1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dilanda Suhu Panas, Hindari Aktivitas di Luar Ruangan

25 Oktober 2019

Menurut BMKG, suhu panas yang melanda Indonesia tengah mencapai 37 derajat Celsius. Apa yang harus masyarakat antisipasi? Simak wawancara DW Indonesia dengan Mulyono R. Prabowo, Deputi Bidang Meteorologi BMKG.

https://p.dw.com/p/3RvSt
Sommerhitze - Sonnenuntergang in Brandenburg
Foto: picture-alliance/dpa/P. Pleul

Indonesia kini tengah dilanda suhu panas dalam beberapa hari terakhir. Data resmi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut, suhu udara maksimum bahkan dapat mencapai 37 derajat Celsius, sejak tanggal 19 Oktober 2019. Lalu fenomena apa yang sebenarnya terjadi, apa pengaruhnya, hingga imbauan untuk masyarakat? 

Simak wawancara DW Indonesia, dengan Mulyono R. Prabowo, Deputi Bidang Meteorologi BMKG.

Deutsche Welle: Seberapa bahaya suhu panas melanda Indonesia?

Mulyono R Prabowo: Kalau untuk masyarakat yang sensitif terhadap perubahan suhu akan berpengaruh, misal alergi terhadap suhu tinggi di lingkungan atau ruangan yang biasanya suhu tidak berubah banyak, lebih membahayakan untuk kesehatan. Juga anak-anak serta lansia, biasanya relatif sensitif. Kalau orang dewasa 'kan biasanya lebih tahan terkena perubahan suhu. Nah ini yang biasanya lebih membahayakan.

Untuk penegasan, jadi ini bukan gelombang panas?

Ada yang sebut ini gelombang panas, sebetulnya berbeda dengan suhu tinggi atau panas. Kalau gelombang pasti ada faktor perambatan, misal dari tengah laut kemudian merambat makin lama makin dekat ke pantai. Padahal yang saat ini bukan suhu tinggi yang merambat, misalnya dari Indonesia Timur merambat ke Tengah atau sebaliknya. Memang bisa saja terjadi pada tanggal yang sama, di wilayah timur, tengah, barat ada. Pada umumnya suhu panas ini akan segaris dengan peredaran matahari jadi misalnya tanggal 20 oktober kemungkinan terjadi di wilayah yang satu garis lintang dari wilayah barat ke timur, bukan dari selatan ke utara. Jadi kesimpulannya, yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suhu panas, yang diakibatkan pergeseran matahari ke wilayah bumi belahan selatan.

Bagaimana Anda menjelaskan fenomena suhu panas ini?

Penjelasannya begini, pertama bahwa suhu udara itu awalnya berasal dari radiasi matahari. Nah posisi matahari yang beredar setiap hari itu sebetulnya bergeser ke belahan bumi utara dan selatan. Artinya menyeberang sebelah utara garis ekuator dan kemudian pada waktu tertentu akan menyeberang garis selatan ekuator.

Pada tanggal 23 september 2019, titik nol derajat atau posisi matahari ada tepat di atas ekuator. Kemudian setelah tanggal 23 september 2019, matahari bergerak beredar bergeser ke arah selatan, hingga nanti tanggal 22 desember 2019, peredaran matahari di bumi paling selatan akan bergerak ke arah selatan. Nah Indonesia yang di sebelah selatan ekuator, tentunya ketika matahari beredar bergeser ke belahan bumi bagian selatan, pada saat itu akan mengalami radiasi panas yang tinggi. Sehingga pada bulan Oktober, merupakan waktu matahari di atas wilayah Indonesia di selatan ekuator. Sehingga, kita yang ada di Jawa, Bali NTT, NTB ini akan cenderung mengalami suhu yang lebih panas dibanding Indonesia yang berada di utara ekuator, ini secara periode waktu.

Kemudian, kalau bicara Jakarta itu kurang lebih 5 derajat lintang selatan, tentunya akan mengalami matahari di atas setelah 23 september 2019. Saat itu lah kita akan mengalami suhu tinggi, kurang lebih matahari bergerak ke selatan itu satu derajat setiap empat hari.

Jadi kalau kita di 5 derajat, kurang lebih memerlukan 20 hari setelah tanggal 23 september 2019. Kurang lebih pertengahan Oktober, maka kenapa kita alami suhu yang tinggi.

Faktor lain, sebetulnya Oktober ini Indonesia sudah masuk musim hujan. Namun 2019 ini rupanya awal musim hujan agak terlambat datangnya. Apa kaitannya? Pada saat awal musim hujan pada umumnya banyak awan yang merupakan peredam radiasi panas matahari atau boleh dikatakan “memayungi” kita yang ada di bawahnya. Ketika awal musim hujannya terlambat, artinya pertumbuhan awannya sedikit, dengan demikian payung yang biasa melindungi kita ternyata tidak ada. Maka kita semacam terekspos langsung dengan radiasi matahari yang kemudian menyebabkan suhu udara panas.

23 september 2019, saat posisi matahari tepat di atas ekuator, bisa dikatakan suhu paling panas?

Untuk titik nol derajat, atau garis ekuator iya. Tentunya kota-kota sepanjang garis ekuator, misalnya Padang, Pontianak, sepanjang kota itu ada di titik nol derajat lintang. Tapi tidak di wilayah Jakarta, karena 5 derajat di sebelah selatan. Jadi posisi matahari tidak tepat di atas kita yang 5 derajat lintang selatan. Ketika matahari berada tepat di atas ekuator kadang disebut hari tanpa bayang-bayang. Matahari tepat berada di atas kita sehingga bayang-bayangnya itu ya di bawah kita persis, tidak melebar ke kiri dan kanan.

Tepatnya berapa lama suhu panas masih melanda Indonesia?

Karena pergerakan matahari akan bergeser satu derajat setiap empat hari, ketika berada di atas Jakarta yang 5 derajat lintang selatan, berarti hitungannya 5 dikali 4 hari, ada 20 hari setelah tanggal 23 september 2019. Kurang lebih tanggal 13 Oktober 2019. Nah ini ketika menjauhi wilayah Jakarta barulah akan mengurangi suhu panas. Di samping juga sudah ada potensi pertumbuhan awal di akhir Oktober menjelang awal bulan November.

Imbauan untuk masyarakat agar tidak panik saat suhu panas melanda?

Mohon bisa akses informasi resmi yang dikeluarkan BMKG, karena banyak info beredar yang melalui media sosial akan terjadi suhu 45-50 derajat. Pada kenyataannya, tidak akan setinggi itu. Sehingga diharapkan masyarakat mengakses informasi resmi, melalui website resmi BMKG. Selain itu, barangkali bisa meningkatkan asupan cairan, untuk kompensasi penguapan tubuh. Demikian diharapkan tidak terjadi gejala dehidrasi. Serta menggunakan pakaian yang lebih menyerap keringat, seperti katun sehingga agak mengurangi rasa panas akibat penguapan tubuh yang terhalang. Yang ketiga, jika tidak terpaksa sebaiknya jangan beraktivitas di luar ruangan yang terekspos matahari, misalnya sengatan radiasi matahari ini bisa dikurangi.

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Prita Kusumaputri dan telah diedit sesuai konteks.

ae