1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Benarkah COVID-19 Memicu Rasisme di Jerman?

12 Mei 2021

Badan Anti-Diskriminasi Jerman mencatat kenaikan permintaan bantuan hukum atas kasus diskriminasi sebesar 78% di tahun 2020. Gerakan Black Lives Matter dan pandemi COVID-19 diyakini sebagai penggeraknya.

https://p.dw.com/p/3tH4F
Foto: Protes anti-rasisme di Jerman, Juni 2020
Foto: Protes anti-rasisme di Jerman, Juni 2020Foto: Ben Kriemann/Geisler-Fotopress/picture alliance

Pandemi COVID-19 saat ini telah menjadi ujian berat bagi Jerman. Banyak yang menganggap, pandemi ini telah bermutasi menyingkap ketidakmampuan politik para pemimpin negara dalam penanganan pandemi. Tak hanya itu, warga juga telah tenggelam dalam kelelahan kolektif, bercampur antara kemarahan dan keputusasaan, meski di sisi lain ada harapan bahwa vaksin mungkin akan berhasil mengalahkan pandemi sebentar lagi.

Namun lebih daripada itu, muncul bukti yang menunjukkan bahwa virus ini tidak hanya mengekspos masalah sosial semata, tapi juga semakin memperburuk keadaan. 

Badan Anti-Diskriminasi Federal (ADS) Jerman dalam laporan terbaru menyebutkan, pandemi COVID-19 merupakan pendorong utama diskriminasi, marginalisasi sosial, dan rasisme di Jerman. Laporan tahunan untuk tahun 2020 itu dirilis pada Selasa (11/05).

Permintaan bantuan hukum diskriminasi naik drastis

Disebutkan, pada tahun 2020, jumlah permintaan bantuan hukum awal untuk kasus diskriminasi mengalami peningkatan sebesar 78,3%, dari 3.580 kasus menjadi 6.383 kasus.

Khusus untuk permintaan bantuan hukum karena diskriminasi "atas dasar asal etnis, atau atas dasar rasisme,” sebagaimana disebutkan dalam laporan tahunan itu, meningkat secara signifikan dari 1.176 permintaan di tahun 2019, menjadi 2.101 permintaan di tahun 2020.

"Kami belum pernah melihat peningkatan permintaan bantuan yang begitu drastis seperti ini,” kata pelaksana tugas Kepala Badan Anti-Diskriminasi Federal Jerman, Bernhard Franke, saat mempresentasikan perkembangan datanya di Berlin.

"Tren peningkatan keluhan diskriminasi rasial secara khusus telah meningkat di tahun terjadinya serangan teror mengerikan berlatar beakang rasisme di kota Hanau, dan aksi Black Lives Matter,” tambahnya.

Franke mengatakan bahwa rasisme telah merenggut martabat banyak orang, dan telah "memecah belah masyarakat”. Menurutnya kepercayaan warga akan perlindungan dan solidaritas negara dan masyarakat telah runtuh karena banyak orang yang mengalami rasisme dan diskriminasi melihat pelakunya tidak mendapat konsekuensi apa pun.

"Karena itu, perlindungan terhadap diskriminasi tidak boleh diabaikan, bahkan saat terjadi pandemi. Karena hal itulah yang menjamin partisipasi dan kesetaraan, dan solidaritas sosial”, ujar Franke.

Kewalahan terima banyak permintaan

Franke mengatakan bahwa banyaknya kasus diskriminasi terkait COVID terkadang membuat badan antidiskriminasi di Jerman itu kewalahan. "Kami harus menghentikan sementara konsultasi telepon karena banyaknya permintaan,” jelasnya. Mereka yang membutuhkan bantuan kini hanya dapat menghubungi ADS melalui formulir konsultasi atau secara tertulis.

Eva Andrades, direktur Asosiasi Anti-Diskriminasi Jerman (ADVD), yang mewakili pusat bantuan lokal di seluruh negeri, juga mengemukakan hal senada. Kepada DW ia mengatakan bahwa pusat konseling "tidak dapat menindaklanjuti semua permintaan konseling.”

Meski begitu, Andrades melihat ada hal positif di balik tingginya permintaan bantuan tersebut. Menurutnya, aksi unjuk rasa terhadap rasisme, terutama dari debat publik yang muncul dari gerakan Black Lives Matter (BLM) dan serangan mematikan Hanau, telah membuat masalah diskriminasi semakin terlihat.

"Mungkin ini berarti bahwa semakin banyak orang tahu ada undang-undang yang membantu mereka melawan rasisme dan diskriminasi sejak awal,” ujarnya.

Mayoritas keluhan berasal dari penyandang disabilitas

Menurut laporan ADS, permintaan bantuan kebanyakan berasal dari penyandang disabilitas dan pengidap penyakit kronis. Angkanya mencapai sekitar 42% dari total permintaan, atau 2.631 kasus. Jumlah ini hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Perlu dicatat, di sini pandemi juga memainkan peran sentral. "Sangat disayangkan bahwa kekhawatiran terhadap penyandang disabilitas yang tidak dapat memakai masker, yang sejatinya dapat dimengerti, seringkali dirusak oleh para penyangkal virus corona, yang terkadang membawa sertifikat medis yang meragukan,” jelas Franke. Hal ini menurutnya telah menyebabkan penolakan menyeluruh terhadap akses toko bagi penyandang disabilitas "yang tidak bisa memakai masker”.

Sementara itu, sebanyak 17% permintaan bantuan kepada ADS dilaporkan muncul akibat diskriminasi gender. 9% berkaitan dengan diskriminasi atas dasar usia, 5% berdasarkan agama, 2% berdasarkan keyakinan, dan 4% berdasarkan identitas seksual.

gtp/as

Redaktur DW, Ralf Bosen
Ralf Bosen Penulis dan editor