1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Jerman: Angka Putus Sekolah Tinggi

19 Februari 2024

Dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, jumlah generasi muda tanpa ijazah sekolah atau kualifikasi kejuruan di Jerman tergolong tinggi. Terutama mereka yang berlatar belakang migran.

https://p.dw.com/p/4cZ67
Gambar ilustrasi siswa putus sekolah
Gambar ilustrasi siswa putus sekolahFoto: Uwe Umstätter/picture alliance / imageBROKER

Dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, sekian lamanya jumlah generasi muda yang tidak memiliki ijazah sekolah menengah atas atau pelatihan kejuruan di Jerman sangat tinggi. Sekarang masalah ini jadi perkara.

Siapa pun yang mencari lowongan pekerjaan di Jerman, seharusnya dapat menemukan pekerjaan dengan cepat! Ada lebih dari 1,7 juta lowongan pekerjaan pada akhir tahun 2023. Permintaan akan pekerja terampil di 200 profesi melebihi jumlah pelamar.  Tenaga kerja yang paling diincar: Tenaga medis dan keperawatan, pekerja konstruksi dan teknologi informasi, pengemudi profesional, guru dan masih banyak lagi.

Secara matematis, seharusnya Jerman tidak kekurangan tenaga kerja. Pada awal tahun 2024, sekitar 4,8 juta orang yang mampu bekerja, menerima tunjangan pengangguran dari negara. Namun, lebih dari separuhnya belum menyelesaikan pelatihan kejuruan. Menurut Badan Ketenagakerjaan Jerman, tanpa pendidikan keterampilan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan sangat kecil. Angka mencolok lainnya adalah: 25% pengangguran jangka panjang tidak memiliki ijazah sekolah apa pun!

Selama bertahun-tahun, organisasi internasional seperti Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan OECD mengkritik betapa sedikitnya upaya yang dilakukan di Jerman untuk mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki kualifikasi apa pun.

Sistem pendidikan Jerman berhasil menyekolahkan lebih banyak generasi muda hingga sekolah menengah atas dan universitas dibandingkan masa lalu. Namun, masih banyak orang yang tidak dapat memenuhi persyaratan minimum yang ditetapkan oleh calon pemberi kerja.

Peringkatnya sangat rendah

Setiap tahun, Kantor Statistik Eropa, Eurostat, mengumpulkan data tentang berapa banyak anak muda berusia antara 18 dan 24 tahun di negara-negara Eropa yang tidak menyelesaikan sekolah atau pelatihan kejuruan. Pada tahun 2022, angkanya adalah 12,2%. Di antara 27 negara Uni Eropa (UE), Jerman berada di peringkat keempat — dari bawah.

Statistik angka putus sekolah juga tinggi. Di Jerman, anak-anak belajar bersama selama empat hingga enam tahun sebelum ditempatkan di sekolah menengah yang berbeda-beda, berdasarkan prestasi akademik mereka.

Karena pendidikan adalah wewenang negara bagian, ada maca-macam sistem sekolah yang berbeda-beda dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya. Angka putus sekolah juga tinggi, pada tahun 2022 saja ada sekitar 52.000 siswa yang ‘drop out'.

Banyaknya warga keturunan asing yang putus sekolah

Hal yang memprihatinkan adalah fakta bahwa banyak anak putus sekolah dengan latar belakang migrasi, demikian menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Institut Penelitian Popuilasi, BiB.

Pada tahun 2013, tidak ada perbedaan antara mereka yang berlatar belakang migrasi dan yang tidak. Namun pada tahun 2022,  tercatat ada 3% laki-laki Jerman berusia 25 tahun dan 2% perempuan tanpa latar belakang migrasi, yang tidak memiliki ijazah sekolah sama sekali. Sedangkan generasi muda di usia yang sama dan memiliki latar belakang migrasi, angkanya mencapai 12% untuk laki-laki dan 10% untuk perempuan.

Pakar pendidikan telah lama mengkritik sistem sekolah di Jerman karena mengabaikan terlalu banyak generasi muda. Dalam tes Pisa terbaru, yang membandingkan kemampuan membaca, matematika, dan sains anak-anak berusia 15 tahun secara internasional, siswa-siswa Jerman meraih nilai terendah.

Di satu sisi, penurunan kinerja disebabkan oleh penutupan sekolah selama pandemi COVID-19. Namun di sisi lain, yang lebih signifikan adalah faktor ketimpangan hasil pendidikan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. "Di Jerman, keberhasilan akademis masih bergantung pada latar belakang sosial,” kata Anja Bensinger-Stolze, yang merupakan anggota dewan Serikat Pekerja Pendidikan dan Sains, kepada DW.

Mereka yang "tidak memiliki lingkungan belajar yang baik di rumah” sangat rentan terkena dampaknya. "Kurangnya pembelajaran, kurangnya staf yang berkualitas dan kurangnya sistem pendukung membuat kesempatan pendidikan mereka menjadi semakin terbatas,” kata Bensinger-Stolze.

Kurangnya kemampuan bahasa Jerman

Permasalahan dimulai pada usia taman kanak-kanak. Satu dari lima anak berusia antara tiga dan enam tahun tidak berbahasa Jerman di rumah. Di negara bagian Hessen, Berlin dan Bremen, angka tersebut mencapai sepertiganya.

Hal ini membuat semakin penting bagi anak-anak ini khususnya untuk bersekolah di taman kanak-kanak. Namun, menurut laporan pendidikan pemerintah Jerman, hanya 81% anak-anak dengan latar belakang migrasi yang terdaftar di sekolah TK.

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya tempat penitipan anak, yang saat ini berjumlah sekitar 350.000 di seluruh Jerman. Jika anak-anak tidak bisa berbahasa Jerman dengan baik ketika mereka mulai bersekolah, mereka bisa tertinggal sejak awal. Hal ini dapat menurunkan motivasi mereka.

Yang dibutuhkan adalah dukungan individual dan pengerahan pekerja sosial dan spesialis pendidikan. Tapi semuanya terbatas, sama halnya seperti jumlah guru.

Kekurangan spesialis di sekolah

Saat ini terdapat kekurangan 14.000 guru tambahan di seluruh negeri, dan jumlah tersebut tampaknya akan terus meningkat. "Kesenjangan antara permintaan akan guru dan pasokan guru akan meningkat menjadi 56.000 tenaga guru penuh waktu pada tahun 2035,” kata Bensinger-Stolze.

"Sayangnya, para politisi terlalu lama menganggap enteng situasi ini. Oleh karena itu, sangat sulit untuk meringankan atau memperbaiki situasi dalam jangka pendek.”

Ini adalah kabar buruk bagi siswa yang membutuhkan banyak dukungan. Selain itu, program-program yang bertujuan mengurangi jumlah anak yang putus sekolah pada usia dini juga terancam. Di beberapa negara bagian memang ada proyek "Pembelajaran Produktif”, yang bertujuan untuk memfasilitasi generasi muda yang berisiko gagal setelah kelas delapan.

Ada banyak anak muda juga yang kesulitan dalam menafsirkan puisi dan poin-poin penting trigonometri misalnya, tetapi memiliki bakat dan keterampilan praktis lainnya. Tawaran untuk bekerja magang di perusahaan tiga hari seminggu ditujukan kepada mereka, guna menemukan jalan menuju karir yang sesuai.

Kepala agen tenaga kerja, Andrea Nahles, kini menyarankan untuk memulai bimbingan karir di sekolah sejak kelas lima SD. Penempatan pengalaman kerja reguler dengan sistem magang dan pelatihan wajib dilakukan di semua jenis sekolah, dengan harapan masyarakat dapat menemukan dan membina lebih banyak bakat kejuruan. Mulai 1 April 2024 akan ada jaminan pelatihan wajib, juga bagi anak putus sekolah. (ap/hp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!