1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Buah Simalakama Pelarangan Minuman Beralkohol

23 April 2018

Mengapa korban minuman keras justru semakin banyak berjatuhan ketika aturan minuman beralkohol semakin ketat? Simak opini Zaky Yamani.

https://p.dw.com/p/2w7o6
Indonesien Person stirbt nachdem sie selbsgebrannten Alkohol getrunken hat
Keluarga menangisi anggota keluarganya yang meninggal dunia setelah meminum alkohol oplosan.Foto: Reuters/Antara Foto/Raisan Al Farisi

Di Kabupaten Bandung, 38 orang tewas, di Kota Bandung 7 orang tewas, di Jakarta 18 orang tewas, di Bekasi 7 orang tewas, dan di Depok 6 orang tewas. Kita tentu saja terhenyak melihat data tersebut, dan sebagian dari kita langsung berpikir minuman keras harus semakin diketatkan peredarannya, bahkan kalau bisa dilarang sama sekali.

Tapi pernahkah kita melihat dengan jeli, korban minuman keras justru semakin banyak berjatuhan ketika aturan minuman beralkohol semakin ketat?

Dari penelitian Center for Indonesian Policy Studies pada 2016 lalu, seperti dilansir BBC, dalam waktu 10 tahun, total korban tewas akibat miras oplosan mencapai 837 orang. Sebanyak 300 orang tewas selama tahun 2008 dan 2013, lalu naik hampir dua kali lipat jadi 500 korban tewas antara tahun 2014 hingga 2018.

Penulis: Zaky Yamani (penulis lepas)
Penulis: Zaky YamaniFoto: DW/A.Purwaningsih

Sebagian orang mungkin akan membantah keras adanya korelasi antara pelarangan minuman beralkohol dengan meningkatnya jumlah kematian akibat minuman beralkohol. Tapi, bagaimana pun statistik menunjukkan korelasi itu. Bukan hanya di Indonesia, di banyak negara lain juga terbukti adanya korelasi antara pengetatan/pelarangan minuman beralkoholdengan meningkatnya jumlah korban akibat minuman beralkohol.

Kelompok moralis dan agamis mungkin akan mencak-mencak, bagaimana mungkin pelarangan minuman beralkohol malah meningkatkan jumlah kematian akibat minuman beralkohol? Bukankah minuman beralkoholnya tidak beredar bebas, dan itu artinya akses warga terhadap minuman beralkohol jadi sangat minim?

Memang betul dengan pelarangan, di satu sisi akses warga terhadap minuman beralkohol jadi sangat terbatas, tapi di sisi lain ada fakta bahwa pelarangan tidak membuat sebagian warga berhenti mencari hiburan dari minuman beralkohol. Akibat dari dua fakta itu, secara ekonomi minuman beralkohol langsung melambung nilai jualnya. Kita ingat prinsip ekonomi yang diajarkan sejak SMP, saat permintaan akan satu barang tinggi sementara stoknya terbatas, maka harga barang itu secara alamiah akan naik.

Pada hal-hal yang disebut haram

Hal yang persis sama terjadi pada minuman beralkohol—dan juga pada hal-hal "haram” lainnya misalnya narkoba.

Ilustrasinya seperti ini, antara 10 sampai 12 tahun lalu, harga minuman beralkohol impor merk ternama—katakanlah jenis vodka dan wiski—bisa diperoleh dengan harga antara Rp 90 ribu sampai Rp 150 ribu per botol. Untuk kepentingan rekreasi, satu botol minuman itu cukup untuk dikonsumsi enam orang. Misalnya ada enam berkawan yang ingin berekreasi dengan minuman beralkohol berharga Rp 150 ribu di masa 10-12 tahun lalu, masing-masing cukup "urunan” mengeluarkan uang antara Rp 25 ribu – Rp 30 ribu. Saat itu, minuman impor ini sering dikonsumsi warga kelas menengah. Urunan Rp 25 ribu – Rp 30 ribu masih sangat terjangkau oleh mereka.

Sedangkan untuk minuman beralkohol produksi lokal, seperti arak, anggur, atau nama-nama lain yang seringkali diberi label sebagai "jamu”, antara 10-12 tahun lalu harganya masih di kisaran Rp 30 ribu. Di masa itu, minuman lokal ini banyak dikonsumsi warga kelas bawah.

Setelah terjadi pembatasan/pelarangan minuman beralkohol, minuman yang merknya persis sama harganya melonjak jadi antara Rp 300 ribu sampai Rp 600 ribu. Bahkan minuman beralkohol produk lokal, yang dulu harganya antara Rp 30 ribu kini sudah naik jadi di atas Rp 75 ribu. Akibatnya, warga kelas menengah dan warga kelas bawah sama-sama tidak sanggup lagi membeli minuman beralkohol yang relatif aman.

Lanjut ke halaman 2

Nasib kelas bawah

Sebagian warga kelas menengah mungkin memilih beralih ke minuman beralkohol produksi dalam negeri, karena harganya masih bisa terjangkau oleh mereka. Tapi bagi warga kelas bawah—yang lemah secara ekonomi dan pendidikan—kenaikan harga minuman beralkohol yang signifikan itu jadi awal bencana.

Awal bencana itu dari sini: kenaikan harga minuman beralkohol, melahirkan "reaksi kreatif” sebagian warga, ditandai dengan banyak bermunculan produsen minuman beralkohol kelas "rumahan” yang memproduksi minuman tanpa standar kesehatan dan keamanan sama sekali, dan mereka menjualnya dengan harga relatif murah: antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu per botol.

Produsen-produsen kelas rumahan itu ada yang menjualnya dengan pola pemasaran dari mulut ke mulut dan produsen menjualnya langsung ke konsumen. Biasanya produsen dari kelompok ini sangat berhati-hati dan hanya mau menjual kepada orang yang dia kenal baik, dan itu artinya produksinya pun tidak banyak.

Tapi dari situasi ini, banyak juga bermunculan orang-orang yang ingin memiliki pasar yang besar dan meluas, demi keuntungan yang besar. Itu artinya mereka harus memproduksi minuman beralkohol dalam jumlah yang relatif besar. Bisa Anda bayangkan, apa yang dihasilkan dari pabrik yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan, diproduksi dengan peralatan yang tidak jelas, menggunakan bahan yang tidak bisa kita ketahui keamanannya, dan tanpa pengawasan sama sekali? Dari pemberitaan di media massa, kita tahu, bahkan produsen-produsen itu bahkan hanya mencampurkan metanol dengan sirup. Minuman-minuman dari produsen-produsen ilegal itulah yang banyak menyebar ke warung-warung di kota-kota besar sampai ke pelosok pedesaan.

Siapa yang mengakses minuman-minuman berbahaya itu? Potretnya terpampang dalam setiap pemberitaan media massa: para produsen dan korban adalah orang-orang yang tak terdidik, dan sebagian besar berasal dari kelompok ekonomi lemah. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki banyak referensi atas banyak hal.

Para produsen minuman ilegal itu mungkin sama sekali tak punya niat membunuh konsumennya. Mungkin mereka semata melihat ada kesempatan mendapat uang karena melihat banyak orang menginginkan minuman beralkohol yang terjangkau, dan karena tidak memiliki pengetahuan mereka asal-asalan mencampurkan metanol dengan sirup.

Pun demikian para korban itu pasti tidak punya niat untuk mati karena menenggak minuman beralkohol. Mungkin mereka hanya ingin sedikit bersenang-senang dengan kawan, dan karena tidak memiliki cukup uang dan referensi dan uang yang terbatas, mereka asal membeli minuman yang murah.

Lanjut ke halaman 3

Kembali ke halaman 1

Sebagian dari kita mungkin akan mencibir, salah mereka sendiri mati karena menenggak alkohol, sudah tahu dilarang masih membandel. Jika dilihat hanya dari sudut pandang moral dan agama saja, mungkin iya itu salah mereka sendiri. Tapi jika dilihat dari sudut pandang yang lebih sosiologis, apakah salah mereka sendiri berada dalam kondisi miskin secara ekonomi dan pendidikan? Apakah mereka tidak boleh berekreasi, padahal mungkin sesekali mengkonsumsi minuman alkohol adalah rekreasi termurah yang bisa mereka dapatkan? Apakah karena mereka ingin minum minuman beralkohol lalu negara tidak usah memberikan akses yang aman bagi mereka?

Baca juga:

Setiap 10 Menit Satu Tewas Akibat Alkohol

Menggugat Miras, Memenangkan Pelaku Pelecehan Seksual

Saya tidak bermaksud mengatakan, nasihat-nasihat moral dan agama tidak bermanfaat. Tapi, seperti saya katakan di awal tulisan ini, pelarangan tidak serta merta membuat semua orang berhenti mengkonsumsi minuman beralkohol. Maka jalan terbaik untuk menyelamatkan mereka setelah diberi ceramah moral, adalah memberi pengetahuan tentang minuman beralkohol itu sendiri, dan memberikan akses minuman beralkohol yang aman, setidaknya jika mereka tetap ingin minum-minum tindakannya itu tidak membuat mereka mati keracunan.

Skenario ini sama dengan penanganan perilaku seks berisiko yang terkait dengan penyebaran penyakit dan kehamilan yang tidak diinginkan. Nasihat-nasihat moral tetap harus diberikan untuk membangun kesadaran, tapi pengetahuan juga harus ditekankan sebagai alat penyelamat: jika mereka masih ingin melakukannya, lakukanlah dengan alat pengaman walau alat pengaman itu tidak menjamin keselamatan 100 persen.

Saran saya, alih-alih membatasi dengan sangat ketat atau bahkan melarang minuman beralkohol, yang dibutuhkan adalah pengaturan yang masuk akal terhadap minuman beralkohol. Misalnya, jika negara masih mengizinkan pabrik minuman alkohol beroperasi, mengizinkan impor minuman beralkohol, mengizinkan adanya tempat minum-minum, maka negara tidak perlu sok moralis dengan melakukan banyak pelarangan yang bersifat moral, yang malah membuat minuman beralkohol bernilai jual tinggi. Yang harus dilakukan adalah pengaturan pada hal-hal yang sifatnya membahayakan keselamatan pengguna dan orang-orang di sekitarnya. Artinya minuman beralkohol tetap bisa diakses dengan harga yang wajar, tapi penyedia dan penggunanya dipaksa untuk bertindak penuh tanggung jawab.

Misalnya, minuman beralkohol hanya boleh dijual oleh orang yang bersertifikat untuk menjualnya (dengan catatan tegas pemberian sertifikat itu berdasarkan pada hasil uji kemampuan orang itu atas penyajian dan penanganan risiko minuman beralkohol oleh lembaga kompetensi, bukan asal setor uang kepada pihak berwenang lalu mendapat sertifikat). Lalu minuman alkohol dilarang dijual kepada orang berusia di bawah 21 tahun, dilarang dijual kepada perempuan hamil, dibatasi konsumsinya (misalnya jika konsumen di bar meminum satu sloki wiski, pengelola bar harus mencegahnya menyetir kendaraan, dan harus menelepon taksi), dan berbagai aturan lain yang terkait dengan keselamatan pengguna dan orang lain.

Peran negara adalah bersikap dewasa terhadap kecenderungan warganya, dan mengatur warga untuk bersikap dewasa terhadap diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya.

Negara-negara maju berhasil mengatur distribusi dan konsumsi minuman beralkohol demi keselamatan dan kebutuhan rekreasi warganya. Mereka tidak melarang, tapi mengatur dengan tegas dan menegakkan disiplin. Hasilnya, kita tidak pernah mendengar di negara-negara maju ada puluhan orang mati sekaligus karena keracunan minuman beralkohol yang tak jelas asal-usulnya.

Penulis: Zaky Yamani, jurnalis dan novelis (ap/vlz)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.