1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina Ingin Rombak Sistem Pemilihan Umum di Hong Kong

2 Maret 2021

Rancangan Undang-undang akan diumumkan pada Kongres Rakyat Nasional, Jumat (5/3), dan disinyalir bakal menyaring loyalis Beijing untuk memangku jabatan publik. Perkembangan ini dianggap lonceng kematian bagi demokrasi.

https://p.dw.com/p/3q6H5
Tempat pemungutan suara di Hong Kong, November 2019.
Tempat pemungutan suara di Hong Kong, November 2019.Foto: Reuters/A. Perawongmetha

Reformasi UU Pemilihan Umum di Hong Kong diyakini akan semakin menyudutkan posisi kelompok pro-demokrasi, yang saat ini pun sudah merasakan tajamnya UU Keamanan Nasional yang baru

"UU ini akan memicu gempa yang menggoyang kepentingan politik lokal,” kata seorang pejabat yang terlibat dalam penyusunan naskah Undang-undang.

Amandemen itu dikabarkan bakal diperkenalkan pada pertemuan tahunan Kongres Rakyat Nasional yang dimulai Jumatt (5/3). Pekan lalu seorang pejabat senior Cina, Xia Baolong, sudah mengisyaratkan bahwa Beijing akan melakukan perubahan sistematis, dan hanya akan mengizinkan kaum "patriot” untuk memangku jabatan politik di Hong Kong. 

Dalam transkrip pidatonya yang dipublikasi oleh majalah pro-Beijing, Bauhinia, Xia mengatakan sistem pemilu di Hong Kong harus "didesain” ulang untuk menyesuaikan dengan situasi teranyar. Menurutnya pemilu harus mengucilkan "penghasut anti-Cina" yang hanya akan membawa kerusakan dan teror, katanya merujuk pada kelompok pro-demokrasi. 

Xia enggan merinci reformasi yang dimaksud. Namun rencana itu disinyalir akan berdampak pada parlemen Hong Kong, dan komposisi anggota komite yang berwenang memilih kepala eksekutif, tutur seorang pejabat lain yang enggan disebut namanya.

Kekhawatiran kaum pro-Beijing

Tak ayal, rencana itu disambut penolakan. "Reformasi ini menghancurkan sejentik harapan bagi demokrasi di masa depan,” kata Lee Cheuk-yan, bekas anggota parlemen pro-demokrasi.

"Satu-satunya konsep yang diajukan Xia Baolong adalah bahwa Partai Komunis Cina menguasai Hong Kong dan hanya mereka yang setia kepada partai yang bisa memegang peran.”

Lee mendengar kabar ihwal rencana reformasi oleh Cina pada pekan lalu, di tengah proses persidangannya dalam kasus dugaan subversi menyusul aksi protes pada Agustus 2019. 

"Suara rakyat tidak lagi menentukan,” kata dia kepada Reuters di sela-sela sidang. "Ini adalah kekuasaan satu partai, secara total.”

Asimilasi politik antara Cina dan Hong Kong bahkan ikut memancing kekhawatiran sejumlah individu pro-Beijing. Mereka mengkhawatirkan manuver Cina pada akhirnya akan melukai kepentingan Hong Kong.

"Jangan berlebihan dan membunuh pasiennya,” kata Shiu Sin-por, seorang politisi pro-Cina dan bekas Kepala Kepolisian Hong Kong, seusai bertemu Xia, pekan lalu. Menurutnya perlawanan opsosisi sudah berhasil dipadamkan oleh UU Keamanan Nasional.

Dua politisi pro-Beijing senior lain mengatakan kepada Reuters, reformasi sistem pemilu akan semakin membebani reputasi internasional Hong Kong, terutama menyusul gelombang penggerebekan pasca pemberlakuan UU Keamanan Nasional.

"Sangat menyedihkan melihat Hong Kong jatuh ke level ini,” kata salah seorang politisi mengomentari reformasi pemilu. "Kita menyerahkan Hong Kong ke generasi selanjutnya dalam kondisi yang lebih buruk.”

"Tidak ada lagi yang normal,” kata salah seorangnya. "Ini adalah abnormalitas yang baru.”

Meski demikian, pemerintah Hong Kong bersikeras pihaknya tetap memprioritaskan pelaksanaan prinsip "patriot menguasai Hong Kong” melalui reformasi pemilihan umum, demikian menurut keterangan pers yang dilansir Reuters.

rzn/hp (rtr, afp)