancis memiliki tradisi panjang terkait pembuatan satir atau karikatur untuk mengolok-olok penguasa. Tradisi ini lahir ketika raja-raja Prancis mulai mempekerjakan bouffon atau badut sebagai satu-satunya individu yang boleh membuat lelucon tentang raja. 

Di era modern, fungsi tersebut diambilalih penulis atau karikaturis. Saat ini Prancis memiliki setidaknya tiga publikasi satir besar, yakni Charlie Hebdo, Le Canard Enchaine dan the Guignols de l’Info. 

Setelah aksi teror yang menewaskan 12 kartunis pada 2015 silam, Charlie Hebdo menuai empati dunia. Publikasi pertama setelah serangan teror itu. menampilkan gambar Nabi Muhammad sedang menangis dan terjual sebanyak delapan juta eksemplar di seluruh dunia. Redaksi juga mendapat uang sumbangan sebesar lebih dari empat juta Euro saat itu. 

Namun oplah Charlie kemudian menyusut secara dramatis. Sejak 2018, mingguan ini cuma mampu menjual 25.000 eksemplar setiap tahun, sementara jumlah pelanggan tetap mangkrak di angka 30.000. Meski demikian, pemimpin redaksi, Sourisseau, tetap bersikeras pihaknya “tidak akan berdiam diri,” untuk melindungi kebebasan berekspresi di Prancis. 

Sonia Mejri, janda seorang komandan ISIS yang merekrut salah seorang pelaku serangan teror 2015, juga mengungkapkan dukungan bagi Charlie Hebdo. Di akhir kesaksiannya dalam persidangan tindak pidana terorisme terhadap Charlie Hebdo, dia berpaling kepada awak redaksi yang duduk di kursi pengunjung. 

“Jangan berhenti. Ini sangat penting. Ini lah yang paling mereka benci,” kata Mejri yang merujuk kepada militan ISIS. “Kalian mewakili kebebasan. Yang mereka inginkan adalah menciptakan kerusakan di masyarakat.” 

rzn/as (ap, afp, dpa)